Jakarta (ANTARA) - Suatu waktu, seorang perempuan dari wilayah Kansas, Amerika Serikat, bernama Elizabeth Johnson, pernah berniat untuk pergi tidur. Awalnya, ia merasa sangat rileks ketika sudah berbaring di atas kasur yang nyaman, memejamkan mata, dan siap untuk terbang ke alam mimpi dengan nyenyak.
Akan tetapi, baru saja beranjak mengantuk dan belum sempat beralih ke alam mimpi, rasa cemas tiba-tiba menyergap dan membuat Elizabeth kehilangan kendali.
"Alih-alih berusaha melanjutkan tidur, saya merasakan panik, adrenalin saya terpacu dan akhirnya saya kembali terjaga. Pilihannya adalah harus mencoba lagi dari awal untuk bisa tertidur, atau menyerah untuk malam itu," kata perempuan 38 tahun tersebut menggambarkan apa yang kemudian ia sebut sebagai somnifobia atau takut pada tidur.
Perempuan yang berprofesi sebagai guru Bahasa Inggris dan sejarah itu mengalami permasalahan takut tertidur yang menjadi gejala paling umum dari somnifobia sejak ia berusia 7 tahun. Awalnya, ia hanya mengalami kesulitan untuk tidur atau insomnia yang mulai berkembang menjadi rasa takut tertidur pada usia 12 tahun.
"Ketika Anda menemukan tempat yang secara mental dapat membuat tertidur, Anda akan merasakan ketakutan atau beranggapan akan ada mimpi-mimpi buruk terjadi. Kemudian, akan muncul lapisan ketakutan lain untuk tidur yang membuat cemas karena Anda tidak menyadari apa yang sedang terjadi," kata Elizabeth seperti dilansir dalam sebuah artikel di The Guardian, Rabu (26/4).
Permasalahan tersebut terus menghantui Elizabeth hingga ia beranjak dewasa dan mencapai puncak ketika menginjak usia 31 tahun. Gangguan yang ia alami silang sengkarut sesuai tingkat stres dan kecemasan antara takut tertidur dan apa yang ia sebut sebagai insomnia biasa.
"Sekarang keadaan sedikit lebih baik. Bila beruntung, saya bisa tidur selama 5 jam, namun dalam kondisi buruk mungkin 2 jam atau tidak tertidur sama sekali," imbuh ibu dua orang anak, yang masing-masing berusia 7 dan 11 tahun dengan keluarga yang mendorongnya untuk keluar dari lingkaran hidup menakutkan itu.
Lelah dan stres
Belum diketahui secara pasti berapa banyak angka orang yang terkena somnifobia karena permasalahan ini belum menjadi diagnosis utama. Biasanya, gejala ini dikaitkan dengan kondisi lain yang lebih lazim seperti masalah sulit tidur biasa hingga gangguan mental pascatrauma atau post-traumatic stress disorder (PTSD).
Konsultan di Departement of Sleep and Ventilation Rumah Sakit Royal Brompton London, Dr. Alanna Hare mengatakan salah satu penyebab gangguan itu adalah sleep paralysis atau kelumpuhan saat tidur.
"Sebanyak 40 persen populasi pernah mengalaminya, setidaknya sekali. Kondisi lumpuh dan terjaga sepanjang malam bisa sangat menakutkan. Bahkan, Anda sulit untuk meminta pertolongan," terangnya.
Hare lantas menggambarkan kondisi tersebut sebagai gangguan sinyal fisiologis dan mungkin berkaitan dengan permasalahan pada tubuh mengarah pada ketidakberdayaan yang merupakan bagian normal dari proses tidur. Bedanya, proses somnifobia terjadi pada awal tidur atau pada tahap tidur ringan yang memang seharusnya tidak terjadi kala itu.
"Mengalaminya sesekali adalah hal yang wajar dan lebih mungkin terjadi jika Anda terlalu lelah atau stres. Akan tetapi, jika hal itu terjadi berkali-kali, maka perlu penyelidikan lebih lanjut," terangnya.
Somnifobia dianggap sebagai permasalahan kesehatan tidur karena mampu memunculkan rasa takut luar biasa hingga ke setiap ujung saraf seseorang yang bahkan tidak mampu mencubit dirinya sendiri untuk terbangun.
Hare menambahkan bahwa sleep apnea atau kondisi ketika pernapasan seseorang berhenti dan kembali teratur saat tidur, juga dapat menjadi penyebab lain dari somnifobia.
"Biasanya penderita bermimpi tentang tenggelam atau mereka bangun dengan perasaan tidak bisa bernapas sama sekali," pendeknya.
