Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Saat fajar muncul di pagi hari sebenarnya
seluruh bola Matahari masih berada di bawah ufuk, namun demikian
cahayanya telah mulai menerangi Bumi hasil pantulan lapisan atmosfer.
Kemunculan fajar, awalnya ditandai dengan adanya cahaya samar yang
menjulang tinggi secara vertikal di horizon Timur yang dalam Islam
disebut "fajar kidzib" atau fajar semu akibat pantulan cahaya matahari
oleh debu partikel antarplanet yang terletak antara Bumi dan Matahari.
Setelah itu, beberapa menit kemudian cahaya ini menghilang dan
langit gelap kembali, disusul peristiwa berikutnya, berupa munculnya
cahaya menyebar di cakrawala secara horizontal yang dinamakan "fajar
shadiq".
Terlihatnya cahaya putih yang melintang mengikuti garis lintang
ufuk di sebelah Timur akibat pantulan cahaya matahari oleh atmosfer yang
disebut "fajar shadiq" ini menjadi penanda bagi umat Islam di seluruh
belahan dunia, termasuk di Indonesia, akan masuknya waktu subuh.
Kumandang adzan ini adalah saat ketika umat Islam harus berhenti
meneguk air terakhir serta mulai melaksanakan puasa Ramadhan serta mulai
menjalani sholat subuh.
Subuh pertama di Bulan Ramadhan 1438 Hijriah untuk Ibu Kota Jakarta
dan sekitarnya sesuai jadwal dari Kementerian Agama adalah pukul 04.35
WIB sementara magrib dijadwalkan pada pukul 17.46 WIB.
Lebih Siang
Bagaimana jika ternyata waktu sholat subuh dan dimulainya puasa
Ramadhan lebih siang daripada jadwal yang ada saat ini? Misalnya untuk
Jakarta dan sekitarnya pada 1 Ramadhan (27/5) jadwal adzan subuh menjadi
4.57 WIB, bukan pukul 04.35 WIB.
Ketua Himpunan Ilmuwan Muhammadiyah Prof Tono Saksono mengatakan,
waktu adzan subuh yang digunakan di Indonesia selama ini terlalu dini
20-30 menit dari yang seharusnya sehingga perlu dikoreksi.
"Hasil riset kami dengan alat Sky Quality Meter (SQM), pengukur
kecerlangan benda langit, memperlihatkan bahwa waktu subuh kita selama
ini terlalu pagi," kata Ketua Islamic Science Research Network (ISRN)
Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) itu.
Ia mengatakan, selama ini fajar dianggap telah terbit saat matahari
pada posisi sudut depresi 20 derajat di bawah ufuk yang setara dengan
80 menit sebelum matahari terbit.
Padahal dari hasil observasi sementara timnya di Depok selama bulan
Maret, April dan Mei 2017, fajar yang menandai adzan subuh bagi umat
Islam Indonesia baru terjadi saat sudut depresi matahari pada kisaran
11-15 derajat di bawah ufuk atau bila dikonversi dalam domain waktu
setara dengan 44-60 menit sebelum matahari terbit.
"Tidak ada satupun indikasi yang menunjukkan bahwa sinar fajar
berupa cahaya putih melintang sebagai tanda awal subuh telah muncul saat
matahari masih berada pada sudut depresi 20 derajat," katanya.
Menurut dia, penentuan 20 derajat di bawah ufuk merupakan keputusan
ulama melayu di masa lalu untuk menentukan awal masuknya waktu shalat
subuh, dan untuk Ramadhan waktu dimulainya puasa, termasuk digunakan
pula oleh ulama Malaysia.
Soal keputusan tersebut, ia sendiri tidak mengetahui apa yang
menjadi landasannya, apakah melalui hasil pengamatan sendiri atau hasil
pengamatan ulama lain yang berada pada kondisi berbeda, atau karena
peralatan yang tidak memadai.
Sementara itu Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
(Lapan) Prof Dr Thomas Djamaluddin membenarkan ketetapan minus 20
derajat tersebut tampaknya mengacu pada ketetapan ulama masa lalu yang
menggunakan standar yang digunakan di Mesir yakni 19,5 derajat atau
Arab Saudi 18 derajat di bawah ufuk.
