Revolusi mental adalah jargon politik yang pada mulanya digagas Joko Widodo sebagai calon presiden pada Pemilihan Presiden 2014. Konsepnya kurang lebih berangkat dari kesadaran bahwa sejatinya masyarakat Indonesia itu baik secara mentalitas namun dalam perjalanan waktu, sifat-sifat positif itu pudar.
Untuk mengembalikan ke mentalitas bangsa yang santun, berwatak luhur, pekerja keras, tidak korup maka perlulah dicetuskan program yang bisa menggerakkan rakyat Indonesia untuk kembali pada jati dirinya yang otentik.
Sejak jargon politik itu dikumandangkan, sudah empat tahun upaya mengimplementasikannya dilakukan oleh pemerintah. Mengubah mentalitas tentu jauh lebih sulit daripada memberbaiki aspek fisik manusia. Itu sebabnya, bisa dimaklumi jika program revolusi mental itu memperoleh kritik dari kaum oposisi.
Kritik teraktual datang dari politikus yang juga pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais. Menurut Amien Rais, salah satu titik lemah dari konsep revolusi mental adalah ketiadaan panduan moral di dalamnya. Itu sebabnya, Amien mengusulkan konsep tandingan dengan jargon revolusi moral.
Karena jargon dilawan dengan jargon, tak pelaklah bahwa pada akhirnya terjadi konflik alias sengkarut semantika, yang untuk memahami tali-temalinya perlu ditilik secara semantik alias makna kata. Dalam konteks ini, salah satu paramater menganalisis makna adalah merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Apa yang dijelaskan oleh KBBI tentang makna mental? Makna pertama digolongkan ke dalam kelas adjektiva, yang artinya bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga. Sedangkan makna kedua digolongkan dalam kelas nomina, yang berarti batin dan watak manusia.
Lalu bagaimana dengan makna moral yang dijadikan kata kunci oleh Amien Rais untuk menandingi konsep Joko Widodo yang kini sedang berkompetisi sebagai petahana dalam Pilpres 2019?
Menurut KBBI, makna pertama moral, yang masuk dalam kelas kata nomina adalah (ajaran tentang) baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya; akhlak, budi pekerti dan susila.
Sedangkan makna keduanya, yang juga berkelas nomina adalah kondisi mental yang membuat orang berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin dan sebagainya. Moral juga berarti isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan. Dalam makna ketiga, yang juga dalam kategori nomina, moral berarti ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita.
Konklusi apa yang bisa ditarik dari komparasi makna antara mental dan moral di atas? Jelas keduanya punya sisi persamaan dan perbedaan masing-masing. Persamaan itu terdapat pada fitur makna nonfisik. Baik mental maupun moral sama-sama berada di ranah ontologi abstrak. Namun keduanya berbeda di tataran nilai-nilai. Mental punya makna netral namun moral mengandung makna yang tak netral.
Cukup dengan mengatakan bahwa si A adalah tokoh bermoral, pendengar bisa segera mengartikan bahwa Si A adalah sosok yang berakhlak, berbudi pekerti. Hal demikian tak bisa diterapkan pada kata mental. Kalimat bahwa Si A adalah sosok yang bermental sama sekali tak mengisyaratkan makna yang jelas. Perlu tambahan adjektiva untuk memberikan nilai pada diksi mental.
Sebagai misal, Markus dan Kevin adalah pemain ganda pria bulutangkis Indonesia yang bermental juara adalah kalimat yang punya makna positif. Sedangkan kalimat: Salah satu gejala global adalah banyaknya remaja bermental hedonistis, adalah konstruksi yang bermakna negatif.
Dari uraian itu, kritik Amien Rais bahwa konsep revolusi mental tidak memuat pedoman moral agaknya sepintas bisa diterima. Namun, yang hendak disasar oleh konsep revolusi mental memang secara definitif tidak selalu mengacu kepada nilai-nilai moralitas semata.
Unsur-unsur mental yang meliputi kultur kerja keras, berdisiplin, gotong royong dan sopan santun memang bukan wilayah etis yang berurusan dengan moralitas. Di sinilah salah kaprah yang sering terjadi pada pengguna bahasa dalam memaknai perbedaan antara yang etis dan etiketis.
Seorang murid yang malas belajar tak bisa dikatakan sebagai murid yang tak bermoral. Sebaliknya, seorang pekerja yang sangat rajin yang suka menggelembungkan biaya yang tak semestinya harus dipandang sebagai pekerja yang tak bermoral.
Tentu saja tujuan dan maksud dari penggagas revolusi mental sebenarnya tak berseberangan dengan makna yang dikandung oleh frasa yang digagas Amien Rais, yakni revolusi moral.
Sebab, dari paparan yang pernah dibeberkan Jokowi di berbagai media massa arus utama menjelang Pilpres 2014, tujuan dari revolusi mental juga meliputi ikhtiar mengembalikan mental warga Indonesia ke watak aslinya yakni berbudi atau berpekerti luhur. Di sinilah muatan makna moral dari jargon politik revolusi mental itu.
Amien Rais juga menyoroti hasil implementasi dari program revolusi mental yang belum sepenuhnya berhasil karena terbukti masih banyak pejabat yang korup.
Untuk kritik yang berdimensi implementatif ini, tentu KBBI tak bisa lagi dijadikan acuan sebagai parameter seberapa jauh kritik itu mengena sasaran atau tidak.
Yang bisa dikatakan dalam mengomentari kritik implementatif itu adalah fakta sosiologis bahwa mengubah mentalitas suatu bangsa memang tak bisa berhasil dalam hitungan tahun.
Perlu proses yang mungkin memakan waktu dalam hitungan dekade untuk memperbaiki mentalitas masyarakat yang proses degradasi atau destruksinya juga berlangsung dalam hitungan dasawarsa.
Antara Revolusi Mental Dan Revolusi Moral
Sabtu, 12 Januari 2019 21:47 WIB