Palu (Antaranews Gorontalo) - Gempa tak hanya mengguncang fisik dan bangunan kasat mata tetapi juga jauh menghunjam alam bawa sadar bagi para korban yang terdampak fenomena alam ini.
Meskipun kebanyakan orang dapat turut merasakan keprihatinan dan secara sukarela memberikan beragam jenis bantuan saat menyaksikan atau mendengar kabar kejadian gempa di daerah lain tetapi mengalami langsung gempa, pastilah memunculkan kepanikan.
Tak sekadar panik atau takut, kondisi traumatik pun tak jarang menghinggapi para korban gempa.
Apalagi dari gempa dahsyat berkekuatan 7,4 Skala Richter di Kabupaten Donggala dan diikuti gelombang tsunami di Kota Palu, serta dampak kerusakan akibat gempa sampai ke Kabupaten Sigi dan Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, pada Jumat (28/9) lalu.
Belum lagi terjadi peristiwa baru yang tak terjadi pada gempa-gempa sebelumnya di Sulteng atau di daerah lain, yakni kemunculan air bercampur lumpur hingga membuat tanah bergolak dan bergerak, meluluhlantakkan penduduk serta seluruh bangunan, hewan, dan apapun yang ada di atasnya, lalu ambles dan terkubur.
Bagi masyarakat awam fenomena itu bagaikan "ditelan bumi" dan bagi kalangan akademisi menyebutnya dengan istilah likuifaksi.
Itulah yang terjadi di pemukiman padat penduduk di Kelurahan Balaroa (Kecamatan Palu Barat) dan di Kelurahan Petobo (Kecamatan Palu Selan) di Kota Palu, dan di Desa Jono Oge di Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi.
Ribuan orang, kecil kemungkinan masih hidup karena sudah sampai pada hari ke-11 setelah gempa, yang masih belum ditemukan dan dievakuasi. Mereka terkubur dalam tanah yang bergolak dan bergerak saat terjadinya gempa.
Ribuan orang mengungsi, data terakhir dari Posko Komando Tugas Gabungan Terpadu (Kogasgabpad) Sulteng pada Selasa pagi ini menyebutkan masih sekitar 74 ribu orang mengungsi.
Trauma akibat gempa bukan persoalan sepele, keluarga banyak yang meninggal dalam waktu hampir bersamaan, banyak anggota keluarga yang kehilangan keluarga, saudara, handai taulan, dan kerabat.
Harta benda hancur, surat-surat penting dan berharga lenyap.
Itulah dampak gempa, tak sekadar mengguncang fisik tetapi juga psikis.
Pada awal-awal setelah gempa, mereka kelaparan dan kehausan akibat bantuan yang belum mereka terima, kesulitan mendapatkan makanan dan minuman, akses terputus, menambah guncangan kejiwaan para korban.
Keceriaan Fitria
Fitria, bocah berusia enam tahun, satu dari banyak korban gempa yang harus mengalami peristiwa alam yang mengerikan ini.
Dia kini harus tinggal di tenda-tenda pengungsian di Desa Sibado, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala.
Hari-hari menunggu akhir dari keterbatasan hidup yang tak membuatnya leluasa belajar, bermain, dan bersekolah, sebagaimana anak-anak sebaya pada umumnya.
Sepekan lebih setelah gempa dan tsunami yang menerjang Sulteng memang menyisakan rasa trauma yang mendalam bagi para korban.
Palang Merah Indonesia (PMI) menyadari hal itu.
Selain mengirimkan banyak bantuan logistik, layanan kesehatan, penyediaan air bersih, pemulihan hubungan keluarga (restoring family link), PMI melaksanakan Program Dukungan Psikososial (Psikososial Support Program/PSP) untuk korban gempa di beberapa wilayah terdampak gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah.
Organisasi kemanusiaan terbesar di negeri ini karena telah ada di seluruh provinsi dan kabupaten/kota dan memiliki sekitar 1,5 juta sukarelawan yang siap melakukan pelayanan itu melakukan berbagai pendampingan untuk memulihkan kesehatan kejiwaan para korban.
PMI terus bergerak melakukan pelayanan PSP kepada korban gempa bumi di beberapa wilayah terdampak gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah.
