Deret hitung jumlah kepala daerah yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi hingga 20 November 2018 bertambah dengan penangkapan terhadap Bupati Pakpak Bharat, Sumatera Utara, Remigo Yolanda Berutu.
Remigo ditangkap pada Sabtu (17/11) malam. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengumumkan ikhwal penangkapan itu di Gedung KPK Jalan Rasuna Said Jakarta Selatan, Minggu (18/11).
KPK menetapkan Remigo sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan suap terkait proyek-proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Pakpak Bharat Tahun Anggaran 2018.
Tiga orang tersangka lainnya termasuk Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas PUPR Kabupaten Pakpak Bharat David Anderson Karosekali dan seorang pihak swasta Hendriko Sembiring.
Mereka disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup dan denda minimal Rp200 juta maksimal Rp1 miliar.
Remigo diduga menerima Rp550 juta yang diberikan pada 16 November 2018 sebesar Rp150 juta dan pada 17 November 2018 sebesar Rp400 juta. Uang tersebut diduga digunakan untuk keperluan pribadi, termasuk untuk mengamankan kasus yang melibatkan istri bupati yang saat ini sedang ditangani penegak hukum di Medan.
Dari jumlah tersebut, pemberian Rp150 juta dari David Anderson kepada Remigo terkait dengan "fee" pelaksanaan proyek-proyek di lingkungan Kabupaten Pakpak Bharat yang diduga berasal dari mitra yang sedang mengerjakan proyek-proyek di lingkungan Pemkab Pakpak Bharat. Diduga Remigo menginstruksikan kepada para kepala dinas untuk mengamankan semua pengadaan proyek pada dinas masing-masing.
Remigo juga diduga menerima pemberian lain terkait proyek di Pemkab Pakpak Bharat melalui para perantara dan orang dekatnya yang bertugas untuk mengumpulkan dana.
Dengan tertangkapnya Remigo tersebut, KPK sudah menangani total 104 kepala daerah dalam perkara suap. Jumlah yang bisa dibilang sangat banyak dan tentu saja memprihatinkan karena penangkapan atas yang lain seolah tidak memberi pelajaran agar tidak menerima gratifikasi.
Jumlah itu meningkat apabila dibanding data yang dilansir Mendagri Tjahjo Kumolo pada 18 September 2017. Waktu itu Mendagri menyebutkan jumlah kepada daerah yang ditangkap baru 77 orang, baik gubernur, wali kota, wakil wali kota, bupati maupun wakil bupati.
Jumlah itu baru kepala daerah, belum termasuk anggota DPR, DPR provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang ikut ditangkap. Dalam banyak kasus korupsi di daerah, terdapat kepala daerah dan anggota legislatif ikut diciduk.
Kalau melihat sebaran daerah yang kepala daerah yang ditangkap, tampak merata dan tidak bisa dikatakan di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi atau pulau lain.
Kadang sebagian publik baru tahu ada nama-nama kabupaten tertentu yang baru diketahui atau dikenal melalui pemberitaan media setelah kepala daerah dan anggota DPRD-nya ditangkap KPK.
Sebagian orang baru tahu "o ada nama kabupaten ... itu ya". "Kepala daerah mana itu? Provinsi apa?. "Kita baru tahu".
Komentar-komentar seperti menunjukkan betapa ada daerah yang tidak atau belum dikenal publik. Sekali terkenal lantaran kepala daerah dan anggota DPRD-nya ditangkap KPK, bukan terkenal karena kinerja, program yang telah dijalankan atau potensi daerahnya.
Selanjutnya kalau sudah melihat atau mendengar kasus yang dihadapi kemudian pihak yang menangkap KPK, dengan mudah ditemukan komentar-komentar miring mengenai kepala daerah. "Korupsi lagi-korupsi lagi," adalah salah satu komentar yang sering didengar dari masyarakat.
Memprihatinkan
Penangkapan demi penangkapan terhadap kepala daerah dan anggota legislatif yang terus terjadi tentu memprihatinkan. Hal itu menimbulkan citra buruk kepala daerah dan anggota legislatif.
Kasus demi kasus korupsi yang diungkap telah menimbukan skeptis yang dikawatirkan menimbulkan antipati di masyarakat atas program pembangunan. Padahal masyarakat adalah komponen sangat penting dalam pembangunan.
Betapa beratnya sebuah program dilaksanakan kalau masyarakat skeptis. Hal ini yang tampaknya perlu didasari.
Di sisi lain, kasus demi kasus korupsi yang telah diungkap juga menimbulkan beragam pertanyaan. Misalnya, mengapa masih terjadi korupsi atau mengapa masih bisa melakukan korupsi?
Padahal kepala daerah sudah dapat gaji, tunjangan dan beragam fasilitas untuk dirinya dan keluarganya. Beragam fasilitas itu juga berlaku di kantor maupun di keluarganya.
Begitu juga saat menjalankan tugas di daerahnya maupun keluar daerah. Beragam jawaban muncul dari dua pertanyaan itu.
Sebenarnya dari segi penegakan hukum, aturan mengenai pelarangan korupsi sudah sedemikian lengkap. Dari sisi institusi pengawas dan penegak aturan juga lengkap, mulai dari internal birokrasi (inspektorat) hingga eksternal, yakni kepolisian, kejaksaan, dan KPK, bahkan masih ditambah BPK dan BPKP.
