Jakarta, (Antaranews Gorontalo) - Komisi Yudisial kembali membuka pendaftaran calon hakim agung pada 2018 untuk memenuhi kebutuhan di lingkungan Mahkamah Agung.
Berdasarkan surat Wakil Ketua MA RI Bidang Non Yudisial Nomor 4/WKMA.NY/7/2018 tentang Pengisian Kekosongan Jabatan Hakim Agung, MA membutuhkan delapan hakim agung, di antaranya satu orang untuk kamar pidana, satu orang untuk kamar agama, dua orang untuk kamar militer, tiga orang untuk kamar perdata, dan satu orang untuk kamar tata usaha negara khusus pajak.
Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Komisi Yudisial Aidul Fitriciada Azhari merinci bahwa tiga hakim agung untuk kamar perdata akan menggantikan Hakim Agung Soltoni Mohdally yang akan purnabakti pada 1 Maret 2019 dan dua orang hakim agung yang telah diusulkan terdahulu, tetapi belum terpenuhi.
Sementara dua hakim agung untuk kamar militer akan menggantikan Hakim Agung Timur P. Manurung dan Gayus Lumbuun yang telah purnabakti.
Untuk satu hakim agung kamar agama akan menggantikan Hakim Agung Muhktar Zamzami yang akan purnabakti pada 1 Oktober 2018, sedangkan satu hakim agung kamar pidana akan menggantikan Hakim Agung Artidjo Alkostar yang purnabakti sejak 1 Juni 2018.
Dalam rekrutmen hakim agung ini, MA memiliki pesan khusus, yaitu supaya KY fokus merekrut CHA hanya dari jalur hakim karir, kecuali untuk hakim agung kamar tata usaha negara khusus pajak.
"Kami meminta berdasarkan UU MA yang lama bahwa pengusulan hakim agung berdasarkan kebutuhan yang non-karir," ujar Hatta, usai melantik dua hakim agung di Gedung MA, beberapa waktu lalu.
Hatta kemudian menambahkan bahwa pihaknya mengacu pada putusan MK yang menyatakan bahwa pencalonan hakim agung adalah permintaan dari MA, dan bagi hakim jalur non-karir hanya akan direkrut berdasarkan kebutuhan pada saat itu.
Pihaknya saat ini belum membutuhkan hakim agung dari jalur non-karir, kecuali untuk hakim agung kamar tata usaha negara khusus pajak.
Terkait dengan permintaan MA ini, KY menyatakan bahwa pihaknya memahami permintaan tersebut mengingat kebutuhan akan penyelesaian atau percepatan kasus di MA.
Kendati demikian, KY tetap akan berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang menyebutkan bahwa CHA diusulkan dari tiga sumber, yaitu MA, pemerintah, dan masyarakat.
Pasal 6B ayat (1) UU 3/2009 menyebutkan, "Calon hakim agung berasal dari hakim karir", dan Pasal 6B ayat (2) berbunyi, "Selain calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon hakim agung juga berasal dari non-karir".
Sangat Dibutuhkan
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai hakim agung yang berasal dari jalur non-karir masih sangat dibutuhkan di lingkungan MA untuk menguatkan ruang teori dalam putusan MA.
Feri mengatakan bahwa pengadilan sangat membutuhkan kemapanan dalam cara berpikir agar bangunan argumentasi di dalam putusan terbangun dengan baik.
Menurut Feri, selama ini dalam praktiknya, beberapa putusan oleh hakim agung dihasilkan dengan daya analisis yang masih rendah karena hanya mengacu kepada norma.
Padahal, menurut Feri, ada cara untuk mendapatkan keadilan yang tidak harus melalui norma.
"Ada hal-hal yang bisa didapatkan hakim di dalam ruang peradilan, dan itu bisa didapatkan dari nonkarir, ini yang disebut dengan pengayaan peradilan," kata dia.
Pendapat yang sama juga dikatakan oleh Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono.
Bayu menyebutkan bahwa hakim agung dari jalur non-karir merupakan vitamin bagi MA untuk mengatasi ketidakpercayaan publik kepada MA.
"Posisi hakim agung dari jalur non-karir ini sangat dibutuhkan oleh MA, mengingat posisi hakim agung non-karir sebagai vitamin untuk MA dalam mengatasi ketidakpercayaan publik terhadap lembaga peradilan," kata dia.
Bayu menyebutkan banyak hakim agung dari jalur non-karir yang melakukan reformasi di tubuh MA, seperti Artidjo Alkostar, Gayus Lumbuun, dan Bagir Manan.
Tiga mantan hakim agung tersebut, dikatakan oleh Bayu, merupakan figur hakim agung jalur hakim non-karir yang nyata-nyata melakukan reformasi di MA melalui putusan-putusannya dan sesuai dengan nilai-nilai keadilan di masyarakat.
Nama Artidjo Alkostar merupakan contoh bagaimana hakim agung jalur non-karir masih sangat memegang teguh idealisme dengan menolak keras "negosiasi" putusan.
Tidak sedikit terpidana korupsi yang terpaksa mencabut berkas kasasi mereka setelah mengetahui bahwa hakim agung yang akan memeriksa perkaranya adalah Artidjo Alkostar.
Namun, setelah Artidjo Alkostar purnatugas, tercatat MA kembali menerima banyak berkas permohonan peninjauan kembali untuk kasus korupsi, yang salah satunya diajukan oleh Anas Urbaningrum.
"Ini kan menunjukkan kehadiran hakim agung non-karir sangat dirasakan manfaatnya," ujar dia.
Amanat Reformasi
Lahirnya UU 3/2009 tentang Mahkamah Agung merupakan amanat reformasi, terutama terkait dengan peraturan rekrutmen calon hakim agung yang tertuang dalam Pasal 6B.
Adapun Pasal 6B ayat (1) berbunyi, "Calon hakim agung berasal dari hakim karir", dan Pasal 6B ayat (2) berbunyi: "Selain calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon hakim agung juga berasal dari nonkarir".
Sementara dalam UU MA yang lama, dijelaskan bahwa hakim agung non-karir hanya merupakan alternatif.
Terkait dengan hal ini, Bayu menjelaskan bahwa pasal ini sengaja dirumuskan karena masyarakat memiliki rasa tidak percaya yang tinggi kepada MA, sehingga dibutukan hakim agung yang diusulkan oleh masyarakat yang tentunya bukan dari jalur hakim karir.
"Ini tentu menjelaskan mengapa hakim agung jalur non-karir merupakan bagian dari amanat reformasi yang tentunya harus dijalankan," kata Bayu.
Mahkamah Agung sebagai lembaga hukum tinggi di negara ini, tentunya harus menjaga kepercayaan publik. Artidjo Alkostar dan Gayus Lumbuun adalah dua dari segelintir hakim agung yang cukup dipercaya oleh masyarakat Indonesia untuk menegakkan keadilan.
Semoga saja Indonesia dapat terus memiliki hakim-hakim agung yang patut disegani dan mampu memberi efek jera, seperti Artidjo Alkostar dan Gayus Lumbuun. *