Jakarta (Antaranews Gorontalo) – Hingga kini sampah masih menjadi persoalan serius yang dihadapi kota-kota di Indonesia. Tak jarang persoalan itu menimbulkan ketegangan dan kontroversi atau polemik antarpemerintah daerah maupun antara pemerintah dengan masyarakat. Intinya persoalan itu masih menjadi pekerjaan besar saat ini, terlebih di masa mendatang seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk.
Di Indonesia, bertambahnya jumlah penduduk menghadirkan persoalan semakin peliknya masalah sampah. Hal itu karena manajemen pengelolaan yan perlu terus disempurnakan, disamping kesadaran masyarakat yang harus dipacu untuk terlibat secara aktif dalam penyelesaian maslah ini.
Ketegangan antara Pemerintah Provinsi DKI jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi, jawa Barat, terkait sampah membuktikan betapa persoalan sampah bisa demikian serius. Walaupun dianggap sebagai persoalan komunikasi tetapi masalah ini rawan terjadinya pengulangan di masa mendatang.
Bukan kali ini saja persoaan sampah antara DKI dengan Kota Bekasi mencuat. Ini bermula dari penghentian truk-truk sampah dari Jakarta yang memasuki wilayah Kota Bekasi. Truk pengangkut sampah DKI memang hilir-mudik 24 jam untuk membuang sampah ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang. Dari Tugu Monas, lokasi itu sekitar 40 kilometer.
Pada jarak yang demikian jauh itulah sampah sampah Jakarta dibuang dengan armada truk yang umumnya bewarna orange. Selama ini tam[ak jelas ada simbiosis mutualisme antara DKI dengan Kota Bekasi. Jakarta membuang sampah, Kota Bekasi punya penampungan.
Dari kerja sama itu, ada anggaran yang harus dibayar DKI. Tidak sedikit nilainya dan sejauh ini kerj sama itu berjalan baik, walaupun beberapa kali kejadian dan keduanya bersitegang. Publik masih terngiang ketika truk-truk sampah dihentikan oleh aparat Pemertintah Kota Bekasi. Itu terjadi pada September 2014, Oktober 2015 dan 2016.
Kejadian terakhir pada 17 Oktober 2018 ketika 16 truk sampah DKI dihetikan. Inti dari semua kejadian adalah dana kompensasi. Masalah akan mungkin terus berulang meski sebenarnya kedua pihak tampak saling membutuhkan. Kisruhnya persoalan sampah juga megharuskan bahwa DKI Jakarta harus mencoba cara lain untuk mengatasinya.
Artinya, kalau dengan cara selama ini DKI Jakarta mungkin selalu terpojok akibat tuduhan atau anggapan tidak atau belum membayar dana kompensasi kepada Kota Bekasi, maka wajar bisa mencari alternatif yang menangani sampahnya. Selayaknya, mencoba terobosan baru.
Banyak kalangan tahu bahwa sampah sekalipun memiliki nilai ekonomi. Studi dan penjajakan mungkin sudah pernah dilakukan jajaran Pemerintah DKI Jakarta sehingga yang diperlukan adalah penerapannya.
Tahun 1996-1997 Badan PBB untuk Pendidikan dan Kebudayaan (Unesco) pernah membuat program “Lautku” di DKI Jakarta. Melalui program ini, Unesco mengedukasi masyarakat menjadikan sampah bernilai ekonomi.
Dari program ini, masyarakat di beberapa lokasi dididik untuk memilah dan memilih sampah. Sebagian dijual, sebagian didaur ulang dan sebagian lagi dijadikan kompos. Cukup banyak komunitas yang berhasil. Salah satunya di Kelurahan Banjarsari Jakarta Selatan.
Komunitas di sini—yang umumnya ibu-ibu rumah tangga—waktu itu membuat kompos yang sebagian dijual, sebagian digunakan sendiri untuk tanaman di dalam pot atau dijadikan salah satu pakan ikan terutama lele.
Kunjungan media dan jajaran pimpinan program Unesco ini ke lokasi, menikmati makan siang yang dilengkapi sop sayuran hasil tanaman sendiri dengan lauk lele goreng sambal terasi. Delegasi Unesco tampak senang karena programnya dinilai berhasil hingga makan siang waktu itu terasa dinikmati sekali.
Kalau setiap kelurahan di Jakarta ada program seperti itu walaupun dengan lokasi pengolahan yang sangat terbatas, diyakini arus sampah keluar wilayah akan berkurang. Sekarang tinggal bagaimana secara mandiri menghidupan lagi program itu dengan arahan yang baik karena dampak ekonominya sangat terasa.
Kalau persoalan sampah di wilayah daratan yang padat penduduk beres, maka diyakini aliran sampah ke Teluk Jakarta juga berkurang. Inilah esensi dari program tersebut, yakni meningkatkan nilai ekonomi sampah dan meningkatkan perekonomian warga yang sasarannya adalah mengurangi arus sampah ke laut.
