Palu, Sulawesi Tengah (Antaranews Gorontalo) - Masa tanggap darurat akan berlangsung selama enam bulan, penuntasan seluruh penanganan gempa Sulawesi Tengah akan memakan waktu dua tahun.
Kepastian dari pemerintah, disampaikan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, itu menjadi hal terpenting dalam catatan sepekan gempa Bumi dan gelombang tsunami yang terjadi di Sulawesi Tengah.
Disebut terpenting karena bisa menjadi pedoman dalam menentukan arah dan kebijakan bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, instansi terkait, BUMN dan pihak swasta, hingga pihak luar negeri terkait penanganan setelah gempa.
Episentum gempa ada di 18 derajat Lintang Selatan dan 119.85 derajat Bujur Timur atau sekitar 27 kilometer dari timur laut Kabupaten Donggala, pada kedalaman 10 kilometer, itu memiliki kekuatan 7,4 pada skala Richter, dan menimbulkan gelombang tsunami.
Energi gempa sekitar 2,5x10^20 Nm yang setara dengan 3x10^6 Ton-TNT atau 200 kali bom atom Hiroshima, Jepang, menurut Deputi Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa BPPT Wahyu W Pandoe, ini memang dahsyat.
Pusat gempa yang berada pada patahan sesar Palu-Koro pada kedalaman 10 kilometer itu termasuk dekat dengan permukaan bumi sehingga kerusakan dan banyaknya korban akibat gempa tak terhindarkan.
Gempa yang terjadi pukul 18.02 WITA itu telah membuat ribuan orang meninggal dunia. Hingga Kamis (4/10) pukul 13.00 WIB, korban meninggal dunia sudah mencapai 1.424 orang, kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho. Sepekan gempa Sulteng, Sutopo diterima oleh Presiden Jokowi di Istana Bogor sebagai apresiasi atas informasi gempa.
Berbagai sarana infrastruktur dan bangunan rusak, bahkan ada yang "ditelan" bumi, serta luasan cakupan kerusakan terjadi di Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Parigi Moutong.
Ratusan kali gempa susulan, meskipun guncangan yang lebih rendah, masih terjadi, bahkan hingga sepekan ini pada Jumat siang terasa bumi di Palu bergetar singkat.
Berbagai sektor kehidupan dan layanan umum lumpuh sejak hari pertama terjadinya gempa, kelangkaan dalam memperoleh bahan bakar minyak, akses air bersih, layanan listrik dan telekomunikasi belum normal, membuat sebagian warga setempat mengungsi ke ratusan titik lokasi pengungsian, bahkan mengungsi ke luar Sulteng.
TNI AU memfasilitasi bagi warga korban gempa dari Palu dan sekitarnya untuk menumpang pesawat Hercules ke Makassar, Manado, Balikpapan, Surabaya, dan Jakarta, pihak TNI AU dan PT Pelni juga menyediakan kapal-kapal untuk membantu para pengungsi menuju daerah lain yang menurut mereka lebih aman.
Kembali ke soal terpenting yang disampaikan Wapres Jusuf Kalla itu, juga telah memastikan bahwa pemerintah pusat dan daerah bersama-sama instansi terkait, dalam menuntaskan penanganan gempa di sejumlah daerah di Sulawesi Tengah akan selesai dalam tempo dua tahun melalui tiga tahap.
Tiga tahapan itu, mulai dari tahap tanggap darurat, tahap rehabilitasi, dan tahap rekonstruksi.
Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum Palang Merah Indonesua (PMI) ini merinci bahwa pada tahap tanggap darurat kira-kira berlangsung selama enam bulan.
Sebelumnya, setelah terjadi gempa pada Jumat (28/9) itu, pemerintah telah menetapkan masa tanggap darurat hingga 11 Oktober 2018. Dengan pernyataan Jusuf Kalla itu memastikan pula bahwa masa tanggap darurat akan diperpanjang.
Pada masa tanggap darurat, pemerintah antara lain harus membuat barak-barak atau hunian sementara untuk seluruh warga yang kehilangan tempat tinggal.
Lalu tahap rehabilitasi atas seluruh bangunan yang rusak, dilanjutkan secara bersamaan dengan rekonstruksi bangunan dan infrastruktur yang ambruk dan rusak.
Mengenai apakah konsep penanganan gempa sama atau berbeda dengan penanganan gempa yang berlaku di Lombok, NTB, Jusuf Kalla mengatakan bahwa penanganan bencana alam dan gelombang tsunami di Kota Palu, Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Parigi Moutong, berbeda dengan yang terjadi di Lombok, NTB.
"Kalau di Lombok di daerah pedesaan yang kena, ini di perkotaan," katanya. Di daerah perkotaan, ada daerah yang padat sekali penduduknya sedangkan di Lombok luas sekali lahannya jadi bisa diatur macam-macam peruntukannya.
Sementara di Palu lahannya kecil sehingga memungkinkan untuk tahap rekonstruksi akan diberlakukan pembangunan tempat hunian bertingkat.
Pemerintah pasti akan merelokasi bangunan yang rusak parah untuk dipindahkan ke daerah lain. "Seperti yang di Balaroa, tak mungkin lagi dibangun di situ," katanya.
Gayung bersambut
Bak gayung bersambut, terkait pernyataan Wapres bahwa pemerintah akan membangun hunian sementara, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat akan membangun 100 unit hunian sementara bagi korban bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi di beberapa daerah di Sulawesi Tengah.
