Jakarta (ANTARA) - Sejak Desember 2019 virus corona baru atau COVID-19 menyebar di seluruh dunia dan mengubah seluruh tatanan kehidupan manusia di Bumi.
Sebelum vaksin untuk virus corona ini ditemukan, sejumlah obat digunakan untuk membantu menyembuhkan pasien dengan gejala infeksi virus corona baru. Kendati demikian, hingga saat ini belum ada obat yang langsung menyembuhkan pasien dari infeksi virus tersebut.
Berikut ini adalah sejumlah obat yang sempat dan atau masih digadang-gadang dapat menyembuhkan atau meringankan gejala pasien yang positif terinfeksi virus corona baru atau COVID-19.
1. Remdesivir
Regulator Amerika Serikat pada awal Mei mengijinkan penggunaan darurat remdesivir sebagai obat untuk pasien virus corona baru atau COVID-19, karena dianggap dapat membantu pasien pulih dengan cepat.
Remdesivir pun menjadi obat pertama yang diklaim telah terbukti membantu memerangi infeksi virus corona baru. Remdesivir buatan Gilead Sciences sempat dinyatakan sebagai obat yang dapat mempersingkat waktu pemulihan hingga 31 persen atau rata-rata sekitar empat hari untuk pasien terinfeksi COVID-19 yang dirawat di rumah sakit.
Namun pada November obat ini kemudian tidak lagi direkomendasikan untuk pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit, karena tidak ada bukti bahwa obat produksi Gilead ini dapat menyelamatkan nyawa atau mengurangi kebutuhan penggunaan ventilator, kata panel Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO.
2. Hydroxychloroquine dan chloroquine
Pada pertengahan Maret, sebuah studi dipublikasikan dalam jurnal Cell Discovery mengungkapkan bahwa hydroxychloroquine yang biasa digunakan untuk mengobati penyakit malaria ini, berpotensi menghambat infeksi SARS-CoV-2 atau penyebab COVID-19.
Hydroxycloroquine memiliki struktur kimia dan mekanisme yang sama seperti chloroquine, yaitu menghambat masuknya SARS-CoV dengan mengubah glikosilasi reseptor ACE2 dan lonjakan protein.
Menurut pada peneliti, penerapan hydroxychloroquine pada pasien cukup efisien bila dilakukan dengan dosis yang aman dan sifatnya lebih sedikit beracun daripada chloroquine. Namun penggunaan jangka panjang tetap dapat menimbulkan keracunan.
WHO pada bulan Mei mendesak Indonesia untuk menangguhkan penggunaan kedua obat tersebut karena masalah keamanan.
Reuters sempat melaporkan bahwa WHO juga telah memberikan rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan Indonesia supaya penggunaan obat-obatan tersebut harus ditangguhkan.
Erlina Burhan, dokter yang membantu penyusunan pedoman pengobatan virus corona sebagai anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia, membenarkan pihaknya juga sudah mendapat nasehat baru dari WHO untuk menghentikan penggunaan kedua obat ini.
3. Deksametason (kortikosteroid)
Banyak kasus COVID-19 disebabkan karena sistem kekebalan tubuh bereaksi berlebihan pada virus tersebut sehingga menyerang jaringan yang sehat. Kondisi ini serupa dengan kasus penyakit autoimun, dimana sistem kekebalan tubuh mengalami "kebingungan" atau anomali dengan jaringan tubuhnya sendiri sehingga kerap kali menyerang sel yang sehat.
Melihat kondisi ini para dokter kemudian menggunakan obat berjenis kortikosteroid untuk mengobati pasien yang terinfeksi COVID-19. Pemberiannya dapat melalui oral atau melalui infus.
Salah satu obat kortikosteroid yang banyak beredar di masyarakat, yaitu deksametason termasuk ke dalam kelompok glukokortikoid sintetik yang memiliki efek anti inflamasi dan imunosupresif, yang mana hal tersebut mendorong semakin dikembangkannya berbagai steroid sintetik dengan aktivitas anti inflamasi dan imunosupresif.
