Jakarta (Antaranews Gorontalo) - Thailand pada Kamis (15/11) secara resmi menerima keketuaan ASEAN untuk 2019 dengan mengusung tema Advancing partnership for sustainability.
Penyerahan keketuaan ASEAN itu mengakhiri Konferensi Tingkat Tinggi Ke-33 Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang berlangsung mulai 11 hingga 15 November di Singapura.
Di samping KTT ASEAN ke-33, para pemimpin negara-negara di Asia Tenggara menghelat serangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) lain bersama negara mitra ASEAN maupun dengan negara-negara kerja sama antarkawasan.
Salah satu isu yang dibahas, yaitu Laut Cina Selatan yang merupakan wilayah strategis yang berbatasan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan RRT.
Di beberapa bagian terjadi tumpang tindih yurisdiksi antara claimant states (Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan RRT) yang menjadikan potensi konflik di wilayah ini cukup tinggi.
China dan 10 negara anggota ASEAN selama bertahun-tahun berusaha menyusun kode etik untuk mengatur perselisihan di Laut China Selatan.
Namun, proses menyamakan konsep dalam penyelesaian sengketa Laut China Selatan berjalan lambat.
Dalam KTT ASEAN ke-33, negara-negara anggota ASEAN menyepakati teks negosiasi tunggal untuk Laut China Selatan (LCS) sebagai upaya menyelesaikan sengketa di wilayah perairan itu.
Hal tersebut diungkapkan Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi saat menghadiri "ASEAN Political-Security Community Council Meeting" ke-18 di Suntec Convention Centre, Singapura, Selasa.
Menteri Retno mengharapkan first reading antara ASEAN dan China untuk draf dokumen negosiasi tunggal itu dapat dilaksanakan tahun depan.
"Itu adalah dokumen negosiasi yang sudah menjadi satu. Kemarin- kemarin itu negara-negara anggota ASEAN dan China punya dokumen negosiasi sendiri-sendiri. Nah, sekarang sudah menjadi satu karena sudah disepakati," kata dia.
Teks negosiasi tunggal akan memudahkan ASEAN untuk bernegosiasi dengan China terkait dengan penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri Jose Tavares optimistis pembicaraan awal tentang kode etik (Code of Conduct) di Laut Cina Selatan dapat diselesaikan pada 2019.
Negara-negara anggota ASEAN telah menyepakati teks negosiasi tunggal untuk Laut Cina Selatan (LCS) dan sudah dalam proses membaca pertama dari dokumen teks negosiasi tunggal itu.
Kesepakatan teks negosiasi tunggal itu menunjukkan bahwa negara-negara anggota ASEAN memiliki pandangan yang sama.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengatakan sengketa Laut Cina Selatan harus diselesaikan secara damai dengan menghormati ketentuan-ketentuan yang sudah disepakati.
"Hormati ketentuan-ketentuan yang sudah ada. Jangan ada provokasi dan aksi-aksi yang memancing pertikaian," ujar dia.
Hal yang penting, lanjut dia, ajakan untuk menyelesaikan secara damai itu sudah masuk dalam ketentuan-ketentuan yang sudah pernah disepakati, termasuk China sendiri juga setuju.
"Semua setuju bahwa jangan sampai negara yang bertikai itu masuk ke wilayah konflik," kata dia.
Selain itu, Indonesia mendorong penyelesaian berbagai kesepakatan yang mengarah kepada penyelesaian secara menyeluruh.
Tetapi, hal itu tentu tidak mudah karena masing-masing punya kepentingan di Laut Cina Selatan.
Dalam kesempatan lain, pakar hubungan internasional Universitas Padjadjaran Bandung Teuku Rezasyah mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk memiliki pemahaman yang sama terhadap Code of Conduct dalam mengupayakan perdamaian di Laut China Selatan untuk membiasakan saling berkonsultasi dan tidak saling mengkritik.
"Di internal ASEAN harus ada kesepahaman terkait Code of Conduct itu," ujarnya
Indonesia mengupayakan agar ASEAN tidak terbelah menjadi pro-China dan pro-status quo.
"Di eksternal ASEAN yaitu membangun Code of Conduct (CoC), sehingga menghargai prinsip-prinsip Freedom of Navigation, serta Zone of Peace, Freedom, and Neutrality (Zopfan) yang sejalan dengan prinsip-prinsip Hukum Internasional, ASEAN Charter, Piagam PBB, dan UNCLOS," katanya.
Selain itu, negara-negara anggota ASEAN harus mencegah terjadinya kontak militer yang membahayakan yang kemungkinan terjadi antara anggota ASEAN dengan China dan antara China dengan negara lain di luar anggota ASEAN.
"Indonesia harus meyakinkan China bahwa ASEAN hanya bersedia berunding secara kolektif dan menolak perundingan bilateral," kata dia.
Hentikan Provokasi
Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengecam setiap latihan militer di Laut Filipina Barat yang merupakan bagian dari Laut Cina Selatan, yang disengketakan karena akan menciptakan gesekan dan provokasi terhadap China.
"Saya katakan China sudah memiliki dan Laut Filipina Barat sekarang ada di kendali mereka. Jadi mengapa Anda harus membuat gesekan dengan menggelar kegiatan militer di wilayah yang disengketakan itu," ujar Rodrigo Duterte di sela-sela KTT ASEAN ke-33, Kamis (15/11).
Duterte mengaku tidak keberatan semua orang pergi berperang. Namun Filipina akan menjadi yang pertama menderita apabila ada tembakan di situ.
"Itu adalah satu-satunya kepentingan nasional saya di sana. Tidak ada yang lain," ujar dia.
Filipina dan China memiliki klaim yang tumpang tindih di Laut China Selatan, bersama dengan Vietnam, Taiwan, Malaysia dan Brunei.
Sementara itu, Duterte akan melakukan yang terbaik untuk mendorong penyelesaian kode etik (COC) di Laut China Selatan.
Duterte mengatakan bahwa negara-negara lain harus menerima kenyataan bahwa China berada di perairan yang disengketakan.
"Semua negara baik itu Amerika Serikat harus menyadari bahwa China ada di sana. Jadi jika Anda terus menciptakan gesekan dan salah perhitungan, maka keadaan malah akan bertambah buruk," ujar dia.
Sementara itu, Malaysia mendukung perdamaian di Laut China Selatan dengan tidak meningkatkan ketegangan di sengketa di sana.
"Kami sepakat tentang cara tidak meningkatkan ketegangan di Laut China Selatan," kata Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad di sela-sela temu puncak ke-33 ASEAN, Kamis lalu.
Cara tidak meningkatkan ketegangan antara lain tidak membawa kapal perang, kebebasan pelayaran di Laut China Selatan, serta jaminan keamanan penerbangan di laut bersengketa itu.
Malaysia memahami perlunya kebutuhan akan keamanan di kawasan sedangkan kebutuhan akan keamanan dapat diselesaikan dengan kapal patroli sederhana.*