Pertanyaannya, kalau secara aturan sudah lengkap serta institusi pencegah dan penindak korupsi juga lengkap dan kuat tetapi mengapa masih terjadi korupsi?
Pertanyaan ini selayaknya menyadarkan semua pihak terkait bahwa aturan yang lengkap dan aparat yang demikian kuat serta lengkap masih juga bisa dibobol oleh koruptor. Ada apa dengan bangsa ini dan bagaimana mengatasinya?
Biaya Politik?
Tak sedikit orang yang menyebut korupsi itu terjadi karena kebutuhan dirinya dan keluarga. Di sisi lain, kekurangan atau perlunya pendanaan terkait biaya politiknya.
Kekurangan pendanaan untuk diri dan keluarganya terkait gaya hidup. Gaya hidup yang melebihi pendapatannya memunculkan niat dan tindakan untuk melakukan korupsi.
Karena itu, kalau tanpa bisa mengerem gaya hidup maka alamat akan terjadi potensi penyalahgunaan wewenang. Pengendalian diri dan rasa syukur (atas apa yang diterima secara legal) tampaknya jalan terbaik untuk masalah mengatasi satu ini.
Orang-orang bijak telah mengingatkan mengenai perlunya kesadaran bahwa rasa syukur itulah yang akan mendatangkan kebarokahan dalam menjalankan tugas-tugasnya. Maka bersyukurlah atas apa yang dijalani dan diterima selama ini.
Sedangkan biaya politik yang menimbulkan perilaku koruptif --sudah banyak diungkap media--, yakni terkait dengan biaya saat pencalonan menjadi kepala daerah atau anggota legislatif. Untuk pencalonan dibutuhkan biaya operasional tim suksesnya.
Uang tentu saja untuk membiayai seluruh proses pencalonan itu yang bisa bersumber dari koceknya maupun orang lain yang ikut membantunya.
Pertanyaannya ikhlaskah seorang calon mengeluarkan uangnya untuk kegiatan politik, kemudian tidak memperhitungkan adanya penghasilan lebih agar biaya pencalonannya bisa kembali?
Ikhlaskah orang-orang yang telah membantu mengeluarkan uang kemudian tidak berharap kembali? Tentu saja ada "perasaan tidak enak" juga apabila tidak memikirkan orang-orang yang telah membantunya saat pencalonan.
Biaya Pencalonan
Sebuah fakta yang diungkapkan seorang calon anggota legislatif sebuah kota usai penghitungan suara pada Pemilu 2014. Dia mengaku menghabiskan Rp3 miliar untuk biaya pencalonan dan ternyata gagal.
Rekannya yang lolos habis Rp4 miliar-Rp5 miliar. Waktu itu gaji sebagai anggota legislatif di kota itu sekitar Rp25 juta per bulan.
Hitung sendiri berapa perkiraan penghasilannya selama lima tahun menjabat. Balik modal?
Kalau tidak balik modal, darimana sumber pendapatan yang bisa diperoleh? Kuatkah menahan godaan?
Pertanyaannya lainnya darimana menutup biaya yang sudah dikeluarkan? Ikhlaskah mengeluarkan biaya untuk posisi tertentu yang membutuhkan biaya besar kemudian tidak berhitung uangnya kembali?
Rasanya tidak percaya dan sulit dipercaya di era sekarang --dalam konteks kasus suap kepala daerah dan anggota DPRD-- menemukan orang yang berhasil menduduki jabatan tertentu tetapi dengan ikhlas tidak berhitung atas pengeluarannya selama pencalonan. Masih adakah yang demikian ikhlas?
Korupsi terkait pembiayaan kampanye politik selama pencalonan itu telah banyak diungkap oleh KPK maupun terungkap dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Kalau dicermati, tergambar jelas hubungan simbiosis mutualisma yang terjadi untuk tujuan meraih posisi politik.
Pengungkapan tali-temali kepentingan politik yang berujung kasus korupsi ini lantas menimbulkan penilaian betapa ada orang berburu jabatan mengorbankan uang, lalu berburu uang untuk mengembalikan modal, kemudian berujung di penjara.
Tetapi mungkin saja masih ada orang yang tidak terlalu banyak mengeluarkan uang untuk biaya politiknya. Hal itu karena kelincahan dan kecerdasan dalam mengolah potensi politik serta tekad yang kuat untuk mewujudkan obsesinya dengan landasan sikap yang ikhlas.
Hanya saja, betapapun sedikit, aktivitas mencari dukungan masyarakat tetap saja membutuhkan biaya. Biaya untuk mencetak spanduk saja sudah berapa?
Kemudian untuk memasang spanduk butuh orang atau tim yang terdiri atas beberapa orang pekerja. Pekerja itu membutuhkan penghasilan dari pekerjaannya.
Dalam kesempatan tertentu, orang boleh saja berkomentar "uang bukan segala-galanya", tetapi terkait pencalonan menjadi kepala daerah dan anggota legislatif tampaknya "segala-galanya butuh uang".
Dalam konteks ini, tentu saja dicari orang-orang yang ikhlas atas apa yang dikeluarkan untuk meraih obsesinya.
Mungkin sulit menemukan, tetapi masyarakat diingatkan untuk tidak patah semangat untuk menemukannya.*