Jakarta (Antaranews Gorontalo) - Jumat, 28 September 2018 petang, tepatnya pukul 18.02.44 Wita atau 17.02.44 WIB, Indonesia kembali dikejutkan dengan bencana yang kembali datang, diawali gempa bumi berkekuatan 7,4 pada Skala Richter yang mengguncang Donggala, Sulawesi Tengah.
Sekitar lima menit setelah gempa, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengaktivasi sistem peringatan dini tsunami. Informasi tersebut langsung disampaikan ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat dan pihak-pihak terkait.
Peringatan dini tsunami yang dikeluarkan BMKG dengan status Siaga, yaitu tinggi potensi tsunami 0,5 meter hingga tiga meter di Pantai Donggala bagian barat, dan status Waspada atau tinggi potensi tsunami kurang dari 0,5 meter di Pantai Donggala bagian utara, Mamuju bagian utara, dan Kota Palu bagian barat.
Pada pukul 17.27 WIB, BMKG mencatat adanya gelombang tsunami setinggi 6 Cm di Mamuju melalui tide gauge, yaitu alat pemantau pasang surut muka air laut di pesisir pantai.
Sementara melalui laporan pandangan mata, disebutkan terjadi gelombang tsunami setinggi sekitar 1,5 meter di pantai Palu. Dahsyatnya terjangan gelombang laut tersebut sempat terekam dalam video yang menjadi viral di media sosial pada Jumat malam.
BMKG mengakhiri peringatan dini tsunami pada pukul 17.36 WIB bersamaan dengan surutnya air laut yang menerjang kota di kawasan Teluk Palu tersebut.
"Artinya memang benar tsunami terjadi hingga 1,5 meter, namun kejadian tersebut telah berakhir pada pukul 17.36 WIB dan BMKG sudah mengakhiri peringatan dini tsunami," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.
Mengakhiri peringatan dini tsunami sangat penting dilakukan karena terkait dengan penanganan dan penyelamatan korban setelah tsunami, maka tidak bisa dilakukan dalam waktu yang lama atau juga terlalu cepat karena dikhawatirkan tsunami masih terjadi.
Bencana seakan-akan tak habisnya mendera, karena tidak lama kemudian terjadi pencairan tanah (likuifaksi) di Petobo dan Balaroa di Palu yang menyebabkan pemukiman warga hilang ditelan bumi.
Likuifaksi terjadi karena kawasan tersebut berupa endapan lumpur dan pasir, sehingga ketika terjadi guncangan gempa, endapan muda tersebut melebur menjadi lumpur dan tidak kuat menahan rumah-rumah yang ada di atasnya, maka seakan-akan terjadi fenomena rumah berjalan.
Data pada Jumat (6/10) menyebutkan jumlah korban jiwa akibat bencana di Sulawesi tengah tersebut sebanyak 1.648 orang, 683 masih hilang, dan yang tertimbun masih 152.
Peringatan Dini
Sistem peringatan dini tsunami di Indonesia mulai dibangun pascabencana gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh pada 2004 yang dinamakan Indonesia Tsunami Early Warning System atau InaTEWS.
InaTEWS terdiri dari sensor gempa, yaitu seismograf dan akselerograf di bawah BMKG, dilengkapi dengan buoy yang memantau kenaikan muka air laut di samudera di bawah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) serta tide gauge milik Badan Informasi Geospasial (BIG) yang memantau ketinggian air di pelabuhan serta pesisir pantai.
BMKG saat ini memiliki 164 sensor yang dipasang di seluruh Tanah Air, terdiri dari 109 stasiun yang dipasang BMKG, 17 stasiun bantuan Jepang, 21 stasiun bantuan Jerman, 11 bantuan China dan 6 sensor pendeteksi nuklir.
"Saat terjadi gempa maka alat seismograf akan mencatat kemudian akan mencari posisi sumber gempa. Kalau gempa besar dan di laut dan kemudian gelombang tsunami dari tengah laut mulai terbentuk maka akan terdeteksi oleh buoy," kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Tiar Prasetya.
Saat gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah, Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyebut pendeteksi tsunami yang disebut buoy itu rusak karena vandalisme dan hilang dicuri sejak 2012.
Namun, menurut Tiar, sistem peringatan dini tsunami tidak sepenuhnya bergantung pada buoy, karena buoy hanya mendeteksi peningkatan muka air laut di samudera, apalagi alat tersebut saat ini dalam kondisi rusak.
Penyampaian peringatan dini tsunami merupakan kewenangan BMKG yang selanjutnya disebarkan melalui berbagai saluran, mulai dari pemda, BNPB, atau berupa pesan singkat serta kepada media massa dan media sosial.
