Jakarta (ANTARA) - Sejumlah perusahaan stasiun televisi swasta nasional menggugat UU 7/2017 (UU Pemilu) yang memuat tentang aturan hasil hitung cepat di Mahkamah Konstitusi Jakarta, pada Selasa.
Adapun perkara yang teregistrasi dengan nomor 25/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh; PT Televisi Transformasi Indonesia, PT Media Televisi Indonesia, PT Rajawali Citra Televisi Indonesia, PT Lativi Mediakarya, PT Indosiar Visual Mandiri, PT Indikator Politik Indonesia, dan PT Cyrus Nusantara.
Para pemohon menguji Pasal 449 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 509 serta Pasal 540 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu.
"Penundaan publikasi hasil hitungan cepat justru berpotensi menimbulkan spekulasi yang tidak terkontrol seputar hasil pemilu," ujar kuasa hukum para pemohon, Andi Syafrani.
Menurut para pemohon, Pemilu 2019 merupakan pemilu yang pertama kali menggabungkan Pilpres dan Pileg dalam sejarah Indonesia, maka warga pemilih pasti sangat antusias untuk segera mendapatkan informasi seputar hasil pemilu.
Kendati demikian, pembatasan waktu dengan ancaman pidana soal hitungan cepat sebagaimana diatur dalam pasal-pasal yang diuji justru berpotensi menimbulkan berita-berita palsu (hoaks) seputar hasil pemilu.
Hal ini menurut para pemohon akan menambah beban pelaksanaan pemilu bagi penyelenggara pemilu maupun aparat hukum, serta dapat menyulitkan dalam menciptakan tujuan pemilu yang damai, tertib, adil, transparan, dan demokratis.
"Oleh karena pasal-pasal yang diajukan dalam pengujian ini hanya akan berlaku pada tanggal 17 April 2019 mendatang kecuali Pasal 197 ayat (2) UU 1/2015, maka para pemohon memohon kepada Mahkamah untuk dapat memeriksa dan memutus permohonan ini dengan cepat," ujar Andi.
Andi kemudian menambahkan, jika Mahkamah tidak dapat memutus permohonan ini dalam putusan akhir sebelum 17 April 2019, maka para pemohon mohon kepada Mahkamah untuk dapat memutus putusan sela yang isinya menunda pelaksanaan pasal-pasal tersebut hingga adanya putusan akhir.