Langkah ini dinilai perlu untuk memulihkan kondisi trauma psikologis warga korban gempa di Palu, Donggala, dan Sigi yang masih merasakan trauma, terutama anak anak.
Banyak anak saat ini hidup amat terbatas dengan kondisi seadanya, memilih tidur di dalam tenda dan harus rela meninggalkan bangku sekolah.
PMI pun masuk ke Desa Sibado, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala. Di lokasi ini, sedikitnya ada 500 kepala keluarga yang menempati pengungsian, bahkan tidak sedikit di kampung ini sebagian warga masih ada yang bertahan di pegunungan akibat trauma kembali ke rumah masing masing.
"Takut kembali ke rumah," kata Fitria lirih. Di pengungsian, dia hidup senasib-sepenanggungan bersama ratusan anak lainnya.
Kehadiran para relawan PMI ke pengungsian itu setidaknya dapat mengembalikan keceriaan Fitria dan para korban lainnya.
Fitria mengaku sangat senang bisa bermain bersama dengan kakak-kakak dari PMI, di pengungsian
"Bisa belajar dan menggambar bersama, serta bermain, seperti main petak umpet, main bola," katanya.
Kepala Divisi Penanggulangan Bencana PMI Pusat Arifin M Hadi mengatakan PMI telah melakukan pemulihan dari trauma (trauma healing) untuk kelompok rentan sesuai dengan hasil kaji cepat (rapid assessment) yang sebelumnya telah dilakukan Tim PSP PMI.
Hal itu sesuai arahan dan instruksi langsung Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga menjabat Ketua Umum PMI Pusat, untuk mengerahkan sumber daya PMI yang ada.
Tim PSP PMI telah melakukan kegiatan terapi bermain (play theraphy) dengan berbagai bentuk kegiatan, seperti, bernyanyi bersama, menggambar, dan mengucapkan shalawat bersama.
"Tujuan utamanya agar anak-anak menemukan kembali keceriaan," katanya.
Layanan PSP PMI ini adalah kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan psikososial individu maupun masyarakat. Harapannnya agar tetap berfungsi optimal pada saat mengalami krisis dalam situasi bencana.
Selain melakukan pendampingan melalui PSP di Donggala, PMI juga melakukan hal serupa di Desa Jono Oge, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi.
PSP PMI adalah kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan psikososial individu maupun masyarakat agar tetap berfungsi optimal pada saat mengalami krisis dalam situasi bencana maupun kecelakaan.
PSP diberikan kepada kelompok masyarakat seperti anak-anak, remaja, dewasa dan lansia, penyandang cacat, pekerja kemanusiaan.
Dukungan Psikososial diberikan kepada orang yang sumber masalahnya merupakan hasil interaksi dari lingkungan terhadap diri. Pada situasi bencana, PSP dapat diberikan pada fase mana saja (fase emergensi hingga fase rekonstruksi) tetapi bentuknya akan berbeda-beda.
Untuk fase tanggap darurat atau emergensi, PSP akan lebih banyak dilakukan dengan PFA(Psychological First Aid/Pertolongan Pertama Psikologis) atau kegiatan psikoedukasi berupa pemberian informasi mengenai hal-hal yang dianggap dapat memberikan dampak negatif bagi masyarakat yang terkena bencana.
Aktivitas PSP dibedakan menurut usia perkembangan karena bentuk aktivitasnya berbeda-beda. Pada anak-anak, misalnya, bermain bola, menggambar, bernyanyi, mengaji, dan sebagainya. Pada remaja, membentuk tim olahraga, mengaji, dan sebagainya.
Sementara kegiatan untuk wanita dewasa, misalnya menjahit, memasak, dan sebagainya, pada pria dewasa dapat dilakukan pembuatan kerajinan, berkoperasi, dan sebagainya.
Kegiatan PSP disesuaikan dengan kbiasaan, kebudayaan lokal setempat, dan kebutuhan dari masyarakat.
PMI tidak datang ke suatu lokasi bencana hanya untuk melakukan aktivitas, tetapi datang berdasarkan kebutuhan psikososial yang ada sehingga dapat mengembalikan fungsi sosial masyarakat yang hilang setelah bencana.