Jakarta (Antaranews Gorontalo) - Indonesia rawan bencana alam karena terletak ring of fire sehingga dikelilingi oleh gunung api yang sewaktu-waktu dapat meletus dan mengancam masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Selain itu karena letak Indonesia berada di antara tiga lempeng yaitu Lempeng Eurasia di utara, Indo Australia di Selatan dan Pasifik di Timur menghasilkan lebih dari 70 sesar aktif dan belasan zona subduksi yang menyebabkan hampir setiap hari daerah-daerah di Indonesia diguncang gempa.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat tren bencana di Indonesia sejak 2009 hingga 2018 terus meningkat.
Tercatat pada 2009 terjadi 1.245 kejadian bencana, pada 2010 meningkat menjadi 1.944 kejadian bencana dan sedikit menurun pada 2011 tercatat 1.619 bencana
Meningkat kembali pada 2012 sebanyak 1.780 kejadian bencana, 2013 sebanyak 1.666 kejadian bencana, 2014 tercatat sebanyak 1.961 bencana.
BNPB mencatat pada 2015 kejadian bencana menurun menjadi 1.694 kejadian bencana namun naik drastis pada 2016 tercatat sebanyak 2.306 bencana.
Tertinggi pada 2017 tercatat 2.862 kejadian bencana sementara hingga 14 Desember 2018 BNPB mencatat terjadi 2.426 kejadian bencana.
Bencana-bencana tersebut terdiri dari tsunami, gelombang pasang atau abrasi, tanah longsor, letusan gunung api, kebakaran hutan dan lahan, puting beliung, gempa bumi, kekeringan dan banjir.
Dari jumlah kejadian bencana tersebut didominasi oleh bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor dan puting beliung.
Bencana-bencana tersebut timbulkan kerugian baik material maupun nonmaterial termasuk korban jiwa yang jumlahnya terus meningkat.
Korban meninggal dan hilang akibat bencana paling banyak tercatat pada 2018. BNPB juga mencatat korban meninggal dan hilang saat bencana di atas 1.000 orang terjadi pada 2009, 2010 dan 2018.
Peristiwanya, gempa bumi di Sumatera Barat pada 2009 tercatat 1.767 orang meninggal dan hilang, saat terjadi banjir bandang Wasior, tsunami Mentawai dan erupsi Gunung Merapi pada 2010, jumlah korban meninggal dunia dan hilang sebanyak 1.907 orang.
Jumlah korban meninggal dan hilang tertinggi terjadi saat gempa NTB serta gempa bumi tsunami dan likuifaksi di Sulawesi Tengah pada 2018 tercatat 4.231 orang.
Duka 2018
Tahun 2018 menjadi tahun yang kelam bagi Indonesia karena banyaknya kejadian bencana yang menyebabkan 4.231 orang meninggal dan hilang.
Masih segar di ingatan gempa berkekuatan 7 Skala Richter di Lombok Nusa Tenggara Barat pada 5 Agustus 2018 yang menyebabkan 564 jiwa meninggal dunia dan 1.584 orang luka-luka
Belum hilang lagi kesedihan akibat gempa Lombok, kita kembali dikejutkan dengan gempa bumi 7,4 Skala Richter yang mengguncang Donggala, Palu, Sigi dan Parimo di Sulawesi Tengah pada 28 September 2018.
Gempa tersebut memicu terjadinya tsunami dan likuifaksi atau pencairan tanah sehingga menyebabkan 3.396 jiwa meninggal dunia dan hilang, 4.426 orang luka-luka, 221.450 orang mengungsi dan terdampak.
Selama 2018, bencana juga masih tetap didominasi bencana hidrometeorologi. Dari 2.426 bencana, 2.350 merupakan bencana hidrometeorologi atau mencapai 96,9 persen.
Sedangkan 76 kejadian bencana atau 3,1 persen adalah bencana geologi, namun menyebabkan dampak bencana yang lebih besar khususnya gempa bumi dan tsunami.
Gempa bumi, tsunami dan likuifaksi yang terjadi di Sulawesi Tengah menyebabkan pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut terkoreksi dari 6,24 persen turun 4,49 persen atau menjadi 1,75 persen.
Kejadian tersebut juga menimbulkan inflasi sebesar 6,63 persen dimana sebelum bencana tingkat inflasi di Sulawesi Tengah tercatat 3,65 persen namun pascabencana meningkat menjadi 10,28 persen.
Selain itu kejadian bencana di Sulawesi Tengah juga meningkatkan jumlah penduduk miskin baru sebesar 18.400 jiwa sehingga tingkat kemiskinan di Sulteng pada 2019 meningkat menjadi 14,42 persen atau mencakup sebesar 438.610 jiwa.
Diperkirakan pemulihan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan di Sulawesi Tengah membutuhkan waktu hingga tiga tahun kedepan.
Dalam setiap kejadian bencana tidak terlepas dari munculnya berita bohong atau hoaks. Hoaks seringkali muncul saat terjadi bencana yang merugikan masyarakat yang menjadi korban.
Seperti saat terjadi erupsi Gunung Agung di Bali pada 2017-2018 menyebabkan 1 juta wisatawan berkurang dan kerugian capai Rp11 triliun di sektor pariwisata.
Begitu pula dengan gempa Lombok pada 2018 menyebabkan 100.000 wisatawan berkurang dan kerugian Rp1,4 triliun di sektor pariwisata.
Menurut Kepala BNPB Willem Rampangilei, selain menimbulkan kerugian di sektor pariwisata, hoaks juga akan menimbulkan teror bagi masyarakat.