Menurut Pelaksana Harian BPBD Jawa Tengah, Sarwa Pramana, di Semarang, Jumat, tiap unit hunian sementara berukuran 6x4 meter yang dilengkapi dengan fasilitas untuk mandi, cuci, dan kakus (MCK) dan aliran listrik.
Anggaran pembuatan hunian sementara yang terbuat dari triplek, seng, dan galvanis ini merupakan bantuan jajaran Korpri dan Bank Jateng.
BNPB juga sedang menerjunkan berbagai tim untuk melakukan kajian atas kebutuhan penduduk pada masa tanggap darurat ini.
Sebagaimana disampaiakan oleh Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Harmensyah mengatakan bahwa dalam sepekan ke depan agar misi pengkajian dari tim itu akan selesai.
Sebagai masukan untuk pemerintah dan instansi terkait, Antara juga mencatat bahwa ribuan warga Kelurahan Petobo, Kota Palu, kehilangan tempat tinggal pascagempa bumi disertai lumpur. "Banyak rumah warga yang rusak berat, tidak layak lagi untuk di huni," ucap Lurah Petobo, Masrun.
Sampai saat ini, upaya yang dilakukan untuk penanganan bencana masih sebatas pendataan warga serta distribusi logistik. Terkait dengan rencana relokasi permukiman warga, belum ada tindak lanjut.
Saat ini pihaknya masih fokus pada distribusi logistik untuk warga Petobo di lokasi-lokasi pengungsian.
Wilayah Petobo, Kecamatan Palu Selatan yang terkena lumpur sekaligus, memiliki luas area evakuasi dan pencarian korban kurang lebih dua kilometer persegi.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pemerintah akan merelokasi permukiman warga sekitar 20 kilometer ke arah timur dari lokasi benc
Jika rencana tersebut direalisasikan, permukiman akan berada di pegunungan yang berbatasan langsung antara Kota Palu dan Kabupaten Parigi Moutong.
"Kami tidak ada masalah, karena asal orang tua kami atau Bulili itu awalnya di gunung tersebut," ujar Sarman, salah satu warga Asli Petobo yang selamat.
Petobo sebelum menjadi kelurahan dan salah satu daerah administratif Pemkot Palu, bernama Bulili. Di sebelah timur Kota Palu atau tepatnya di timur Petobo, terdapat Gunung Bulili yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Parigi Moutong.
Masukan dari para ahli dalam merehabilitasi dan merekonstruksi infrastruktur dan bangunan di Palu dan Sulteng, umumnya, juga menjadi catatan menarik.
Sebagaimana disampaikan Perekayasa Ahli Utama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Andi Eka Sakya, bahwa pemerintah sebaiknya segera mewajibkan membuat bangunan tahan gempa guna meminimalisir jumlah korban bencana.
"Gempa tidak membunuh, (tetapi) bangunan yang rentan ya," kata Andi. Untuk itu, sifat kerentanan lokal harus menjadi dasar pertimbangan dalam menetapkan kekokohan bangunan (building code). Kondisi ini juga berlaku untuk semua infrastruktur.
Kelalaian pembangunan infrastruktur maupun bangunan tanpa mengindahkan "building code" yang telah diwajibkan, Andi mengatakan bisa saja diterapkan sanksi hukum. Terlebih jika kelalaian tersebut akhirnya memakan korban.
Kebijakan seperti itu, menurut mantan Kepala BMKG ini, sudah diterapkan di Chile yang memang merupakan negara yang juga rawan terkena bencana seperti di Indonesia.
Sebelumnya Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam (TPSA) BPPT Hammam Riza mengatakan kejadian bencana di Lombok, Donggala, Palu dan Sigi membuka mata semua untuk lebih memperhatikan seluruh aspek kebencanaan.
"Semua aspek pembangunan, termasuk pembangunan infrastruktur-infrastruktur besar, jika tidak disertai pemahaman risiko bencana maka akan sia-sia," ujar dia.
Kerangka kerja Siklus Penanggulangan Bencana (Disaster Life Cycle) mulai dari pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan, rekonstruksi perlu menjadi perhatian. Dan pengembangan teknologi tidak boleh terlepas dari kerangka tersebut.
Sementara data dari Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan wilayah di sekitar pusat gempa bumi pada umumnya disusun oleh batuan berumur pratersier, tersier, dan kuarter.
Batuan berumur pratersier dan tersier tersebut sebagian telah mengalami pelapukan. Batuan berumur pratersier dan tersier yang telah mengalami pelapukan dan endapan Kuarter tersebut pada umumnya bersifat urai, lepas, lunak, belum kompak (unconsolidated), bersifat memperkuat efek goncangan gempa sehingga rawan terhadap goncangan gempa.
Setiap gempa memang menghadirkan kesedihan dan rasa pilu tetapi kesiapan menghadapi gempa lebih penting daripada merasakan dampak gempa.
Apalagi kita hidup di Indonesia, satu dari tiga lempeng bumi aktif di dunia. Kita tidak tahu kapan gempa dan tsunami, kita yang harus siap mengantisipasi dan menghadapi gempa.
Begitu dahsyatnya gempa yang terjadi memang tampak wajar membuat pilu bangsa Indonesia tetapi dengan pengalaman berbagai kejadian gempa dan penanganan yang telah sistemik, membuat bangsa ini tetap kuat dan tegar menghadapi musibah ini, untuk kembali pulih.