Gorontalo (ANTARA) - Society Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) atau Masyarakat Jurnalis Lingkungan Hidup Indonesia Gorontalo menggelar diskusi ngabuburit konservasi bertema “Kabar Baik Dari Wallacea”, Jumat (14/3/2025), bertempat di Slow Bar The Wave Coffee Roastery, Kota Gorontalo.
Wallacea merupakan wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati luar biasa. Pada saat yang sama, juga menghadapi tantangan konservasi yang kompleks. Sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati dan ekosistem terpenting di dunia, Wallacea menyimpan nilai ekologis, ekonomi, dan budaya yang sangat besar.
Namun, tekanan terhadap keanekaragaman hayati, baik dari aktivitas manusia maupun perubahan iklim, menuntut pendekatan baru yang mengedepankan kolaborasi, kearifan lokal, dan keberlanjutan.
Selain sebagai ajang silaturahmi, diskusi ini bertujuan untuk mendiseminasikan hasil karya kumpulan liputan SIEJ di desa-desa dampingan program Burung Indonesia, khususnya di kawasan Wallacea. Buku berjudul “Kabar Baik Dari Laut Wallacea” ini menjadi dokumentasi penting dari perjalanan riset yang dilakukan di tujuh koridor Wallacea, wilayah yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan kearifan lokal yang menakjubkan.
Proyek ini, yang didukung oleh pendanaan dari Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF), mempererat sinergi antara pelestarian lingkungan dengan nilai-nilai tradisional yang hidup di tujuh koridor Wallacea. Sebuah pendekatan pengelolaan perikanan berbasis masyarakat yang tidak hanya meningkatkan hasil tangkapan, tetapi juga berhasil meminimalkan praktik destruktif seperti penggunaan bom ikan.
Sebagai pembicara pertama, Patmasanti, perwakilan Burung Indonesia Gorontalo menjelaskan bahwa Burung Indonesia bekerja di beberapa site penting di kawasan Wallacea. Di Gorontalo sendiri, mereka punya program di bentang alam Popayato- Paguat yang terdapat 350 ribu hektare (hutan lindung dan hutan produksi), dan mencakup dua kabupaten: Pohuwato dan Boalemo.
“Kenapa memilih daerah tersebut? Dikarenakan kawasan penting keanekaragaman hayati, burung, dan tingkat biodiversitas tinggi. Strategi yang dilakukan sebelum memilih daerah tersebut yakni terdapat protokol sainsnya, diawali dengan kajian, serta menemukenali masyarakat lokal,” terang Patmasanti.
Burung Indonesia, lanjut Patmasanti, dua tiga tahun belakangan mengupayakan konservasi yang tidak hanya berkutat pada perlindungan dan pengawetan, tetapi menyoal bagaimana kehidupan tersebut berkelanjutan baik dari pertanian dan kewirausahaan yang berkelanjutan, termasuk pelibatan perempuan dalam perlindungan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Kemudian, sebagai salah seorang penulis buku tersebut, Franco Bravo Dengo menceritakan tentang pengalamannya menemui dan mengikuti aktivitas masyarakat di dua desa dampingan Burung Indonesia. Di mana keduanya punya komoditas utama yang berbeda, Kepiting Bakau dan Gurita. Namun punya permasalahan yang tidak jauh berbeda, yakni soal ekstraktif fishing atau metode penangkapan ikan yang sifatnya ekstraktif.
Franco menceritakan tentang narasumber yang dia wawancarai. Misalnya Ato, seorang nelayan yang dianggap gila oleh masyarakat sekitar lantaran sering menghabiskan waktunya untuk menanam kembali pohon mangrove. Hal itu dia lakukan sebagai jalan penebusan dosa karena dulu pernah banyak menebang mangrove. Selain itu, rusaknya mangrove berdampak signifikan terhadap produktivitas hasil tangkapan kepiting bakau nelayan di desanya.
“Ketika berbicara lingkungan dan konservasi, kita mesti banyak mendengar dan memberdayakan orang-orang yang tinggal di sekitar. Saya kira sulit untuk melestarikan hutan, laut atau apapun itu, jika kita membiarkan orang-orang di sekitarnya sekarat,” ujar Franco.
Djufryhard, sebagai pembicara berikut dan merupakan perwakilan Jaring Advokasi Pengelolaan Sumberdaya Alam (Japesda) kembali mengingatkan bahwa Wallacea itu sangat penting tidak hanya di Indonesia, tapi untuk dunia. Dia juga mengajak lembaga-lembaga non pemerintah yang hadir untuk melakukan refleksi, bahwa jangan datang ketika baru ada kerusakan.
Masalah paling utama di Gorontalo, lanjut dia, adalah pembukaan lahan jagung secara masif. Kita tidak pernah mengidentifikasi apa yang terjadi sebelum itu. Dirinya pun mengajak semua yang ada untuk bersama-sama memproduksi cerita-cerita baru yang baik, seperti tema diskusi.
“Kalau garis Wallacea hanya sekadar garis imajiner, mari wujudkan garis itu tidak sekadar imajinasi dan berakhir di diskusi,” ujar Djufryhard.