Jakarta (ANTARA) - Hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan China telah memburuk beberapa tahun terakhir dan menyebabkan Asia Tenggara berada dalam posisi yang sulit.
Kesulitan yang dihadapi negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) antara lain secara ekonomi terjerat dengan China di satu sisi, namun bergantung pada jaminan keamanan Amerika Serikat yang telah lama ada di sisi lain.
Para kepala negara dan pemerintahan di ASEAN harus “meniti buih” menghadapi realitas tersebut dan dalam setiap konferensi tingkat tinggi mereka membahas untuk menemukan pemecahan terhadap berbagai masalah internal dan eksternal.
Rivalitas antara AS dan China yang termasuk mitra wicara ASEAN tidak hanya terjadi pada sektor ekonomi dan perdagangan tetapi menyentuh juga perluasan pengaruh di kawasan. Hal ini memberikan dampak besar terhadap ASEAN secara keseluruhan.
Kehadiran AS telah mengakar kuat di Asia Pasifik termasuk di dalamnya di kawasan Asia Tenggara secara militer, politik dan ekonomi sementara itu pertumbuhan ekonomi China yang cepat telah menjadi dorongan untuk pergeseran kekuasaan regional.
Sebagai organisasi regional yang telah berkembang luar biasa, ASEAN harus tetap menunjukkan posisinya yaitu bersikap mempertahankan keseimbangan strategis dalam merespons rivalitas AS dan China di kawasan Asia Tenggara dengan para anggotanya didorong berkomitmen menurunkan eskalasi persaingan kedua kekuatan tersebut dan mengambil kebijakan bagi terciptanya perdamaian di kawasan.
Pandemi COVID-19 dan sengketa Laut China Selatan memperdalam kesenjangan antara Washington dan Beijing karena keduanya tak ada yang mau kalah.
Ketika mendapat amanah sebagai Keketuaan ASEAN tahun 2020, Vietnam mengajak seluruh anggota perhimpunan ini menjadikan ASEAN sebagai platform kebijakan luar negeri bersama.
Mengapa Hanoi mengambil jalan ini? Karena pada kenyataannya beberapa negara anggota ASEAN cenderung pragmatis, menitik beratkan pada urusan dalam negeri, daripada menekankan pada peran ASEAN sebagai organisasi regional. Dengan keketuaannya, Vietnam ingin menekankan dan memperkuat posisi ASEAN sebagai entitas sentral dan peran sentral dalam hubungan dengan kekuatan-kekuatan utama.
ASEAN yang kohesif adalah sebuah keniscayaan untuk memelihara stabilitas regional. Di masa lalu kawasan Asia Tenggara telah menjadi objek pertarungan dan perebutan pengaruh antara kekuatan-kekuatan.
Persatuan ASEAN jangan sampai tergoyahkan bahkan terkoyak akibat kekuatan-kekuatan besar berusaha memengaruhi negara-negara anggotanya. Diharapkan tak ada lagi suara yang membuat perhimpunan ini terbelah akibat pengaruh faktor eksternal.
Melihat tantangan internal dan eksternal di kawasan, Vietnam telah memilih tema “Kohesif dan Responsif” bagi Keketuaan ASEAN 2020.
Hanoi menyadari ujian demi ujian telah dan sedang dihadapi perhimpunan ini. Masalah internalnya yang sudah ada sejak lama seperti migrasi manusia perahu dari Myanmar, klaim tumpang tindih di wilayah Laut China Selatan (LCS) yang masih menjadi duri dalam daging bagi soliditas organisasi ini.
Demikian juga dengan prinsip “tidak mencampuri urusan domestik negara lain” ikut dipertanyakan seiring dengan makin kompleksanya permasalahan. Tanpa kerja sama dan kesepahaman di antara negara-negara anggota ASEAN, sulit dibayangkan masyarakat ASEAN dapat mencapai tujuan bersamanya.
Ujian paling terbaru yang dihadapi ASEAN ialah pandemi COVID-19 yang terus menyebar dengan cepat ke seluruh dunia sehingga pada 11 Maret 2020 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan penyakit ini sebagai pandemi global.
Tingkat infeksi COVID-19 menjadi semakin mengkhawatirkan karena jumlah kematian meningkat dari waktu ke waktu. Pandemi COVID-19 ini juga menunjukkan tidak ada negara yang dapat menangani pandemi sendirian.
Kerja sama internasional sangat dibutuhkan bagi negara manapun untuk melawan COVID-19. Negara-negara di Asia Tenggara juga tidak luput dari serangan virus yang mematikan ini.
ASEAN berusaha bersama melawan COVID-19 yang hingga kini belum bisa diatasi. Sejumlah kebijakan disepakati bersama untuk melawan virus ini.
Namun kepentingan geopolitik dari masing-masing negara anggota ASEAN dalam menanggapi rivalitas antara AS dan China di kawasan Asia Tenggara tampak berbeda. Hal itu tercermin dari bagaimana mereka menyediakan vaksin COVID-19 bagi warga negaranya. Singapura misalnya bekerja sama dengan AS sedangkan Indonesia, Filipina dan Kamboja dengan China.
Para pengamat hubungan internasional melihat perbedaan kebijakan untuk menyatukan posisi bersama-sama menantang China dalam konflik klaim di perairan LCS.
Konflik antara China dan empat negara anggota ASEAN (Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam dan Malaysia) telah mempersulit posisi ASEAN. Perbedaan kebijakan itu bahkan melebar pada perbedaaan dukungan mereka terhadap manuver AS di perairan LCS.
Patut dicatat dalam kaitan ini sikap pemerintah Vietnam terkait masalah LCS tidak berubah sedikitpun dari tahun ke tahun. Hanoi tetap konsisten dan juga konsisten dengan hukum intenasional khususnya Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (UNCLOS) 1982 dan keputusan Mahkamah Arbitrase (PCA) di Den Haag pada 12 Juli 2016.
Mengingat pentingnya keamanan maritim, terutama yang berkaitan dengan negara-negara anggota ASEAN, hal ini dipandang penting daripada masalah individu masing-masing negara dengan China. Oleh karena itu ASEAN harus memiliki konsensus dan solidaritas untuk mengatasi tantangan ini.
China dan ASEAN telah memiliki Pernyataan Bersama Perilaku (DOC) yang ditandatanagani tahun 2002 dan masih merundingkan kode etik para pihak (COC) di LCS.
Tanggapan dari para kepala negara/pemerintahan akan disuarakan dalam Konferensi Tingkat Tinggi ke-37 ASEAN yang akan diselenggarakan secara virtual pada 13-15 November 2020.
Yang pasti sentralitas ASEAN telah mendorong organisasi regional ini mengambil sikap tidak memihak AS dan China, yang tetap memiliki arti strategis dan menolak keras terjebak dalam rivalitas kedua kekuatan tersebut.
*Mohammad Anthoni adalah mantan redaktur senior Kantor Berita ANTARA