Jakarta (Antaranews Gorontalo) - Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018 akan terasa berbeda dengan Pilkada tahap pertama dan kedua, karena diwarnai munculnya 13 calon tunggal yang mayoritas petahana dan banyak diikuti jenderal dari institusi Polri maupun TNI yang ikut serta dalam kontestasi tersebut.
Hal itu tentu saja menuntut adanya netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun aparat TNI dan Polri karena menjadi poin penting agar pesta demokrasi lima tahun sekali tersebut agar tidak diciderai tindakan yang tidak sejalan dengan semangat keterbukaan, kebebasan memilih, dan kedaulatan rakyat.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan bahwa ada 13 daerah yang melaksanakan Pilkada hanya diikuti calon tunggal, yaitu Kabupaten Padang Lawas Utara, Kota Prabumulih, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kabupaten Tapin, Kabupaten Minahasa Tenggara, Kabupaten Enrekang, Kabupaten Mamasa, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kabupaten Jayawijaya.
Sebagai perbandingan, di Pilkada tahap kedua atau di 2017, ada sembilan daerah yang memiliki calon tunggal yaitu Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara; Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung; Kabupaten Pati, Jawa Tengah; Kabupaten Landak, Kalimantan Barat; Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara; Kabupaten Maluku Tengah; Kabupaten Jayapura; Kabupaten Tambrauw, Papua Barat; Kota Sorong, Papua Barat.
Terkait meningkatnya jumlah calon tunggal di Pilkada 2018, Ketua Komisi II DPR Zainuddin Amali mengatakan DPR tidak bisa berbuat apa-apa terkait fenomena tersebut karena itu menunjukkan bahwa kandidat kepala daerah mendapatkan dukungan penuh seluruh partai politik.
Menurut dia, rekomendasi yang diberikan seluruh parpol kepada satu kandidat dalam Pilkada sangat dimungkinkan dan tidak bisa dilarang. Politisi Partai Golkar itu juga meyakini bahwa sebuah parpol memberikan rekomendasi terhadap seorang kandidat, dengan pertimbangan yang matang misalnya tingkat elektabilitas yang tinggi.
Dia mencontohkan partainya memberikan dukungan kepada kandidat kepala daerah dengan melihat tingkat elektabilitas calon tersebut, lalu baru diberikan rekomendasi dukungan untuk diusung dalam Pilkada.
Amali menilai kalau ada satu kandidat yang hasil surveinya memiliki elektabilitas paling tinggi, maka pasti parpol tidak mau mendukung calon yang kalah.
Perwira Polri yang ikut dalam kontestasi Pilkada 2018 antara lain mantan Kapolda Jabar Irjen Pol Anton Charlyan maju di Pilkada Jabar, mantan Kapolda Kalimantan Timur Irjen Pol Safaruddin maju dalam Pilkada Kaltim, mantan Komandan Korps Brimob Irjen Pol Murad Ismail.
Selain itu, Brigadir Kepala Nichodemus Ronsumbre menjadi bakal calon bupati Biak Numfor, Ajun Komisaris Besar Jonius Taripar Parsaoran Hutabarat maju sebagai bakal calon bupati Tapanuli Utara, dan Komisaris Besar Syafiin sebagai bakal calon bupati Jombang.
Ajun Komisaris Besar Marselis Sarimin sebagai bakal calon bupati Manggarai Timur, dan Ajun Komisaris Besar Ilyas maju sebagai bakal calon wakil wali kota Baubau, Sulawesi Utara.
Sementara itu perwira TNI yang ikut dalam kontestasi Pilkada 2018 antara lain mantan Panglima Kostrad Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi maju sebagai bakal calon gubernur Sumatera Utara, mantan Komandan Korem 031 Wira Bima, Riau Brigjen TNI Edy Nasution maju sebagai bakal calon wakil gubernur Riau.
Petahana Harus Jamin Netralitas ASN
Salah satu kesimpulan penting Rapat Gabungan Pimpinan DPR yang didampingi Pimpinan Fraksi-Fraksi, Pimpinan Komisi II dan Pimpinan Komisi III DPR dengan Menteri Dalam Negeri, Kapolri, KPU, Bawaslu, KPK, dan Kejaksaan Agung pada Kamis (11/1) menyepakati bahwa ASN, TNI, dan Polri harus menjaga netralitas dalam Pilkada.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota (UU Pilkada) Pasal 71 ayat (1) menegaskan ASN, anggota TNI/Polri, Kepala Desa atau Lurah tidak membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada secara tegas menyebutkan kepala daerah dilarang melakukan pergantian pejabat 6 bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapatkan persetujuan tertulis dari menteri.
Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada mengatur agar kepala daerah tidak menggunakan kewenangan, program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan calon terpilih.
Plt Ketua DPR Fadli Zon mengatakan Rapat Konsultasi tersebut menyepakati bahwa penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018 harus menjadi pilkada yang berkualitas karena pilkada adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Karena itu menurut dia bukan hanya semua aparat ASN, TNI dan Polri yang harus senantiasa menjaga netralitas namun KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu harus bersikap dan bertindak secara lebih profesional
Tuntutan netralitas penyelenggara pemilu dan ASN sangat logis karena Pilkada tahap ketiga ini memiliki jumlah pemilih yang sangat besar yaitu Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) sebanyak 160.756.143 jiwa, terdiri dari laki-laki 80.608.811 jiwa dan perempuan 80.147.332 jiwa yang ada di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang akan menyelenggarakan Pilkada di 2018.
Jumlah 160,7 juta jiwa itu sekitar 80 persen dari jumlah DP4 Pemilu 2019 yaitu 196,5 juta orang, terdiri atas pemilih laki-laki 98.657.761 orang dan perempuan 97.887.875 orang.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Riza Patria dalam Rapat Gabungan itu menyindir Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian terkait keterlibatan institusi dan anggota mereka dalam proses rekapitulasi suara di Pemilu.
Dia mengatakan pihaknya mendapatkan temuan soal keterlibatan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) dan aparat Kepolisian dalam rekapitulasi suara. Menurut dia, kalau kedua institusi itu ingin tahu hasil rekapitulasi suara, bisa menanyakan langsung kepada KPU yang memiliki kewenangan sebagai penyelenggara dan menghitung suara pemilu.
Dia mengimbau seluruh institusi lain di luar penyelenggara Pemilu, seperti TNI, Polri, BIN, atau Kesbangpol tidak perlu terlibat dalam menghitung suara, untuk menjaga netralitas dan tidak menimbulkan tafsir ganda di publik.
Aturan mengenai netralitas aparat ASN, TNI, dan Polri sudah disebutkan secara tegas dalam UU dengan ancaman hukuman apabila tetap melanggarnya, sehingga yang diperlukannya saat ini adalah implementasi dari masing-masing individu.
Pilkada tahap pertama di 2015 dan Pilkada tahap kedua di 2017 sudah berlangsung dengan baik meskipun ada perbaikan dalam pelaksanaannya, sehingga di Pilkada tahap ketiga ini menjadi momentum membuktikan bahwa Indonesia berhasil menjalankan demokrasi "one man one vote" secara jujur dan tidak dinodai kecurangan.
Netralitas ASN, TNI dan Polri di Pilkada 2018
Minggu, 14 Januari 2018 13:09 WIB