Jakarta (ANTARA) -
Belakangan ini masyarakat sedang menyoroti tumpukan sampah di hutan mangrove di wilayah pesisir DKI Jakarta. Ada yang mengira tumpukan sampah itu berada di kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA), bahkan sampai mendatangi SMMA untuk melihat tumpukan sampah itu. Padahal, tak ada sampah di sana, karena kawasan ini telah dipasang penghalang sampah.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta merasa perlu meluruskan perihal sampah yang muncul di media sosial itu, dengan memberikan informasi yang benar kepada masyarakat bahwa endapan sampah dalam jumlah besar itu bukan berlokasi di SMMA.
Kepala BKSDA DKI Jakarta Agus Arianto, melalui Kepala Seksi Konservasi Wilayah III BKSDA DKI Jakarta Mufti Ginanjar di Suaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta, Kamis (13/7), mengatakan pihaknya sudah mengantisipasi sampah yang mengalir dari sungai dengan membangun penghalang sampah.
"Jadi di media sosial, ada warganet dari luar yang salah mengira sampah menumpuk yang sejak kemarin dibersihkan berada di kawasan konservasi hutan mangrove Suaka Margasatwa Muara Angke. Padahal lokasinya tidak ada di Suaka Margasatwa, karena kami pasang instalasi penghalang sampah sebagai upaya antisipasi," kata Mufti.
Kawasan Hutan Mangrove Muara Angke yang dimaksud dalam berbagai pemberitaan berlokasi di muara Sungai Angke yang melintasi SM.Muara Angke.
Sejak penghalang sampah dibangun pengelola Suaka Margasatwa Muara Angke menggunakan cerucuk bambu pada 2022, sampah plastik, bekas bungkus makanan, maupun material kayu yang terbawa aliran Kali Angke menuju pesisir hutan mangrove di lokasi tersebut sudah terhalang.
Peneliti mangrove dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Taufik Hidayat menilai penggunaan penghalang sampah tersebut efektif untuk mengurangi jumlah sampah yang masuk ke kawasan konservasi hutan mangrove yang ada di Suaka Margasatwa Muara Angke.
Volume sampah terbanyak terjadi saat banjir, yang bisa dapat mencapai 50 karung ketika penghalang sampah dibersihkan. saat ini tidak ada sampah lagi karena sudah terhalang.
Untuk menjaga kelestarian hutan mangrove tersebut, petugas pemerintah dibantu kepolisian setempat melakukan aksi bersih sampah dari pesisir kawasan Hutan Mangrove Muara Angke. Jumlah petugas pembersihan yang turun mencapai menjadi 350 orang, agar pekerjaan itu lekas tuntas.
Kepala Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya Inspektur Jenderal Polisi Karyoto pun turun langsung memantau pekerjaan tersebut di lapangan.
Mantan Deputi Penindakan KPK tersebut mengakui masalah kebersihan tidak bisa spontan diselesaikan tanpa munculnya kesadaran dari orang-orang yang suka menyampah di sembarang tempat.
Pada hari ini kawasan tersebut dibersihkan, esok hari kawasan itu akan dikotori sampah lagi jika manusia yang suka menyampah tadi tak kunjung peduli terhadap derita mangrove yang menjaga kehidupan mereka.
Manfaat mangrove
Manfaat mangrove bagi kehidupan manusia tidak sedikit. Selain menghasilkan buah yang kaya antioksidan sehingga bermanfaat bagi kesehatan manusia, tanaman itu juga dapat mengikat tanah di kawasan pesisir agar tidak luruh ke dasar laut.
Kalau tanah luruh, terumbu karang bisa rusak. Dan jika terumbu karang rusak, populasi ikan di laut juga bisa berkurang.
Oleh karena itu,BKSDA DKI Jakarta juga berupaya memberikan edukasi kepada masyarakat, salah satunya melalui kegiatan temu wicara bertajuk 'Mangrove for Jakarta—Restoring Mangrove, Protecting Jakarta' di Suaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta, Kamis.
