Dia dijuluki "Putri Laut ". Bahkan, ada yang menyebutnya "Gila". Tentu saja "gila" yang merujuk kepada keberanian dalam menantang dan mengarungi hidup dengan memegang kuat-kuat prinsip hidup.
Sampai Agustus 2018, sejak menakhodai salah satu kementerian dalam Kabinet Kerja pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla, wanita besi bersuara berat tetapi pantang berberat langkah dalam tekad dan tindakan ini sudah menenggelamkan 488 kapal asing yang kedapatan menjarah laut Nusantara.
Dia adalah Susi Pudjiastuti, sang menteri kelautan dan perikanan.
Semua orang tahu Susi garang. Seisi negeri tahu Susi pantang memundurkan langkah tatkala menghadang siapa pun yang dianggapnya tidak benar sampai orang lupa mengenal bahwa dia juga perempuan yang bisa bersedih dan sentimentil.
Tidak banyak orang yang pernah menyaksikan air mata menetes dari empat sudut pada sepasang matanya. Tidak banyak orang memergoki rona wajahnya memerah manakala mengenang orang terkasihnya, paling dihormatinya, ibundanya.
Tetapi, Jumat sore 21 Desember 2018, ANTARA menyaksikan sisi sentimentil seorang Susi manakala berbicara tentang bunda terkasihnya, perempuan utama yang mendidiknya seperti dia dikenal oleh kebanyakan orang di negeri 17.500 pulau ini.
"Saya pikir beliau sosok orang yang luar biasa," kata Susi kepada Drucella Benala Dyahati dari ANTARA TV.
Selama hampir setengah jam, Susi berbicara tentang almarhumah ibundanya, sekaligus posisinya sebagai ibu untuk anak-anaknya, dan juga mengenai posisi perempuan dari perspektif seorang pebisnis yang teruji nan tangguh serta dari perspektif seorang perempuan birokrat yang tegas, yang antikorupsi, dan tak surut menghadang ketidakbenaran.
Memang tak sampai menitikkan air mata, tetapi Susi tidak akan pernah bisa menyembunyikan emosi terdalamnya manakala berbicara tentang ibundanya.
Matanya agak memerah saat ditanya seandainya ibundanya masih hidup, apa yang akan dia lakukan untuk ibunda terkasihnya itu.
"Saya minta maaf atas waktu yang sangat kurang, (seandainya ibunda masih hidup) saya gunakan (seluruh waktu) untuk bersama ibu," kata perempuan yang dilahirkan di Pangandaran, Jawa Barat, 15 Januari, 53 tahun silam.
Seorang ibu bagi seorang Susi adalah model untuk seluruh aspek hidupnya.
Dari ibu, Susi belajar tentang bagaimana hidup seharusnya ditata dan diarungi. Yakni hidup yang meninggikan nilai dan esensi, hidup yang seimbang antara "aku" dan "kita" sehingga egoistis dan individualistis tidak sedetik pun singgah dalam diri dan hidupnya.
Susi ditanami ibundanya dengan jalan hidup yang meninggikan kerja keras, memuliakan kejujuran, mengagungkan empati, mencampakkan dusta dan membuang jauh-jauh kelicikan dari kamus hidupnya.
Kerja keras dan kejujuran
"Apa ajaran beliau yang ibu turunkan kepada anak-anak Anda?" tanya Drucella.
Susi menjawab, "Kerja keras, kemudian selalu jujur karena jujur itu sangat penting, supaya kita tidak masuk lingkaran manipulatif, kebohongan. Itu yang selalu saya ingat. Jangan melakukan sesuatu ke orang yang kamu tidak suka orang itu melakukannya ke kamu. Itu juga yang saya ajarkan ke anak-anak."
Susi percaya kejujuran yang ditanamkan selama hidup akan berbuah kebajikan, bukan hanya untuk yang menanam kebajikan itu, tetapi juga untuk semesta alam.
"Everything will be back. Respect and pride sangat penting, sincerity, humanity, dan keberanian juga," kata Susi.
Ibundanya telah memberinya modal hidup yang tak ternilai, yakni ajaran hidup yang memuliakan kebaikan yang sampai kini dia pegang kuat-kuat, praktikkan dan tularkan kepada anak-anaknya sendiri.
"Kalau kita mau orang baik sama kita, kita mesti baik sama orang. Kalau kita mau orang memghormati kita ya kita harus menghormati orang. Kalau kita mau orang tidak menyakiti kita, ya kita tidak boleh menyakiti orang," kata Susi mengenai ajaran hidup yang terlihat mudah untuk dikatakan tetapi bisa sangat sulit dipraktikkan.
Selama setengah jam, Susi mengenang dan sekaligus mengagungkan kemuliaan seorang ibu.
Dia mengajak semua yang beribu atau pernah beribu, untuk tak henti menghormati dan mentakzimi ibunya. Bukan hanya karena 22 Desember itu Hari Ibu, melainkan karena ibu adalah abadi bagian inheren nan tak terpisahkan dari hidup seorang manusia.
"Kita begini sekarang karena ibu kita. Tanpa ibu, tidak mungkin ada saya seperti ini," kata Susi.
Susi sudah lama ditinggalkan sang bunda. Susi pernah lama melayari kehidupan dengan tuntunan seorang ibu.
Tetapi tatkala memori terlempar kepada sang ibu, Susi kerap merasakan waktu terlalu singkat.
Sejatinya dia ingin waktu lebih lama bersama ibundanya karena dia ingin berbagi buah dari kebaikan dan kebajikan yang ditanamkan ibunya kepada dirinya.
Susi tak ingin orang-orang merasakan kehilangan yang tak bisa dia hadirkan kembali.
Untuk itu, dia punya pesan khusus untuk semua orang yang masih memiliki ibu.
"Saya mengingatkan saja kepada kawan-kawan semua yang ibunya masih ada, cintai dan luangkan waktu anda bersama ibu, karena kalau ibu sudah tidak ada, rasa kangen dan rasa apa, kita hanya bisa mengenang saja."
Selamat Hari Ibu.