Prediksi Bencana 2019
Melihat dari kecenderungan terus naiknya jumlah kejadian di Indonesia, BNPB memprediksikan lebih dari 2.500 kejadian bencana akan terjadi pada 2019.
Diprediksikan bencana hidrometeorologi yaitu banjir, longsor dan puting beliung masih akan mendominasi bencana selama 2019 yang diperkirakan lebih dari 95 persen.
Dikatakan Willem, hal tersebut disebabkan masih meluasnya kerusakan daerah aliran sungai (DAS), lahan kritis, laju kerusakan hutan, kerusakan lingkungan, perubahan penggunaan lahan termasuk perubahan iklim.
Bencana-bencana tersebut juga tidak lepas dari faktor manusia seperti tingginya pertumbuhan penduduk dan urbanisasi.
Meningkatnya pembangunan telah menyebabkan perubahan penggunaan lahan di perkotaan dan permukiman dengan konsekuensi berubahnya keseimbangan hidrologi sehingga timbulnya ancaman banjir karena terbatasnya lahan untuk penyerapan.
Selain ancaman bencana hidrometeorologi, bencana-bencana geologi juga masih tetap membayangi pada 2019.
Diprediksi gempa akan tetap terjadi pada 2019 di mana rata-rata setiap bulan ada sekitar 500 kejadian gempa di Indonesia meski hingga saat ini gempa bumi tidak bisa diprediksikan secara pasti dimana dan kapan akan terjadi serta seberapa besar kekuatan guncangannya.
Namun diprediksi gempa terjadi di jalur subduksi di laut dan jalur sesar di darat maka perlu diwaspadai gempa-gempa di Indonesia bagian timur yang kondisi seismisitas dan geologinya lebih rumit dan kerentanannya lebih tinggi.
Sedangkan potensi tsunami tergantung dari kekuatan gempa bumi dan lokasinya yaitu jika gempa lebih dari 7 SR dengan kedalaman kurang dari 20 km dan berada di jalur subduksi maka dapat berpotensi tsunami.
Begitu juga dengan erupsi gunung api yang tidak dapat diprediksi kapan akan berakhir. Dari 127 gunung api di Indonesia yang aktif, saat ini terdapat satu gunung berstatus Awas, yaitu Gunung Sinabung.
Dua gunung, yaitu Soputan dan Gunung Agung berstatus Siaga serta 18 gunung berstatus Waspada antara lain Gunung Merapi dan Gunung Anak Krakatau.
Perubahan Paradigma
Melihat kecenderungan semakin meningkatnya bencana di Indonesia bukan saatnya lagi kita hanya berpangku tangan dan menjadi penonton serta cuma berharap mendapatkan bantuan saat menjadi korban.
"Harus sesuaikan mind set. Perlu perubahan paradigma. Dulu budaya kita budaya respon artinya begitu terjadi bencana baru kita respon. Ke depan tidak bisa begitu lagi tapi budaya sadar bencana dan kesiapsiagaan yang perlu ditingkatkan," kata Willem.
Semua harus terlibat dalam siaga bencana termasuk kaum perempuan terutama ibu yang menjadi ratu rumah tangga dan paling mengerti kondisi rumahnya.
Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana BNPB B Wisnu Widjaya mengatakan perempuan dan anak 14 kali berisiko lebih tinggi menjadi korban bencana dibandingkan pria dewasa.
"Sebenarnya perempuan cukup tangguh dalam menghadapi bencana jika sendiri sebagai individu tanpa tanggungan seperti anak dan keluarga," katanya.
Namun, sudah menjadi kodrat perempuan untuk selalu ingin melindungi keluarga dan anak-anaknya sehingga terkadang mengabaikan keselamatan jiwanya.
Berdasarkan survei di Jepang, 34,9 persen orang selamat saat kejadian bencana karena mampu menyelamatkan diri sendiri sementara 31,9 persen korban bencana selamat karena diselamatkan oleh keluarga.
Sedangkan 28,1 persen mampu bertahan dan selamat dari bencana karena pertolongan dari tetangga, sementara yang dapat diselamatkan oleh regu penyelamat hanya 5 persen.
Karena itu kuncinya adalah kesiapsiagaan individu terhadap bencana dalam hal ini perempuan atau ibu-ibu yang paling memahami keadaan rumahnya.
Jika ibu-ibu sudah mempunyai pemahaman dan kesadaran tentang ancaman bencana, ketika saat terjadi bencana tidak perlu lagi menunggu pertolongan tapi bisa menyelamatkan diri sendiri dan keluarga.
Kesiapsiagaan dalam keluarga
Ketua Yayasan Keluarga Peduli Bencana Ekasari Widyati mengatakan, pentingnya meningkatkan peran ibu untuk kesiapsiagaan bencana karena ibu adalah pendidik utama dan pertama di rumah.
Cara sederhana untuk menyelamatkan diri dari bencana dimulai dari rumah dengan memahami rumah kita sendiri dengan baik.
Cara-cara sederhana di rumah seperti mengubah letak furnitur di rumah agar tidak membahayakan saat misalnya terjadi gempa.
"Kita buat program mengubah furnitur di rumah, pintu utama dibuka keluar, lampu kristal dan barang-barang pecah belah dipindahkan agar jangan sampai jatuh menimpa saat gempa, kemana kita harus lari, hal-hal kecil kita lakukan dengan memindahkan barang-barang di rumah," kata Ekasari.
Hal-hal kecil yang dilakukan tersebut akan berdampak besar terutama bagi keluarga, tetangga dan lingkungan karena tidak ada yang bisa menyelamatkan selain diri kita sendiri.*