Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menegaskan penurunan batas maksimum suku bunga harian pada layanan pinjaman online (pinjol) atau pinjaman daring (pindar) bertujuan untuk meminimalisasi risiko.
Sekretaris Jenderal AFPI Ronald Andi Kasim menyampaikan bahwa industri pinjaman daring saat ini telah banyak belajar dalam mengelola risiko sejak awal berdiri. Ia menilai aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menurunkan suku bunga maksimum pinjaman konsumtif dari 0,4 persen menjadi 0,3 persen per hari sebagai bentuk dorongan agar platform semakin disiplin dalam analisis risiko.
“Dalam hal ini kita memahami apa yang dilakukan oleh OJK dalam menurunkan batas maksimum tadi, dari 0,4 persen ke 0,3 persen. Kita diminta untuk lebih disiplin lagi dalam melakukan analisis risiko, karena kan penetapan maksimum suku bunga itu kan erat hubungannya dengan risiko,” kata Ronald dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu.
Dia menerangkan, semakin tinggi risikonya, biasanya bunga pinjaman juga tinggi. Ketika batas maksimum turun maka harus menyesuaikan profil risiko calon peminjam.
Sebab, dengan pemangkasan batas bunga pinjaman, segmen peminjam dengan risiko tinggi semakin sulit dilayani karena bunga yang dapat dikenakan sudah tidak sebanding dengan risiko gagal bayar.
Imbasnya, volume pinjaman pun berkurang karena terjadi perbedaan antara risiko peminjam dan ekspektasi pengembalian dari pemberi dana (lender).
“Makanya waktu (batas bunga) diturunin lagi ke 0,4 persen (pelaku industri) pada komplain semua. Kita semua pada komplain. Karena (turun) ke 0,8 persen saja berpengaruh ke pertumbuhan (industri pindar),” ujarnya.
Dalam pernyataannya, AFPI juga membantah dugaan KPPU bahwa para pelaku usaha pindar menyepakati penetapan suku bunga pinjaman atau price fixing.
Dugaan tersebut muncul menyusul gugatan KPPU atas 96 penyelenggara layanan pinjaman daring yang diduga melakukan kartel suku bunga.
Ronald menegaskan bahwa perubahan terjadi pada batas maksimum suku bunga pinjaman. Hal ini merupakan bagian dari regulasi OJK sekaligus inisiatif industri untuk membedakan diri dengan praktik pindar ilegal.
Lebih lanjut, Ronald juga menjelaskan bahwa sebenarnya penurunan batas suku bunga justru membuat ruang gerak bisnis semakin terbatas.
“Jadi memang argumen bahwa kita itu mengatur (suku bunga) itu enggak valid. Karena kalau diatur kan makin merugikan kita. Bagi kita sih, kalau ditanya mendingan enggak diatur gitu. Bebas saja gitu, supaya semuanya masyarakat bisa kita layani gitu,” terangnya.
Dalam hal ini, Sekretaris Jenderal AFPI periode 2019–2023 Sunu Widyatmoko menambahkan bahwa inovasi fintech justru lahir untuk memberikan akses keuangan bagi masyarakat yang selama ini tidak dilayani perbankan atau lembaga keuangan konvensional.
Dengan batas bunga yang kian terbatas, inovasi dan inklusi keuangan menjadi terhambat.
"Jadi ya, kalau dibilang bahwa ini kesepakatan dari asosiasi, apakah ini kesepakatan dari para player (pelaku industri) menjadi tidak masuk akal. Artinya player tidak akan melakukan hal seperti itu karena itu against dari prinsip bahwa kita ingin melakukan inklusi keuangan," jelas Sunu.
Adapun dalam Surat Edaran OJK No. 19/2023, ditetapkan bahwa suku bunga pindar untuk sektor konsumtif resmi turun dari 0,4 persen per hari menjadi 0,3 persen per hari.
Kemudian secara bertahap hingga 2026, suku bunga pindar masih akan turun menjadi 0,2 persen per hari pada 2025 dan 0,1 persen per hari pada 2026.
Sementara itu, pinjaman untuk sektor produktif, suku bunga juga turun 0,1 persen per hari, kemudian pada 2026 turun menjadi 0,067 persen.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: AFPI: Pemangkasan batas maksimum bunga pinjaman minimalisasi risiko