Pemulihan dari gangguan tidur tersebut, lanjut Hare, sangat bergantung pada permasalahan utama yang menjadi dasarnya. Berkonsultasi dengan dokter umum dapat menjadi awal yang baik, sebelum melanjutkan rujukan ke pelayanan yang paling tepat.
"Jika memang permasalahannya adalah gangguan mimpi buruk, kelumpuhan saat tidur, berjalan sambil tidur, atau dugaan sleep apnea, maka rujukan yang tepat adalah spesialis kesehatan tidur," ungkapnya.
Rujukan dari para ahli, kata Hare, bisa didapatkan dari ahli pernapasan, psikiater, hingga ahli saraf. Ia menambahkan apabila permasalahan yang muncul berkaitan dengan gangguan kepanikan, kecemasan umum, atau bahkan mengarah pada gangguan obsesif kompulsif, maka layanan psikologi atau psikiatri tentu lebih tepat.
"Hal yang penting adalah orang-orang mengetahui cara mencari bantuan dan hal tersebut dapat dikelola, ditangani, dan ditingkatkan," kata Hare.
Melawan tidur
Brandy Clear adalah seorang ibu dari lima orang anak yang bekerja di bagian pelayanan pelanggan dan hidup di kota super-sibuk New York. Perempuan berusia 37 tahun tersebut membagikan sebuah tulisan mengenai pengalaman kejiwaan dirinya, termasuk saat ia menjadi seorang pecandu heroin semasa remaja dan perjuangan hidup mengatasi somnifobia.
"Saya berusaha untuk pulih dengan cara lantang sehingga mereka yang menderita dalam kesunyian mengetahui bahwa mereka tidak sendirian," ungkapnya.
Brandy mulai merasa cemas untuk tidur pada saat usianya menginjak 6 atau 7 tahun. Saat berumur 9 tahun, Brandy dibawa ke dokter oleh sang ibu dan ia mendapatkan resep berupa obat penenang dan antihistamin yang lazim digunakan sebagai pelindung dari alergi.
"Itu cukup membantu saya tertidur dan tetap pulas, namun menjadi sangat sulit untuk membangunkan saya pada pagi hari. Dan lagi, saya tidak suka meminumnya," kata Brandy yang lantas menghentikan konsumsi obat-obatan tersebut.
Belakangan, ia mulai memaksakan diri untuk tetap terjaga karena takut untuk tertidur. Hingga pada akhirnya tubuh Brandy menjadi sangat lelah sehingga ia pun tak kuasa untuk memejamkan mata dan tertidur.
"Saya tidak kuat melawan untuk tetap terjaga, kemudian tumbang dan pingsan. Meski begitu, saya tidak akan pernah bisa tertidur lebih dari enam jam," aku Brandy.
Ketika berusia 13 tahun, Brandy hanya tertidur beberapa jam selama sepekan yang membuatnya terus meracau dan harus dilarikan ke rumah sakit. Ia kemudian mendapatkan suntikan bius selama 2 hari.
Setelah kejadian tersebut, ia mengikuti sebuah konseling dan sempat membeberkan sejumlah kekhawatiran yang selalu berputar bising di dalam pikiran: bagaimana jika hal ini atau hal itu terjadi?
"Saya tidak mau tidur karena takut. Saya berpikir, bagaimana seandainya terjadi kebakaran di rumah, semisal ada penjahat masuk dan menyakiti anggota keluarga, atau ibu saya meninggal di sofa, sementara saya tengah tertidur? Saya mulai mengalami serangan kecemasan luar biasa hanya dengan membicarakan hal itu," ungkap Brandy.
Saat tumbuh remaja pada usia 15 tahun, ia kemudian mendapatkan resep obat penenang dengan dosis lebih kuat dari sebelumnya yang juga berfungsi sebagai antipsikotik. Obat golongan ini juga dianggap efektif untuk menutup segala kemungkinan seseorang untuk mengalami mimpi saat tidur.
Imbasnya, Brandy mengalami masalah kemampuan untuk fokus saat bangun tidur. Ia menghentikan konsumsi obat tersebut pada usia 17 tahun dan memutuskan kembali menahan segala keinginan untuk tidur sekuat mungkin.
Gangguan kecemasan pun mulai berkembang ke sebuah tahap ketika tanpa harus berbaring di atas tempat tidur, Brandy tahu bahwa ia akan mengalami serangan ketakutan yang luar biasa.
"Ketika menyadari sudah waktunya untuk tidur, saya akan mulai merasa gugup," pendeknya.
