Duapuluh delapan September 2018 menjelang maghrib, tercatat sebagai hari berkabung dan bersejarah bagi masyarakat Sulawesi Tengah, lebih khusus di wilayah Palu, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala atau Pasigala.
Betapa tidak, gempa vulkanik dan tektonik akibat pergeseran lempeng sesar Palu Koro datang secara berruntun dengan kekuatan mencapai 7,4 Skala Richter yang selanjutnya memorak-porandakan sejumlah infrastruktur, fasilitas publik, ekonomi hingga kawasan permukiman.
Pergeseran sesar Palu Koro tidak hanya menyebabkan guncangan yang dahsyat, tetapi juga menimbulkan air pasang tsunami yang datang secara tiba-tiba, hampir tanpa jeda, sehingga masyarakat yang berada di pesisir hanya memiliki kesempatan sangat terbatas untuk mengamankan diri.
Kengerian bencana ini masih ditambah lagi dengan kejadian likuifaksi atau amblasnya kawasan permukiman di Kelurahan Petobo dan Balaroa, Kota Palu, serta Desa Jono Oge, Kabupaten Sigi. Gempa ini kemudian mengakibatkan ribuan jiwa meninggal dunia, hilang dan luka parah.
Lebih Cepat
Hampir semua orang memprediksi bahwa bangkitnya aktivitas kehidupan dan ekonomi masyarakat di wilayah Pasigala pascagempa paling tidak membutuhkan waktu dua atau tiga bulan. Namun realita menunjukkan bahwa aktivitas kehidupan dan ekonomi mulai bangkit kurang dari 30 hari.
Percepatan pemulihan ini antara lain dipicu oleh semangat kerja dan kepedulian yang tinggi dari Gubernur Sulawesi Tengah, unsur pimpinan dan anggota DPRD, Forkompinda, bupati/wali kota, seluruh organisasi perangkat daerah serta masyarakat provinsi berpenduduk hampir tiga juta jiwa ini.
Kondisi ini juga tidak lepas dari perhatian yang luar biasa dari Pemerintah Pusat dimulai dari Presiden-Wakil Presiden, jajaran menteri/lembaga, sampai ke lembaga dan masyarakat internasional.
Hal yang tidak kalah pentingnya datang dari semangat gotong royong para gubernur-bupati se-Indonesia dan masyarakatnya (relawan) yang hadir memberikan bantuan materil dan dukungan moral.
Pengalaman ini menunjukkan bahwa kebersamaan, upaya dan doa dapat menyelesaikan masalah sebesar apapun di negeri ini.
Tagline Sulteng Kuat, Sulteng Bangkit yang banyak beredar di media sosial dan media lainnya adalah sebuah motivasi bagi masyarakat Sulawesi Tengah khususnya di wilayah Pasigala, agar segera bangkit membangun kembali daerahnya dari porak- porandanya sejumlah infrastruktur dan fasilitas ekonomi serta fasilitas publik lainnya.
Tidak bisa lagi larut dengan kepedihan, kesedihan dan kesusahan yang berkepanjangan, semua harus bangkit sebagai bentuk tanggung jawab kepada saudara-saudara kita yang telah menjadi korban jiwa, korban harta benda: "bahwa kita yang masih hidup ini adalah orang-orang terpilih", sehingga wajib hukumnya terus berpikir, berkontribusi dan berusaha guna membangun daerah ini menjadi lebih baik, lebih maju dari sebelumnya.
Harus belajar dari "universitas kehidupan", belajar dari alam bahwa kesuksesan itu berawal dari sebuah kegagalan.
Banyak contoh yang dapat dilihat untuk menjadi referensi bahwa seseorang akan lancar bersepeda setelah beberapa kali jatuh dari sepeda. Pebisnis yang sukses setelah beberapa kali mengalami kegagalan.
Orang yang mahir bersepeda atau sukses berbisnis adalah orang-orang yang menjadikan kegagalan atau musibah itu sebagai sebuah berkah, sebagai sebuah motivasi guna sebuah kesuksesan.
Oleh karena itu dengan tidak mengenyampingkan kepedihan, kesedihan dan kerugian, maka seyogyanya musibah yang melanda warga"disikapi" sebagai berkah, motivasi, dan dorongan untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Skenario Minus 10
Tagline Sulteng Kuat-Sulteng Bangkit ada baiknya dilengkapi menjadi Sulteng Kuat-Sulteng Bangkit dan Sulteng Maju. Ini menjadi penting agar tagline tersebut memiliki makna dan target untuk maju lebih baik dari sebelumnya.
Mengulas bagaimana makna Sulteng Kuat, Bangkit dan Maju, akan dijelaskan dengan skenario minus sepuluh menuju plus sepuluh.
Bila diasumsikan bahwa 27 september 2018 adalah posisi titik nol bagi kemajuan Sulawesi Tengah, maka tanggal 28 September 2018 pascagempa menjadi minus sepuluh dari kemajuan itu.
Untuk menuju posisi plus sepuluh (Sulteng Maju), syaratnya warga harus kembali dulu ke titik nol (Sulteng Bangkit) yang selanjutnya kita sebut dengan periode pemulihan atau recovery, setelah itu kita melompat masuk ke posisi Plus Sepuluh (Sulteng Maju) atau periode pengembangan (development).
Dalam kehidupan sehari-hari, untuk melompat, kita harus punya ancang-ancang mundur kemudian melompat agar bisa lebih jauh. Ibarat atlet pelompat jauh, harus mundur dulu kemudian berlari kencang menunju ke papan lompat (titik nol) untuk kemudian melompat jauh ke depan.
Demikian juga dapat dilihat bagaimana seekor harimau, kucing atau ular untuk menerkam/mematuk mangsanya, terlebih dahulu memundurkan badannya kemudian dengan cepat melompat menerkam sasarannya. (Hasil dikusi bersama Karman Karim dan Eko Jokolelono, Trauma Healing Nelayan Donggala, 31 Oktober 2018).
Jauh tidaknya lompatan itu sangat bergantung kepada harmonisasi antara energi yang dimiliki dengan momentum pada saat melakukan lompatan.
Dari analogi di atas, maka posisi minus sepuluh Sulawesi Tengah adalah upaya ancang-ancang untuk melompat jauh ke depan menuju plus sepuluh dengan bertumpu pada titik nol.
Mengimplementasikan skenario minus sepuluh menuju ke plus sepuluh tentunya Pemerintah pusat bersama daerah telah memiliki sebuah disain besar.
Ada dua tahapan yang akan menjadi kunci untuk itu yaitu (1) bagaimana rancangan minus sepuluh menuju titik nol dan dari titik nol menuju ke plus sepuluh; (2) bagaimana skenario implementasinya yang terdiri atas program jangka pendek, menengah dan panjang.
Lalu kapan mencapai titik plus 10 itu? Waktunya sangat bergantung kepada peran seluruh stakeholder. Bisa cepat dan bisa juga lambat.
*) Penulis adalah Ketua Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (Ispikani) Sulteng