Berdasarkan hasil penelitian yang dirilis pada 2018 oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) bersama BKSDA Jakarta terhadap lima manfaat mangrove, diketahui mangrove yang ditanam di area Pusat Edukasi Lingkungan dan Restorasi Ekosistem Mangrove Suaka Margasatwa Muara Angke memiliki nilai ekonomi mencapai Rp9.788.439.239.
Mangrove memiliki lima manfaat yaitu penyerap karbon, polutan, pengendali banjir, pemantik wisata, dan fauna.
Peneliti mangrove YKAN Taufik Hidayat mengatakan areal 25,02 hektare hutan mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke saja (belum termasuk mangrove di areal hutan lindung Jakarta di Muara Angke) mampu menyerap sekitar 27.276,26 megagram karbon.
Kemampuan 25,02 hektare mangrove dalam menyerap karbon sebanyak itu memiliki nilai ekonomi bagi manusia mencapai Rp1.909.627.012,74
Selanjutnya, kemampuan mangrove menyerap polutan laut, mulai dari bahan kimia hingga material seperti pasir, besi, dan lain-lain, berdasarkan hasil penelitian tersebut memiliki nilai ekonomi mencapai Rp3.894.640.053 per tahun.
Mangrove juga mampu memantik wisata bagi masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan penelitian terhadap pemasukan dari tiket masuk kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke yakni Rp25 ribu pada hari kerja dan Rp35 ribu pada akhir pekan, nilai ekonomi yang ditimbulkan mencapai Rp25.560.000.
Selanjutnya, estimasi nilai ekonomi dari kemampuan mangrove memantik berbagai jenis fauna untuk singgah di areal Suaka Margasatwa Muara Angke mencapai Rp325.458.032.
Para peneliti telah menyurvei ke berbagai tempat penangkaran hewan untuk menanyakan harga sejumlah fauna unik yang tertarik singgah di kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke, seperti jenis burung, reptil, hingga monyet ekor panjang (makaka).
Terakhir, mangrove juga memiliki kemampuan mengendalikan banjir. Lewat pemodelan yang dilakukan oleh para peneliti, 0,5356 kilometer persegi wilayah berpenduduk 2.785,66 jiwa di sekitar Suaka Margasatwa Muara Angke akan terendam banjir jika hutan mangrove di sana hilang.
Dengan memperhitungkan kerusakan yang ditimbulkan apabila areal seluas itu terendam banjir, maka nilai ekonomi manfaat mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke dalam mengendalikan banjir dihitung mencapai Rp1.361.950.657.
Besarnya nilai ekonomi mangrove tersebut dipaparkan kepada sekitar 50 orang peserta yang menghadiri kegiatan tanam mangrove dan temu wicara.
Harapannya, para peserta yang didominasi oleh pemuda berusia antara 17-30 tahun itu bisa membantu penyebaran informasi tersebut untuk meningkatkan kepedulian manusia terhadap mangrove.
Dalam kegiatan itu, peserta juga bisa memulai langkah penting dalam menjaga kelestarian mangrove dengan ikut menanam 50 bibit mangrove dan mengadakan aksi bersih-bersih sampah.
Bangkitkan kepedulian terhadap mangrove
Kerusakan mangrove akibat sampah yang hinggap di akarnya terjadi dalam waktu yang singkat. Sekitar dua bulan, daun mangrove akan menguning tanda layu, kekurangan nutrisi. Jika dibiarkan saja, tanaman tersebut lama-kelamaan bisa mati.
Jika mangrove mati, Jakarta akan kehilangan benteng hijau alami yang memiliki fungsi mencegah intrusi air laut, penurunan muka tanah, abrasi, dan dampak-dampak perubahan iklim lainnya.
Karena itu, kepedulian terhadap restorasi mangrove mesti dibangkitkan secara bersama-sama agar masyarakat memahami fungsi pelindung alami pesisir yang memberi banyak manfaat kepada manusia dan ekosistem lain yang hidup di sekitarnya.