Saat terpantau adanya potensi tsunami, maka BMKG wajib menyampaikan informasi tersebut ke BPBD dan pemda daerah terdampak untuk selanjutnya mengambil keputusan terkait proses selanjutnya, yaitu perlu atau tidaknya melakukan evakuasi masyarakat.
Meski sistem peringatan dini telah dimiliki, namun tidak bisa bergantung sepenuhnya kepada sistem tersebut. Yang paling penting adalah kultur masyarakat yang sadar bencana.
Seperti di Palu, misalnya, sejak 1907 hingga 2017 terjadi 25 kali gempa bumi yang merusak, bahkan beberapa di antaranya menyebabkan tsunami. Seharusnya masyarakat yang tinggal di daerah tersebut sudah belajar dari peristiwa masa lalu sehingga saat kembali terulang sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan diri.
Baca juga: Energi gempa Donggala setara 200 kali bom Hiroshima
Baca juga: Wapres: Perekonomian di Palu harus segera pulih
Siap Siaga
Sebagai negara yang rawan bencana karena terletak di antara tiga lempeng tektonik, yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia serta lempeng Pasifik dan berada di jalur cincin api (ring of fire), penduduk Indonesia seharusnya lebih siap mengantisipasi kejadian bencana alam, meski hingga saat ini belum ada teknologi yang mampu mendeteksi kapan dan di mana gempa bumi terjadi.
Setidaknya, masyarakat tahu tanda-tanda alam terjadinya gempa dan tsunami serta apa yang harus dilakukan ketika bencana terjadi.
Apa yang bisa dilakukan sebelum, saat dan sesudah gempa bumi terjadi, sebelum gempa, kenali lingkungan, baik rumah, kantor, sekolah apakah berada di pesisir pantai atau dekat dengan dataran tinggi. Pastikan bangunan kuat dan strukturnya tahan terhadap gempa. Untuk gedung pastikan mengetahui jalur evakuasi.
Periksa isi rumah dan perabotan pastikan diletakkan di tempat yang aman dan pastikan gas serta instalasi listrik aman. Catat nomor-nomor penting untuk keadaan darurat, seperti pemadam kebakaran, rumah sakit dan lainnya serta lebih baik memahami teknik dasar pertolongan pertama.
Siapkan tas siaga bencana untuk kelangsungan hidup darurat selama 3 x 24 jam pertama dan letakkan di tempat yang aman dan mudah dijangkau.
Saat gempa, usahakan jangan panik, segera lindungi kepala dengan benda yang ada, matikan semua peralatan yang menggunakan listrik untuk mencegah kebakaran. Jika berada di luar ruangan, hindari bangunan, tiang listrik, jembatan, perhatikan tempat kita berpijak, hindari rekahan tanah, jika di pegunungan hindari daerah yang mungkin longsor, jika sedang berkendara segera menepi dan berhenti.
Setelah gempa, jika di titik kumpul terjadi gempa susulan, merunduk dan lindungi kepala, lakukan bantuan pertolongan pertama jika ada yang luka ringan.
Begitu juga ketika gempa memicu tsunami, masyarakat mengenal tanda-tanda akan datangnya tsunami, antara lain, terjadi gempa kuat di atas 7 SR dan getarannya dirasakan lebih dari satu menit. Tanda yang paling mudah dilihat adalah air laut surut secara mendadak. Serta terdengar suara gemuruh keras.
Tanda alam lainnya yang bisa dilihat, burung laut terbang ke arah daratan, adanya angin kencang yang tiba-tiba muncul dari arah laut bahkan dapat tercium bau asin air laut dan tampak gelombang seperti tembok hitam mendekati pantai.
Jika mengalami tanda-tanda alam tersebut, segera jauhi pantai atau tepi sungai, dapatkan informasi peringatan dini melalui berbagai media, jika terdengar bunyi sirine atau kentongan segera lari ke tempat yang aman. Ikuti jalur dan rambu evakuasi, jika lokasi aman tidak diketahui, larilah sejauh mungkin dari pantai dan naik ke tempat yang tinggi.
Karena tipikal datangnya tsunami di Indonesia sangat cepat, maka golden time untuk menyelamatkan diri sangat singkat, yaitu hanya dalam hitungan menit.
Maka kesiapsiagaan dan kesadaran akan tingkat bahaya yang dihadapi sangat penting dimiliki setiap individu, karena tidak ada yang bisa menyelamatkan jiwa selain dirinya sendiri.