London (ANTARA) - Kemunculan berita bohong atau hoaks, termasuk informasi keliru dan anjuran salah di media sosial, bisa membuat wabah penyakit seperti COVID-19 atau virus corona yang terjadi saat ini bertambah buruk, menurut riset Universitas East Anglia (UEA) Inggris yang terbit pada Jumat.
"Ketika bicara soal COVID-19, banyak sekali spekulasi, misinformasi, dan berita bohong yang beredar di internet tentang dari mana virus corona berasal, apa yang menyebabkannya, dan bagaimana cara penyebarannya," kata profesor kedokteran UEA, salah satu pemimpin riset tersebut, Paul Hunter.
Melalui analisis tentang bagaimana penyebaran informasi keliru berdampak pada penyebaran penyakit, para peneliti dari UEA menyebut bahwa upaya yang sukses untuk menghentikan orang-orang dalam membagikan berita bohong dapat menyelamatkan nyawa.
"Misinformasi berarti bahwa anjuran-anjuran yang salah bisa menyebar dengan sangat cepat, dan bisa mengubah perilaku manusia mendekati risiko yang lebih besar," ujar Hunter.
Dia juga menambahkan, "Berita bohong dipabrikasi tanpa memedulikan akurasi, dan seringkali didasarkan pada teori konspirasi."
Riset itu difokuskan pada tiga penyakit infeksi, yaitu flu, cacar monyet, dan norovirus, dengan para peneliti membuat simulasi teoretis dari wabah ketiga penyakit tersebut. Namun temuan mereka juga berguna untuk menghadapi wabah virus corona.
Peneliti mengamati perilaku, cara penyebaran penyakit, periode inkubasi, dan masa pemulihan, juga kecepatan dan frekuensi unggahan di media sosial serta pembagian informasi di dunia nyata.
Mereka juga mengamati kaitan antara rendahnya kepercayaan terhadap pemerintah dan kecenderungan mempercayai konspirasi, cara orang-orang berinteraksi dalam gelembung informasi secara daring, dan fakta "yang meresahkan bahwa masyarakat lebih banyak membagikan anjuran buruk daripada yang bagus dari sumber terpercaya."
Temuan para peneliti menunjukkan bahwa 10% pengurangan jumlah anjuran berbahaya di internet telah meringankan dampak dari keparahan wabah yang terjadi, sementara membuat 20% populasi tidak dapat membagikan anjuran salah juga memberikan dampak positif yang sama.
Sumber: Reuters