Jakarta (ANTARA) - Usia nol hingga enam tahun atau anak usia dini dikenal sebagai usia emas, yakni periode penting dalam membentuk dasar pembelajaran, kesehatan, dan karakter.
Sejumlah studi menunjukkan, anak yang tumbuh dalam lingkungan yang aman, penuh kasih sayang, dan mendapat stimulasi yang cukup, memiliki peluang lebih besar untuk berkembang secara optimal baik secara fisik, kognitif, sosial, dan emosional.
Hal itu dikarenakan pada awal kehidupan, otak anak berkembang hingga 90 persen pada usia hingga lima tahun. Perkembangan otak anak sendiri dimulai dari masa kehamilan khususnya pada pekan kelima hingga ke-20 kehamilan.
Meski demikian, sebesar apapun potensi yang dimiliki seorang anak sejak lahir, potensi tersebut tidak akan berkembang secara optimal tanpa stimulasi yang tepat dan lingkungan yang mendukung. Asupan gizi, kesehatan, serta stimulasi psikososial dan lingkungan juga menentukan bagaimana kualitas hidup anak ke depannya.
Hasil penelitian yang dilakukan pakar pendidikan anak usia dini, Gillian Doherty, pada 1977 menunjukkan stimulasi yang diberikan pada awal kehidupan bukan hanya berdampak jangka pendek, melainkan juga menentukan kapasitas berpikir dan belajar anak pada masa depan.
Oleh karenanya perlu adanya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), yang bukan sekadar persiapan pendidikan dasar, tapi fondasi utama bagi kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan. Hal itu tergambar dalam buku yang ditulis oleh Fasli Jalal dan Gutama yang berjudul “PAUD sebagai Fondasi Pembentukan Generasi Unggul” yang diluncurkan dalam acara 2025 International Symposium on ECED yang diselenggarakan Tanoto Foundation di Jakarta, Rabu.
Kedua penulis merupakan sosok yang tak asing dalam dunia pendidikan. Fasli Jalal yang saat ini menjadi Rektor Universitas YARSI, sebelumnya menjabat sebagai Kepala BKKBN, Wamendiknas, Dirjen Dikti, Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, dan Kepala Biro di Bappenas.
Sementara Gutama merupakan pakar dan praktisi PAUD dengan pengalaman selama empat dekade pada bidang pendidikan nonformal. Gutama sebelumnya menjabat sebagai Direktur PAUD (2001-2008) dan Sekretaris Dirjen PAUDNI (2008-2013).
“Ini merupakan tanggung jawab moral penulis, karena sudah lama ikut terlibat dalam pembangunan PAUD melalui kebijakan, pendidikan, penelitian, dan penguatan sistem. Sehingga pengalaman dan pembelajaran penting tentang PAUD perlu didokumentasikan,” kata Gutama.
Selain itu juga perjuangan panjang PAUD hingga diterima sebagai bagian strategi pembangunan sumber daya manusia menuju Indonesia Emas 2045 perlu didukung, serta keberadaan penulis sebagai anggota ECED Council makin memperkuat tanggung jawab moral.
Meski demikian, masih ada pemahaman keliru terkait PAUD yang berisiko mempersempit cakupan layanan PAUD hanya pada pusat layanan pendidikan seperti TK atau kelompok bermain.
“Padahal stimulasi sejak dalam kandungan adalah bagian tak terpisahkan dari pendidikan anak usia dini,” kata Gutama.
PAUD merupakan proses berkelanjutan sejak masa janin dan bukan hanya sekadar unit pendidikan. Tantangan lainnya yang perlu dihadapi seperti rendahnya keterlibatan orang tua, kurangnya kesadaran akan pentingnya akreditasi, serta belum optimalnya keterpaduan pendidikan dan pengasuhan dalam mendukung perkembangan anak.
Gutama berharap buku ini dapat meluruskan pemahaman tentang PAUD sebagai proses holistik integratif serta memperkuat komitmen bersama, dan juga memastikan investasi PAUD berkelanjutan.
“Demi lahirnya generasi yang sehat, cerdas, berkarakter, dan berdaya saing,” harap Gutama.
Buku setebal 168 halaman ini terdiri dari lima bab yakni pendahuluan, fakta-fakta tentang anak usia dini, dinamika PAUD di Indonesia, PAUD dalam kebijakan pembangunan SDM: menuju Indonesia Emas 2045, dan penutup: refleksi dan rekomendasi.
Gutama menyebut terdapat tiga pesan utama dalam buku ini, yakni masa kehidupan manusia tidak bisa diulang, setiap pihak perlu memastikan mendapatkan kehidupan yang baik, dan kebijakan pra SD tidak diartikan sebagai perluasan akses, tapi memberikan layanan esensial bagi anak usia dini.
PAUD sebagai kunci pembangunan manusia
Penulis buku "PAUD sebagai Fondasi Pembentukan Generasi Unggul" yang juga Ketua Early Child Education and Development (ECED) Council Indonesia, Fasli Jalal, mengatakan PAUD merupakan kunci utama dalam pembangunan manusia di Indonesia.
“Usia dini merupakan masa yang kritis dan tidak bisa diulang, maka konsentrasi terbaik adalah memberikan perhatian pada anak. Kadang-kadang kita lupa, yang SMA lebih penting atau yang perguruan tinggi lebih penting. Padahal semua dasar-dasar dibangun pada usia dini itu.” kata Fasli.

Oleh karenanya, jangan sampai masyarakat lalai memberikan perhatian pada anak usia dini. Lagi pula hal itu merupakan hak anak. Jika hak-hak itu diberikan, Fasli yakin anak-anak Indonesia akan tumbuh menjadi anak yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, juga jadi anak yang cerdas, kreatif dan sehat.
Dalam kesempatan itu, ia juga menekankan pentingnya ekosistem PAUD yang holistik. Untuk mewujudkan hal itu tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Perlu adanya wadah interdisiplin yang melibatkan para ahli, akademisi, praktisi, pemimpin komunitas dan media seperti yang dilakukan oleh ECED Council.
ECED Council sendiri fokus pada lima pilar yakni riset dan inovasi, model layanan edukasi, layanan kebijakan, edukasi publik, dan kapasitas publik. Lima pilar ini bertujuan untuk meningkatkan ekosistem PAUD HI.
“ECED memiliki peran sebagai lembaga think tank, enabler dan juga advokasi,” kata Fasli.
ECED Council juga dioperasionalkan sebagai katalis dalam menghubungkan semua lapisan struktur pemerintahan, pemangku kepentingan pembangunan, dengan kebutuhan masyarakat.
Melalui buku yang diluncurkan itu, diharapkan dapat menggugah kesadaran pemangku kepentingan tentang pentingnya keberadaan PAUD sebagai modal manusia untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Meluruskan miskonsepsi anak usia dini melalui buku tentang PAUD
