Jakarta (Antaranews Gorontalo) - Pada Juli, 2018 Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan bernomor 30/PUU-XVI/2018 yang menegaskan bahwa anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sejak Pemiu 2019 dan seterusnya tidak boleh diisi oleh pengurus partai politik.
Sejak putusan dalam sidang terbuka untuk umum tersebut selesai diucapkan, maka sejak saat itulah putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku.
Dalam pertimbangan putusan tersebut, MK mengakui bahwa ketentuan Pasal 182 huruf I UU 7/2017 tentang Pemilu tidak tegas melarang anggota partai politik menjabat sebagai anggota DPD.
Terkait dengan anggota partai politik yang sudah mendaftarkan diri sebagai anggota DPD ke KPU, MK meminta KPU untuk memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk tetap mencalonkan diri sebagai anggota DPD dengan syarat sudah menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan partai politik.
Putusan MK ini sempat membuat Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) meradang. Dalam sebuah acara yang disiarkan secara langsung di salah satu stasiun televisi swasta nasional, OSO memberikan pendapatnya dan sempat mengeluarkan umpatan yang ditujukan kepada MK terkait putusan tersebut.
Atas tindakan OSO tersebut, MK kemudian melayangkan surat keberatan kepada OSO terkait umpatan OSO yang dinilai telah merendahkan martabat MK.
Dikabulkan
Berdasarkan putusan MK tersebut KPU menerbitkan PKPU 26/2018. Melalui PKPU 26/2018 tersebut OSO diminta untuk menanggalkan kedudukannya sebagai pengurus partai agar masuk dalam daftar calon tetap (DCT) anggota DPD.
Namun OSO menolak, untuk menanggalkan posisinya sebagai Ketua Umum Partai Hanura.
KPU kemudian memutuskan mencoret nama OSO dari DCT anggota DPD RI karena yang bersangkutan tidak mengundurkan diri dari kepengurusan partai.
Karena namanya dicoret, OSO kemudian menggugat permasalahan tersebut ke Bawaslu, namun Bawaslu ternyata sepakat dengan KPU. Gugatan OSO tersebut ditolak oleh Bawaslu.
Tidak patah semangat, OSO mengajukan uji materi terhadap PKPU tersebut ke Mahkamah Agung (MA), serta mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait namanya yang tidak dimasukkan dalam DCT anggota DPD.
Permohonan uji materi yang diajukan oleh OSO ternyata dikabulkan oleh MA dalam rapat permusyawaratan hakim yang diketuai oleh Hakim Agung Supandi dengan anggota Hakim Agung Yulius dan Is Sudaryono pada 25 Oktober 2018.
Dalam pertimbangannya MA menilai bahwa norma Pasal 60A PKPU No. 26/2018 yang berdasar pada putusan MK itu tidak menjamin asas kepastian hukum.
MA menilai pemberlakuan Ketentuan Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tidak mengikuti prinsip Putusan Mahkamah Konstitusi yang berlaku prospektif ke depan sebagaimana tercermin dalam ketentuan pasal 47 UU MK.
Terkait dengan keberlakukan Pasal 60A PKPU 26/2018, MA menyebutkan bahwa ketentuan a quo tidak sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu harus dapat dilaksanakan karena memperhitungkan efektivitas peraturan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Pasal 60A PKPU 26/2018 juga dinilai MA bertentangan dengan asas ketertiban dan kepastian hukum, yang artinya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
Meskipun dalam pertimbangan putusan tersebut MA mengakui adanya kewenangan KPU dalam menerbitkan PKPU 26/2018 setelah Putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 pada 23 Juli 2018, MA tetap menilai larangan tersebut tidak tepat diberlakukan pada Pemilu 2019 karena melanggar asas ketertiban dan kepastian hukum.
MA berpendapat kebijakan KPU membentuk PKPU 26/2018 tidaklah efektif karena perubahan aturan tersebut disertai dengan kewajiban yang sebelumnya belum diatur sehingga berpotensi menimbulkan persoalan hukum lainnya.
Menurut Mahkamah hal ini akan berbeda keadaannya jika putusan MK lebih dulu diputus, kemudian diikuti dengan pembuatan PKPU, dibandingkan dengan pelaksanaan tahapan, program, dan penyelenggaraan Pemilu Anggota DPD 2019.
Tidak hanya MA, PTUN pun kemudian mengabulkan gugatan OSO, dan melalui putusan ini PTUN membatalkan Keputusan KPU RI Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 tertanggal 20 September 2018.
"Memerintahkan tergugat (KPU RI) untuk menerbitkan keputusan Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 yang baru, yang mencantumkan nama penggugat (OSO) sebagai Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019," ujar Ketua Majelis Hakim Edi Septa Suharza.
Audiensi
Akibat putusan MA dan PTUN yang bertolak belakang dengan putusan MK, KPU kemudian meminta pertemuan audiensi dengan MK dan MA untuk memperjelas syarat pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada Pemilu 2019.
Dalam audiensi tersebut hadir Ketua KPU Arief Budiman yang didampingi Komisioner KPU Ilham Saputra dan Wahyu Setiawan. Sementara dari pihak MK hadir Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna yang didampingi oleh Kepala Biro Humas dan Protokol Rubiyo, serta Peneliti MK Pan Mohamad Faiz.
Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengatakan hasil audiensi dengan MK menyatakan bahwa putusan MK setara dengan Undang-Undang sehingga semua lembaga negara dan semua warga negara, wajib untuk mematuhinya.
Hal ini menunjukkan bila masih ada pengurus partai politik yang mencalonkan diri sebagai anggota DPD, maka hal itu sama saja dengan melanggar undang-undang.
Ketua KPU Arief Budiman pun menegaskan MK dalam audiensi ttidak berkomentar terkait putusan MA dan PTUN. MK hanya memberikan pernyataan terkait Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang sudah mengikat sejak diputuskan pada 23 Juli 2018.
Arief juga mengatakan selain mengajukan permohonan audiensi dengan MK, KPU juga mengajukan permohonan audiensi dengan MA. Namun MK lebih dulu memberikan respon terhadap permohonan KPU.
MA sendiri dikatakan Arief belum memberikan respon terhadap permintaan KPU untuk melakukan audiensi tersebut.
"KPU ingin memiliki perspektif yang lebih utuh terkait dengan putusan pencalonan anggota DPD. Supaya dalam pengambilan keputusan final nanti KPU punya dasar yang kokoh dan dapat dipertanggungjawabkan secara utuh," tukas Wahyu.
Pada kesempatan yang berbeda, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengatakan bahwa MK hanya bekerja berdasarkan hukum acara yang tertuang di dalam UU MK.
Ketika sebuah putusan MK diucapkan, maka sejak itu putusan tersebut berlaku dan sesuai dengan undang-undang keputusan tersebut bersifat mengikat.
"Tidak ada putusan MK yang berlaku surut," tegas Palguna.