Di ranah kehidupan apa pun, selalu ada orang-orang yang tak setuju dengan penyeragaman, pembakuan yang dianggap dapat membelenggu kemerdekaan dan daya cipta individual.
Penolakan terhadap pembakuan bahasa cukup keras disuarakan sejak lama oleh kaum intelektual, seperti Benedict Anderson, Ariel Heryanto, dan para penulis yang menggunakan bahasa sebagai peranti ekspresi mereka.
Argumen paling mendasar mengenai penolakan terhadap pembakuan bahasa karena bahasa merupakan gejala sosial yang kesepakatannya diputuskan oleh publik pengguna, bukan oleh otoritas elitis semacam ahli bahasa yang diangkat oleh penguasa untuk menjadi anggota dewan bahasa.
Dalam masyarakat yang dibingkai oleh sistem politik otoriter, sebagaimana berlangsung di era Orde Baru, pembakuan bahasa yang dilakukan institusi negara berlangsung sangat efektif. Pembakuan bahasa akhirnya mau tak mau berimplikasi pada penyeragaman cara menulis, bahkan kadang jalan berpikir.
Mayoritas pengguna bahasa menjadikan bahasa baku sebagai patokan dalam berekspresi. Kaum akademis pun rata-rata berbahasa baku. Menulis buku, menulis makalah hampir tak beda dengan menulis teks pidato pejabat.
Hanya kaum cendekiawan kritis, penyair dan penulis fiksi yang dengan sadar melepaskan diri dari imperatif pembakuan bahasa. Dengan membaca karya-karya mereka inilah pembaca menemukan energi ekspresi yang berbeda dan itu terasa menyegarkan. Itu gejala konkret yang bisa dirasakan pembaca awam. Namun, begitu Orde Baru tumbang, hasrat untuk menggunakan bahasa secara ekspresif individual kian menguat.
Teks-teks yang menawarkan daya ekspresi yang bertolak belakang dengan kultur berbahasa Orde Baru yang mengagungkan keseragaman pun mulai merebak. Salah satu yang bisa dicatat di sini adalah terbitnya buku antologi sastra pra-Indonesia bertajuk Tempo Doeloe, yang disusun novelis terkemuka Pramoedya Ananta Toer, yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara. Cerita-cerita yang dikumpulkan di sini menggunakan bahasa Melayu pasar.
Majalah Tempo pun menurunkan artikel Ben Anderson yang ditulis menggunakan bahasa Indonesia dengan Ejaan Suwandi pada edisi akhir tahun 2001. Gairah publik melakukan perlawanan terhadap politik bahasa yang diterapkan oleh penguasa Orba semakin kuat pada masa-masa Pasca-Reformasi.
Gairah semacam ini tentu layak disambut dengan positif karena dengan demikian akan semakin maraklah lahirnya keberagaman eskpresi verbal dalam pertukaran pikiran, berwacana di ruang publik.
Namun, sesungguhnya penyeragaman alias pembakuan kebahasaan tak sepenuhnya menghasilkan implikasi negatif. Tak bisa dibayangkan jika proyek penyeragaman istilah yang melibatkan sejumlah ilmuwan dalam berbagai cabang ilmu itu tak dilakukan oleh penguasa. Dalam konteks ini, apa yang dikatakan oleh peneliti bahasa Jerome Samuel tentang pemodernan kosakata dan politik peristilahan sebagai kasus ajaib bahasa Indonesia agaknya tak berlebihan.
Tentu bisa diperdebatkan lebih jauh bahwa apa yang ajaib tidak selalu diberi nilai positif atau negatif. Yang jelas, kebijakan kebahasaan yang dirintis atau dikomando oleh institusi negara pada beberapa aspek merupakan jalan pintas dalam mengisi lubang-lubang atau ruang kosong khazanah peristilahan keilmuan di Tanah Air.
Pada akhirnya, bahasa Indonesia mutakhir, yang kini terus berdialektika dan diperkaya secara tak henti-hentinya oleh penggunanya, bukan saja telah menghasilkan banyak karya literer yang layak disyukuri, sekali pun pada sisi lain juga menghasilkan teks-teks yang gado-gado, berupa percampuran kosakata Indonesia dan asing yang dipaksa-paksakan.
Dalam praktik berbahasa di ranah jurnalistik, perlawanan terhadap bahasa yang distandarkan lewat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga terus berlangsung. Tentu tak semua institusi media massa mengingkari panduan berbahasa yang sekarang dikumandangkan para pegawai Badan Bahasa. Ada media massa yang wartawanannya disarankan untuk menjadikan KBBI sebagai patokan resmi yang tak perlu ditawar-tawar.
Sebagian media massa yang lain berpendirian lebih luwes dengan menjadikan KBBI sebagai panduan dengan catatan bahwa beberapa lema yang dirasakan tak tepat dalam ejaan maupun semantik tidak akan diikuti.
Pertarungan pengaruh antarmedia arus utama dalam menulis sejumlah kata-kata yang belum seragam dalam ejaan sampai sekarang masih berlangsung. Pertanyaannya: haruskah setiap media massa mengeja secara seragam sebuah kata atau lema?
Pada umumnya kalangan pendidik yang diundang dalam diskusi-diskusi kebahasaan bidang jurnalistik menuntut supaya keseragaman itu diupayakan. Ini, kata mereka, penting buat kalangan pelajar yang tak perlu dibingungkan dengan harus memilih kata dengan ejaan berbeda-beda.
Bagi kalangan pengguna bahasa di lingkungan media massa, mengapa harus seragam dalam mengeja? Apa yang mengganggu dengan perbedaan ejaan? Bukankah jumlah kata-kata yang memiliki varian dalam ejaan itu bisa dibilang tidak banyak.
Varian dalam ejaan itu biarlah terus hidup dalam pergulatan merebut pengaruh sehingga pada akhirnya akan tersepakati ejaan mana yang menang dan dipakai oleh mayoritas pengguna bahasa Indonesia. Dan, kalau pun kesepakatan itu tak dicapai, anggap saja itu sebagai kelumrahan semata. Akan selalu ada individu-individu yang menolak penyeragaman berbahasa.
Yang menyedihkan, ada sekumpulan orang yang berpendapat bahwa kesepakatan itu perlu dicapai, bahkan jika perlu dengan pemaksaan lewat penerapan undang-undang kebahasaan yang berimplikasi pemberian sanksi hukum. Ini sesuatu yang muskil, tentunya.*