Jakarta (ANTARA) - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI mengungkapkan temuan peredaran kosmetik ilegal di Indonesia mencapai angka Rp1,866 triliun dalam tenggat waktu 10-21 November 2025.
"Setelah kita lakukan olah perkara dan semuanya hari ini kita umumkan, dan ternyata nilai ekonominya Rp1,86 triliun. Tentu ini adalah angka yang besar," kata Kepala BPOM Taruna Ikrar dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa.
Taruna menjelaskan angka tersebut ditemukan setelah dilakukan intensifikasi pengawasan kosmetik pada momen menjelang akhir tahun 2025, baik secara luring maupun daring.
Temuan tersebut, lanjutnya, didominasi kosmetik tanpa izin edar dan kosmetik impor yang tidak dilengkapi dengan dokumentasi ekspor-impor yang jelas. BPOM, lanjut dia, berhasil menemukan setidaknya 109 merek kosmetik dengan jumlah distribusi sebanyak 408.054 buah.
"Temuan didominasi oleh produk impor sebesar 65 persen dengan rincian sebagai berikut, tanpa izin edar 94,30 persen, kesalahan kedua yaitu mengandung bahan dilarang termasuk skincare etiket biru tidak sesuai dengan ketentuan 1,99 persen. Selanjutnya kosmetik kadaluarsa 1,47 persen, cara penggunaan tidak sesuai dengan definisi kosmetik 1,46 persen, kosmetik impor tanpa surat keterangan impor itu 0,78 persen," papar Taruna.
Taruna menekankan penggunaan kosmetik ilegal memiliki berbagai risiko, karena tidak terjamin keamanan mutu dan berisiko mengandung bahan berbahaya seperti merkuri, hidrokuinon, asam retinoat, dan pewarna yang dapat menimbulkan bahaya kesehatan.
"Dampaknya seperti iritasi kulit, bintik-bintik hitam atau okronosis, perubahan bentuk atau fungsi organ janin teratogenik, hingga menyebabkan kanker yang bersifat karsinogenik," ujarnya.
Adapun intensifikasi pengawasan ini, lanjut Taruna, dilakukan di 984 sarana yang diperiksa, yang terdiri atas sebanyak 470 sarana tidak memenuhi ketentuan atau 47,8 persen dari 984 sarana yang diperiksa.
Seluruh sarana tersebut terbagi atas distributor ritel kosmetik sebanyak 372 sarana atau 79,15 persen, klinik dan salon kecantikan 69 sarana atau 14,68 persen, pengecer/reseller kosmetik ada 14 sarana atau 2,98 persen, importir kosmetik 6 sarana atau 1,28 persen, Badan Usaha Pemilik Notifikasi (BUPN) kosmetik 5 sarana atau 1,6 persen, serta industri kosmetik 4 sarana atau 0,85 persen.
Karena itu, lanjutnya, BPOM melakukan tindak lanjut terhadap hasil pengawasan ini, antara lain berupa sanksi administrasi berupa perintah penarikan, perintah pemusnahan, perintah penghentian sementara kegiatan, pencabutan izin edar, hingga pencabutan sertifikat cara pembuatan kosmetik yang baik.
"Selain pemberian sanksi administrasi oleh BPOM terhadap pelaku usaha, khususnya importir, juga telah direkomendasikan sanksi hingga penutupan akses importasi kosmetik kepada Direktur Jenderal, Bea dan Cukai (Kemenkeu)," ucap Taruna Ikrar.
"Pemberian sanksi ini diharapkan dapat memberikan efek jerah bagi pelaku usaha hingga ke depan kepatuhan pelaku usaha kosmetik akan meningkat dalam penjaminan peredaran kosmetik yang aman, bermutu, dan berdaya saing," tambah Taruna Ikrar.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: BPOM ungkap peredaran kosmetik ilegal di Indonesia capai Rp1,8 triliun