Deksametason kemudian dianggap efektif dalam mengobati pasien yang terinfeksi COVID-19, akibatnya tidak sedikit dari masyarakat Indonesia yang mengonsumsi obat keras ini tanpa resep dokter. Padahal Kepala BPOM Penny Lukito mengingatkan bahwa deksametason dan kortikosteroid lainnya digunakan sebagai obat uji, karena belum terdapat obat yang spesifik untuk COVID-19.
"Deksametason yang digunakan tanpa indikasi medis dan tanpa resep dokter yang digunakan dalam jangka waktu panjang dapat mengakibatkan efek samping menurunkan daya tahan tubuh, meningkatkan tekanan darah, diabetes, 'moon face' dan 'masking effect', serta efek samping lain yang membahayakan," ujar Penny memberi imbauan supaya masyarakat tidak mengonsumsi jenis kortikosteroid ini tanpa resep dokter.
Selain sejumlah obat kimia di atas, beberapa tanaman herbal ini juga sempat diklaim mampu meringankan gejala infeksi COVID-19, karena dianggap dapat meningkatkan sistem imunitas tubuh.
1. Bawang putih
Pada awal Maret, banyak kabar yang beredar melalui pesan singkat yang menyebutkan bahwa bawang putih dapat membantu menyembuhkan gejala akibat infeksi virus corona baru. Padahal pada saat itu masih belum terdapat bukti yang sahih bahwa bawang putih dapat membantu menyembuhkan infeksi akibat COVID-19.
Akibatnya, bawang putih sempat menjadi barang langka di pasaran selain harganya yang kemudian meningkat tajam.
2. Jahe merah
Tanaman herbal bernama latin Zingiber officinale ver. rubrum merupakan salah satu jenis unggul tanaman rimpang jahe yang ada di Indonesia. Varietas ini lebih unggul dibandingkan jahe pada umumnya, karena memiliki senyawa aktif yang lebih tinggi.
Jahe merah pun sempat disebut-sebut memiliki khasiat untuk membantu menyembuhkan pasien dengan gejala infeksi COVID-19. Kendati demikian belum terdapat penelitian yang dapat membuktikan klaim tersebut.
Jahe sendiri memiliki manfaat baik untuk meningkatkan imunitas tubuh, sistem pencernaan, melawan peradangan, serta obat tradisional untuk pilek dan mual. Hal tersebut bisa terjadi karena jahe memiliki sifat antioksidan, antiradang, dan antibakteri yang mampu memperkuat daya tahan tubuh dan mencegah infeksi.
3. Jamur cordyceps
Jamur cordyceps adalah salah satu tanaman herbal yang sempat digadang-gadang berpotensi meningkatkan sistem kekebalan tubuh, sehingga mampu menghambat seseorang terinfeksi virus seperti COVID-19.
Guru Besar Fakultas MIPA dan Pakar Biomolekuler Universitas Brawijaya, Prof. Widodo mengatakan bahwa jamur ini memiliki struktur yang bisa menghambat replikasi virus corona secara langsung.
"Jamur ini sudah lama dipakai oleh masyarakat khususnya di Tibet, Tiongkok dan Korea Selatan karena keunggulannya yaitu memiliki senyawa aktif yang bekerja secara sistemik," ujar dia beberapa waktu lalu dalam sebuah diskusi.
COVID-19 menyebabkan terjadinya badai sitokin pada penderitanya, sehingga dibutuhkan senyawa anti inflamasi untuk meredakan kondisi tersebut. Cordyseps disebut-sebut memiliki potensi untuk menurunkan badai sitokin.
Selain potensi antivirus, jamur jenis ini juga disebutkan memiliki kemampuan untuk meningkatkan kerja paru-paru dan sistem pernapasan lainnya. Hal ini tentu dianggap menjadi kabar baik bagi pasien COVID-19 yang mengalami kesulitan pernapasan. Namun belum ada uji klinis mengenai efektivitas antivirus jamur ini, walau secara tradisional sudah lama digunakan oleh masyarakat.
Perjalanan beberapa obat COVID-19 sebelum vaksin
Minggu, 20 Desember 2020 15:03 WIB