Baca juga: IKM tong sampah daur ulang ini "booming" pesanan
Terpadu
Sasaran seperti ini tampaknya juga menjadi program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Bahkan dilaksanakan secara terpadu yang melibatkan semua pihak terkait.
Sudah banyak yang berhasil. Pengelolaan sampah dan limbah secara terpadu ini dlakukan melalui konsep “circular economy”.
Program yang dilaksanakan dengan sekala lebih luas. Karena itu konsep ini mendapat apresiasi dari Uni Eropa (UE).
Dengan prinsip 3R (reduce-reuse-recycle), kini sampah dan limbah menjadi sumber daya terbarukan di sektor industri, hingga konservasi lingkungan melalui proses daur ulang. Sampah juga membuka lapangan pekerjaan baru bagi banyak orang.
Dalam forum dialog “The 8th EU (European Union)-Indonesia Bussiness” yang mengangkat tema "Circular Economy: Maximizing Bussiness Through Sustainable Practice” program dengan konsep “circular economy” ini juga mengamuka.
Sebelumnya digelar pertemuan bilateral antara Menteri LHK Siti Nurbaya dengan Komisaris UniEropa untuk Lingkungan, Kelautan dan Perikanan, Karmenu Vella khusus membahas “circular economy”.
Sistem pengelolaan sampah terintegrasi melalui “circular economy” juga menjadi salah satu bahasan utama pertemuan bilateral dengan Wakil Menteri Infrastruktur dan Pengelolaan Air Belanda Roald Lapperre.
''Circular economy” melalui mekanisme Bank Sampah yang semakin menjadi harapan. Saat ini jumlah Bank Sampah telah mencapai 5.244 yang tersebar di 34 provinsi dan 219 kota di seluruh Indonesia. Bank Sampah telah melibatkan lebih dari 179 ribu pelanggan. Jumlah itu diyakini akan terus meningkat.
Masyarakat kini terlibat dalam memisahkan limbah dan menjualnya ke Bank Sampah. Program Bank Sampah telah menghasilkan pendapatan baru dengan rata-rata pendapatan Rp40 juta per bulan.
Pemanfaatannya semakin memberi nilai tambah dengan melibatkan sektor industri, melalui inovasi produk, kolaborasi dan program kemitraan. Ada beberapa proyek percontohan di Bali, Jakarta dan Jawa Timur yang diintegrasikan dengan Bank Sampah dan industri daur ulang plastik.
Melalui Penilaian Kinerja Lingkungan (PROPER), pihaknya juga terus mendorong industri melakukan efisiensi energi dan menjadikan limbah sebagai bagian dari sumber daya utama mereka. Lebih dari 200 industri terlibat dan tren industri berkelanjutan semakin meningkat.
Dengan keluarnya Keppres 2017 mengenai Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah (JAKSTRANAS), Indonesia memiliki target pada tahun 2025, 100 persen dari limbah padat dapat dikelola dengan baik, terdiri dari 30 persen pengurangan limbah dan 70 persen penanganan limbah.
Komitmen penanganan sampah juga semakin kuat dengan keluarnya Perpres Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut pada 17 September 2018.
Pengelolaan limbah padat terpadu juga didorong agar mampu menghasilkan gas metana untuk listrik atau penggunaan lainnya. Ada 12 kota yang siap melaksanakan proses pengolahan limbah padat berbasis energi, tidak hanya di Jawa tetapi juga di Sumatera, Bali dan Sulawesi.
Dalam kaitan ini pula, terus dilakukan inovasi dan mengintegrasikan tanggung jawab produsen lebih luas atau “Extended Producer Responsibilty” (EPR) dengan Bank Sampah. Mekanisme yang dibangun dengan menempatkan Bank Sampah sebagai “dropping point” dan pengelolaannya dapat dikerjasamakan atau dimitrakan dengan para produsen.
Bank Sampah juga digagas berbasis “online” atau daring melalui aplikasi berbasis smartphone. Dengan demikian memudahkan masyarakat dalam menyetor sampahnya.
Ini sesuai dengan arahan Presiden Jokowi bahwa penanganan sampah harus ditangani terpadu, mewujudkan kota dan wilayah pemukiman yang bersih, sekaligus dapat memberi nilai tambah ekonomi bagi masyarakat.
Itulah sebabnya Karmenu Vella memberi apresiasi pada upaya dan langkah nyata Pemerintah Indonesia. Indonesia adalah mitra penting bagi EU dalam melangkah menuju “circular economy global”.
Dalam menuju masa depan yang hemat SDA, sirkular dan rendah karbon, negara-negara tidak bisa berkembang sendiri. EU siap bekerja bersama Indonesia untuk mendukung transisi baik bisnis, lingkungan dan perlindungan iklim.
Namun kerja keras harus dilakukan. Kolaborasi pemerintah pusat, pemda, pelaku bisnis dan masyarakat serta para penggiat atau aktivis merupakan kunci sukses.
Dalam kaitan ini, pemerintah akan terus mendorong dan memfasilitasi. “Kita bisa selesaikan bersama,” katanya.