Meski upaya restorasi mangrove bukan hal yang mudah, terutama di kawasan seperti Suaka Margasatwa Muara Angke yang dikelilingi dan terdampak oleh berbagai macam pembangunan, sekaligus terletak di muara kota terpadat se-Indonesia.
Salinitas air yang rendah, masuknya limbah, hingga okupasi tumbuhan invasif turut menjadi tantangan dalam upaya pemulihan mangrove di kawasan ini.
Langkah pemulihan mesti dilakukan dalam berbagai aspek. Misalnya, untuk meningkatkan salinitas air, perlu dilakukan perbaikan hidrologi dengan membuka sirkulasi air laut ke dalam kawasan. Untuk mencegah sampah padat masuk dari sungai, maka perlu dibangun penghalang sampah. Begitu juga dengan area yang ditutupi oleh tumbuhan invasif, maka tumbuhan invasifnya pun harus dikendalikan. Upaya-upaya tersebut dilakukan untuk mengondisikan hutan mangrove agar dapat beregenerasi secara alami, sekaligus bisa tumbuh secara maksimal.
Idealnya, mangrove di Jakarta bisa pulih seperti keadaan di tahun 1930-an. Saat itu, beragam jenis mangrove tumbuh di kawasan pesisir Muara Angke.
Namun tantangan iklim yang ada sekarang membuat pemulihan ideal seperti yang diharapkan kurang begitu memungkinkan. Seperti salinitas, di kawasan Hutan Mangrove Muara Angke yang berbatasan dengan laut langsung saja hanya berkadar garam 11 part permillion (ppm), sedangkan di Suaka Margasatwa Muara Angke cuma 5 ppm.
Padahal normalnya perlu 20 sampai 30 ppm kadar garam pada air agar mangrove bisa tumbuh dengan optimal.
Masyarakat bisa merestorasi mangrove, namun mungkin jenis yang cocok dengan iklim saat ini cukup terbatas, salah satunya jenis pidada merah (dalam Latin: Sonneratia Caseolaris).
Jenis mangrove itu yang paling menguntungkan untuk dikembangkan saat ini, karena dia tetap bisa tumbuh di perairan dengan salinitas yang rendah.
Namun, jenis bakau kurap (dalam Latin: Rhizopora Mucronata) merupakan tanaman mangrove yang paling banyak digalakkan penanamannya di Suaka Margasatwa Muara Angke, karena pembibitan lebih mudah dibandingkan jenis pidada merah.
Kawasan Muara Angke merupakan salah satu daratan tempat pertumbuhan alami mangrove yang masih tersisa di wilayah Jakarta.
Daratan di sana akan tenggelam ketika laut mulai pasang, dan timbul saat laut sedang surut. Tumbuhan mangrove memerlukan daratan yang lembab agar bisa tumbuh dengan optimal.
Kegiatan edukasi tentang restorasi mangrove secara masif di kawasan Muara Angke adalah solusi yang ditawarkan oleh BKSDA DKI Jakarta dalam merespons kerusakan habitat alami mangrove akibat ulah sebagian orang yang suka menyampah sembarangan.
Upaya melestarikan hutan mangrove dengan meminta masyarakat tidak menyampah perlu mendapat dukungan dari semua pihak. Sinergi amat diperlukan untuk menyadarkan manusia agar menjaga kelestarian sumber daya alam, termasuk ekosistem mangrove.
Keterlibatan berbagai pihak menjadi bagian utama dalam setiap aksi konservasi. Hasil yang maksimal bisa diperoleh jika pemerintah, masyarakat, swasta, dan LSM berkolaborasi dan bermitra secara strategis untuk membangkitkan kepedulian kita terhadap pelestarian mangrove.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Endapan sampah di hutan mangrove, tapi bukan di Suaka Margasatwa
Endapan sampah di hutan mangrove, tapi bukan di Suaka Margasatwa
Jumat, 14 Juli 2023 9:12 WIB