Korupsi yang sudah dianggap sebagai kejahatan luar biasa karena dampak destruktifnya yang masif tampaknya harus dilawan dari segala lini kehidupan, oleh seluruh lapisan masyarakat.
Betapa tidak. Sampai sekarang, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak henti-hentinya menangkap tangan para koruptor yang tak merasa ngeri dengan menyaksikan preseden operasi tangkap tangan KPK yang berhasil meringkus para pelaku skandal memalukan itu.
Perlawanan terhadap korupsi dari berbagai elemen masyarakat juga telah dilakukan. Pengusaha garmen, khususnya kaos oblong, menuliskan berbagai kata-kata antikorupsi di produk mereka. Para musisi dilibatkan dalam pemberantasan korupsi lewat kemampuan mereka menciptakan komposisi lagu dengan lirik-lirik antikorupsi.
Bahkan pengusaha kafe-kafe yang menyajikan kopi berbagai jenis pun tak mau ketinggalan. Mereka menyuguhkan kopi kepada pelanggan dengan cangkir yang bertulisan semboyan perang melawan korupsi.
Sejumlah aktivis antikorupsi mendatangi sekolah dan perguruan tinggi untuk mengampanyekan betapa jahatnya dampak yang ditimbulkan oleh korupsi. Semua aktivitas memerangi korupsi itu tak boleh kendur, bahkan harus lebih diintensifkan lagi.
Jika semua aktivitas itu belum memperlihatkan hasil, tampaknya apa yang pernah diwacanakan cendekiawan Nurcholish Madjid (mendiang) tentang perlunya Indonesia meniru Tiongkok dalam menghukum mati koruptor perlu direalisasikan.
Sampai saat ini, hukuman paling berat yang dijatuhkan terhadap koruptor adalah penjara seumur hidup sebagaimana yang dikenakan kepada Akil Mochtar, kader Partai Golkar yang terbukti menerima suap saat menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi.
Yang ironis dalam skandal korupsi adalah bahwa banyak pelakunya adalah mereka yang termasuk aparat penegak hukum.
Presiden Joko Widodo jelas merasa kecewa dengan banyaknya aparat negara yang nekat melakukan korupsi meskipun mereka rata-rata bukan tergolong pegawai yang kekurangan uang.
Skandal terakhir yang berhasil dibongkar KPK adalah dugaan suap yang menyangkut pengerjaan pengerukan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang yang melibatkan Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Antonius Tonny Budiono. Dalam skandal itu, ditemukan uang senilai Rp20,74 miliar yang tersimpan di dalam tas di mes perwira perhubungan laut.
Vonis terhadap koruptor yang relatif ringan di benak publik, yang mestinya berupa hukuman mati, agaknya menjadikan para pejabat kurang merasa ngeri melakukan korupsi.
Bagi rakyat kecil yang menghendaki hukuman seberat-beratnya bagi koruptor, yakni berupa hukuman mati, agaknya belum mendapat lampu hijau dari para elite politik maupun legislator pembuat undang-undang.
Bahkan dalam konstelasi politik belakangan, para elite politik di tingkat tertinggi, yakni para ketua umum partai politik, sebagian besar di antara mereka kurang sreg jika KPK memiliki kewenangan yang super untuk memberantas korupsi.
Bukti atas kurang kuatnya komitmen para bos parpol terhadap penguatan kewenangan KPK adalah sikap sebagian besar di antara mereka yang membiarkan kader-kader politikus mereka di parlemen membentuk pansus angket mengenai kewenangan KPK.
Hanya beberapa penguasa parpol yang sejak awal melarang kader mereka di parlemen masuk dalam keanggotaan pansus angket terhadap KPK itu. Yang merisaukan justru parpol pendukung utama pemerintah, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), menjadi kelompok yang paling gigih mendukung pansus angket yang jelas-jelas dimusuhi publik itu.
Yang juga ironis adalah elite parpol yang tidak jelas sikapnya terhadap eksistensi KPK. Ketika mereka baru disebut-sebut sebagai oknum yang menerima dana korupsi yang pelakunya sedang disidangkan, elite parpol tersebut secara tiba-tiba memperlihatkan antipatinya terhadap KPK dengan secara mendadak mendukung pansus angket.
Semua fenomena ini memperlihatkan bahwa di tataran elite politik, berbeda dengan di tataran masyarakat akar rumput atau kelas menengah yang bukan aparat negara, komitmen terhadap perang melawan korupsi belum bisa dibilang total.
Tampaknya sikap elite politik itu diwarnai oleh pertimbangan ke arah mana angin pemberantasan korupsi itu bertiup. Artinya, ketika KPK semakin gencar pengusut korupsi yang diduga melibatkan mereka yang tak lain dan tak bukan adalah pejabat atau aparat negara yang punya afiliasi dengan parpol, elite parpol itu bersikap mendua. Bahkan, dalam konteks pengusutan dugaan megaskandal korupsi KTP elektronik yang melibatkan bos salah satu parpol besar, KPK justru dicoba untuk diperlemah lewat manuver pansus angket.
Dalam menghadapi situasi dilematis seperti itu, jalan terakhir untuk menggelorakan antikorupsi sekaligus menguatkan kewenangan KPK ada di tangan rakyat.
Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam demokrasi perlu disadarkan dan diingatkan bahwa elite parpol yang getol melemahkan KPK tak layak dipilih dalam pemilu mendatang.
Bila politik uang masih berhasil menutup mata rakyat terhadap integritas moral elite parpol yang berlaga dalam pemilu, selama itu pula perang melawan korupsi belum bisa dilakukan secara fundamental.
Demokrasi yang efektif bukan semata menjadi peranti politik dalam meraih situasi damai di saat terjadi transisi atau suksesi penguasa, tapi juga mengantarkan kesejahteraan rakyat lewat terpilihnya orang-orang bersih dari kejahatan berkorupsi.
Jika pemilih masih membiarkan suara mereka dapat dibeli dengan sejumlah uang di saat menjelang pencoblosan, di saat itulah mereka menggadaikan demokrasi alias suara mereka, yang balasannya akan terjadi di masa ketika politisi korup menjadi wakil pemilih yang tersuap itu.
Dengan demikian perang melawan korupsi dari segala lini harus dibarengi dengan kemitmen pemilih untuk tidak menggadaikan suara mereka dalam pemilihan umum.