Jalan keluar
Brandy lantas mencoba berbagai upaya untuk mengatasi ketakutannya selama bertahun-tahun dan mulai melihat hasil yang lebih baik. Meski metode hipnosis tidak bekerja dengan baik untuknya, namun rupanya meditasi sangat membantu.
"Saya melakukan peregangan sebelum tidur. Selain itu, mendengarkan suara rintik hujan atau membaca juga cukup membantu. Meski begitu, saya masih belum bisa tidur dalam jangka waktu lama. Saya sadar ketika sedang bermimpi dan tubuh saya memaksa untuk bangun dari tidur," jelasnya.
Meski tidak satu pun dari pilihan solusi tersebut berlaku sama untuk setiap individu, namun satu hal yang paling bisa diandalkan setiap saat oleh Brandy adalah kehadiran David Attenborough.
Sir David Attenborough kerap membuat dokumenter bentang sejarah alam dengan fokus pada kehidupan flora dan fauna di bumi. Sosok yang Brandy andalkan itu adalah pria bergelar bangsawan masyhur yang dikenal dunia sebagai pesohor BBC, ahli biologi, sejarawan alam, dan penulis.
"Saya telah menonton hampir semua karya yang pernah dibuat olehnya. Saya suka semua hal tentang alam, dan jika film dokumenter David Attenborough diputar di TV, maka saya sangat mungkin bisa tertidur," jelas Brandy.
Mengacu kisah hidup Brandy--dan Elizabeth pada awal tulisan--, maka persoalan trauma juga memperburuk kondisi kesehatan tidur. Secara lebih parah, Brandy malah sempat mendapatkan pelecehan seksual oleh mendiang ayahnya.
"Apa yang terjadi membuat saya dua kali lebih sulit untuk tidur di malam hari karena beberapa kali saya terbangun dengan kondisi ayah berada di tempat tidur saya. Hal itu tertanam demikian mendalam di otak saya," ungkapnya.
Adapun Elizatbeth juga mengalami pengalaman traumatik serupa saat berusia 9 tahun atau sekitar dua tahun berjalan dengan permasalahan gangguan tidurnya.
"Itulah sebabnya gangguan tidur saya semakin parah. Segala hal berubah dari sekadar ketakutan yang diduga-duga, menjadi sebuah ketakutan yang bersifat nyata," kenang Elizabeth.
Ia lantas mendapatkan diagnosis mengalami PTSD, depresi, kecemasan, insomnia karena alasan medis dan kesehatan mental, serta narkolepsi--yang belum bisa dipastikan merupakan akibat dari insomnia atau justru menjadi bagian tak terpisahkan karena terkadang narkolepsi bisa menyebabkan insomnia.
Selama tujuh tahun sejak masalah somnifobia-nya menyeruak, Elizabeth telah menemui spesialis kesehatan tidur dan psikiater. Melalui terapi berbicara, dia telah melatih keterampilan mengatasi dan belajar melepaskan hal-hal yang tidak dapat dikendalikan.
"Saya duduk dengan terapis dan kami membuat daftar hal-hal di kepala yang membuat saya tidak bisa tidur. Lalu, kami menemukan cara untuk melawan itu semua kemudian mengunci rapat semua pintu," jelasnya.
Cara lain yang ditempuh Elizabeth adalah menemukan pola untuk membuat otaknya merasa santai dan nyaman ketika dia dalam keadaan segar alias tidak ingin tertidur. Ia juga menjalani pengobatan untuk membantu mengatasi kesehatan tidur dan kecemasan.
Memanfaatkan media sosial, Elizabeth lantas menggagas sebuah komunitas di Facebook dan kerap memberikan saran kepada orang yang tengah menghadapi kesulitan untuk tidur agar tidak membiarkan masalah tersebut bersarang terlalu lama di dalam pikiran.
Menurutnya, banyak orang pada awalnya mengalami insomnia, lantas mulai mencari tahu lewat Google dan berakhir dengan ketakutan yang semakin besar.
"Hubungi teman-teman, dokter, atau terapis, karena Anda bukan satu-satunya orang yang mengalami situasi pelik tersebut," tegasnya.
Ia berketetapan bahwa somnifobia tidak menandakan seseorang mengalami gangguan jiwa atau yang paling parah: tidak akan pernah tertidur untuk selamanya.
Menurut Elizabeth, masalah itu tidak harus terjadi dalam waktu lama setiap malam dan menghantui seseorang seumur hidup.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Somnifobia: Kisah orang-orang yang melawan keinginan untuk tidur