Oleh Nena Mawar Sari *)
Beberapa waktu yang lalu, ramai pemberitaan di sosial media yang membahas mengenai seorang pemuda yang merusak motor, bahkan juga membakar STNK-nya, hanya karena tidak terima ditilang polisi yang bertugas.
Nampak pemuda tersebut tidak dapat mengontrol emosinya dengan membanting dan melempar motornya, meskipun pacarnya memohon agar pemuda tersebut berhenti.
Banyak orang yang bertanya tanya apakah tindakan tersebut harus dilakukan? Padahal yang bersalah dan menjadi sebab pemuda itu harus ditilang adalah karena dirinya yang bersalah dan melanggar aturan berkendara, kondisi psikis apa yang dialami pemuda tersebut?
Beragam tanggapan muncul menanggapi perilaku negatif yang dilakukan pemuda tersebut, namun yang dilihat oleh masyarakat bisa jadi hanya permukaan. Dibalik perilaku negatif tersebut tentu ada latar belakangnya.
Perlu pemahaman lebih dalam lagi untuk memahami perilaku merusak barang saat marah. Apakah hal tersebut dilakukan setiap marah? Apakah baru sekali ini saja? Lantas, pada saat bagaimana perilaku itu muncul? Apakah sebelumnya dia mengalami tekanan hebat dalam hidupnya sehari-hari?
Tidak ada yang tahu sebelum dilakukan pemeriksaan yang mendalam oleh seorang profesional di bidang kesehatan mental.
Ketika seseorang mengalami tekanan yang berat secara terus menerus. Itu sama saja seperti menimbun sampah dalam batin. Kita tidak benar-benar tahu kapan tekanan itu akan meledak seperti bom waktu yang tinggal menunggu pemicunya saja.
Maka dari itu, mengeluarkan atau meluapkan emosi dengan bijaksana sangat dibutuhkan dan bahkan harus selalu dilatih agar ketika seseorang membutuhkan waktu untuk meluapkan emosinya tidak mengganggu dan merugikan orang lain dan lingkungan sekitar.
Ketika seseorang mengalami ledakan emosi yang begitu kuat dan ketidakmampuan untuk menolak dorongan agresif mungkin individu tersebut mengalami gangguan yang disebut dengan gangguan eksplosif intermiten.
Seseorang yang mengalami gangguan ini sering kali secara serius merusak properti atau menyerang orang lain, dan bereaksi dengan cara yang sepenuhnya tidak sesuai dengan penyebab marah.
Gangguan ini biasanya dimulai pada akhir masa kanak-kanak atau remaja. Gejalanya sering muncul berupa agresi verbal dan fisik terhadap barang, hewan, atau orang dalam jangka waktu yang sering.
Lantas, sikap apakah yang harus dilakukan agar kita dapat mengontrol emosi dengan baik? Bukankah marah itu merupakan sifat alami manusia?
Memang benar marah merupakan sikap alami manusia tetapi reaksi marah terkadang bersifat semu, dalam artian level marah seseorang terhadap sesuatu bisa berkurang seiring dengan waktu atau situasi, sehingga bisa jadi yang tadinya seseorang ingin ngamuk dan berteriak setelah jeda sesaat menjadi hilang marahnya.
Berikut tips mengelola emosi guna mengurangi perilaku ngamuk/merusak barang. Pertama, tunda marah dengan mengalihkan perhatian, misal minum segelas air putih, cuci muka atau mendengarkan musik.
Kedua, atasi dengan menulis luapan emosi atau curhat dengan sahabat di tempat yang bukan lokasi pemicu marah. Ketiga, undur marah dengan meninggalkan lokasi tempat kejadian yang membuat marah.
Keempat, amati penyebab marah dengan instropeksi, apakah kita marah dengan orangnya, kejadiannya atau sikapnya. Hal ini penting untuk bahan instropeksi kita.
Namun, jika keinginan untuk melakukan kekerasan verbal dan merusak barang itu tidak dapat diatasi sendiri dan justru keinginan itu semakin meningkat dalam jangka waktu yang sering, cobalah mencari bantuan tenaga profesional di bidang kesehatan mental seperti psikolog klinis, psikiater, atau konselor untuk mendapat sesi pengobatan dan psikoterapi lebih serius dan terprogram.
Self Healing
Ketika seseorang dalam kondisi tegang, cemas dan merasa tidak nyaman dengan kondisinya sendiri, self healing merupakan metode yang tepat dilakukan sebelum kondisi emosional menjadi lebih tidak stabil.
Lalu apakah sebenarnya self healing? Dan bagaimana cara melakukannya?. Self healing merupakan teknik menyembuhkan diri sendiri dengan mengandalkan potensi yang ada pada diri sendiri guna mengurangi ketegangan serta kecemasan yang terjadi pada diri.
Cara melakukan self healing yakni dengan tiga (3) tahapan yaitu: mengenali diri sendiri, menolong diri sendiri, dan menolong orang lain.
Tahap mengenali diri yakni, kita menyadari permasalahan dan emosi apa yang hadir dalam diri kita, apakah itu bentuk kesedihan, kemarahan, kekecewaan atau menyalahkan diri. Ketika seseorang mampu merasakan apa yang dirasakan maka orang tersebut akan semakin mudah mengelola emosi yang dirasakannya, dan dapat menelaah seberapa besar emosi yang dirasakannya.
Sementara itu, tahap menolong diri sendiri dapat dilakukan dengan berbagai macam teknik salah satunya adalah dengan teknik relaksasi. Duduk dalam keheningan dan berfokus pada napas dan pikiran saat ini mampu membuat pikiran beristirahat sejenak. Menuliskan kecemasan yang sedang dirasakan juga dapat meringankan beban yang menghimpit, jika belum menemukan orang lain untuk teman bercerita.
Untuk tahap menolong orang lain yaitu dimana membagi pengalaman hidup kepada orang yang juga mengalami masalah serupa dapat menjadi pengingat atau self reminder bagi diri sendiri. Melibatkan diri dalam kegiatan kegiatan sosial juga memberikan dampak yang positif bagi diri sendiri dan orang lain.
Penyembuhan diri atau individual (self healing) merupakan menyembuhkan diri sendiri dari berbagai ketegangan awal, namun jika seseorang merasa tidak mampu lagi maka seharusnya dibawa ke ahli/profesional yang lebih mampu seperti melakukan sesi konseling.
Jika, mengalami ketegangan-ketegangan dan ketakutan-ketakutan yang tidak menyenangkan, maka tidak perlu khawatir. Akan tetapi harus mulai waspada, jika gelora emosi menjadi meluap-luap, sering timbul, dan berulang kali berlangsung kronis, sehingga dapat menyebabkan timbulnya ketidakseimbangan dan keguncangan-keguncangan hebat dalam kepribadian.
Ada beberapa petunjuk dalam menanggapi kesulitan, yakni mengeluarkan dan membicarakan kesulitan, menghindari kesulitan untuk sementara waktu, menyalurkan kemarahan, bersedia menjadi pengalah yang baik, dan berbuat suatu kebaikan untuk orang lain dan memupuk sosialitas/kesosialan.
Selain itu, menyelesaikan suatu tugas dalam satu saat, jangan menganggap diri terlalu super, menerima segala kritik dengan lapang dada, memberikan "kemenangan" kepada orang lain, menjadikan diri sendiri serba-guna, mengatur saat-saat rekreasi, dan sebagainya.
Yang harus diingat adalah selalu menghargai tubuh. Kadang seseorang mengabaikan sinyal kelelahan yang dirasakan, memaksa diri untuk menyelesaikan tugas-tugas. Ini membuat kita mengalami penyakit.
Jika, merasa tertekan karena bosan atau kelelahan, sebaiknya pergi ke tempat-tempat yang membuat rileks dan tidak tegang, sehingga dengan meluangkan waktu untuk merilekskan diri akan merasa jauh lebih baik.
Seseorang harus mempelajari apa yang diinginkan saat mengalami kebosanan atau rasa tertekan. Jika, tidur merupakan hal yang diinginkan, maka tidurlah. Jika, makan bakso menjadi sesuatu yang diinginkan, makanlah.
Semua untuk mengembalikan kegembiraan dan memberi semangat diri.
*) Penulis adalah Psikolog Klinis di Poli Psikiatri RSUD Wangaya Kota Denpasar danRS Balimed, konsultan psikologi masalah anak dan remaja, dan penulis masalah psikologi klinis yang tinggal di Denpasar, Bali.