Karena itu, ia setuju saja jika penggunaan kriteria sudut 20
derajat di bawah ufuk yang selama ini dipakai itu dikoreksi lagi dan
disesuaikan dengan kondisi lokal Indonesia sendiri dengan kerja sama
riset di antara organisasi Islam dan lembaga lainnya.
Menurut dia, pendapat yang berbeda merupakan hal yang wajar saja.
Hal itu karena posisi negara-negara Timur Tengah ada di lintang tinggi,
berbeda dengan Indonesia yang ada di khatulistiwa yang berlintang
rendah.
Di khatulistiwa, lanjut dia, atmosfernya lebih tebal sehingga
memungkinkan hamburan cahaya pada atmosfer jadi lebih banyak dibanding
di lintang lainnya.
"Akibatnya di Indonesia, fajar jadi terlihat lebih awal karena
cahaya fajar sudah tampak walau posisi matahari masih 20 derajat di
bawah ufuk. Ini menjadi masalah di Indonesia," kata Thomas.
Ia mengusulkan dilakukannya pengamatan dari lokasi yang gangguan
atmosfernya minimal sehingga tidak akan mendistorsi hasil data yang
diperoleh, misalnya di NTT yang merupakan daerah kering dan atmosfernya
lebih tipis. Selain itu riset harus dilakukan di saat kemarau ketika
awan tidak terlalu mengganggu sehingga hasilnya lebih akurat.
Wakil Ketua Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) Sirril Wafa
menyambut baik hasil riset ini dan mengatakan NU siap membuka peluang
untuk berubah dan mengusulkan perlunya kerja sama riset terkait
astronomi antara NU, Muhammadiyah, MUI, Lapan dan lainnya.
"Kesalahan bisa berakibat pada tidak sahnya suatu peribadatan, jadi
kami dukung riset-riset yang bisa membawa kepada hal yang lebih akurat,
termasuk untuk penetapan waktu magrib dan waktu lainnya," katanya.
Berkembangnya Ilmu
Penetapan jadwal ibadah dalam Islam, memang sangat berkaitan dengan
muncul dan berkembangnya ilmu falak, ilmu yang mempelajari peredaran
benda-benda langit, karena baik Quran maupun hadist selalu mengaitkan
waktu ibadah dengan fenomena alam tertentu.
Akibatnya manusia dipaksa untuk mempelajari tanda-tanda alam dan
melakukan berbagai riset hingga munculah banyak tokoh astronomi di dunia
Islam di abad X seperti Al-Battani, Al-Biruni, Al-Zarqali dan berbagai
nama lainnya.
Tanda-tanda alam lainnya yang juga memicu berkembangnya ilmu falak
misalnya sistem penanggalan lunar berdasarkan peredaran Bulan untuk
menentukan awal bulan Ramadhan, Syawal dan bulan lainnya, serta fenomena
gerhana terkait shalat gerhana.
Para tokoh muslim ini menjadi jembatan dan memberi banyak sumbangan
ilmu bagi kedatangan zaman pencerahan (Renaissance) di dunia Barat yang
sebelumnya masih diliputi zaman kegelapan.
Buktinya Galileo Galilei, ilmuwan terkemuka abad XVII diketahui
menggunakan karya dan tulisan ahli astronomi peradaban Muslim yang
diterjemahkan ke bahasa latin, demikian pula ilmuwan Barat lainnya di
awal era Renaissance.
Tampaknya, umat Islam masa kini harus memahami, meskipun jadwal
waktu subuh dan waktu-waktu lainnya selama ini masih bisa diperdebatkan
keakuratannya, pada dasarnya fenomena alam hanyalah penanda untuk
dilaksanakannya suatu peribadatan.
Karena itu niat dan keikhlasan beribadah adalah yang paling
penting, dan soal keakuratan terkait fenomena langit dan peristiwa alam
lainnya menjadi bagian dari hal yang mendorong manusia untuk selalu
belajar, bukan untuk bersengketa.
Fenomena munculnya fajar penanda subuh
Minggu, 28 Mei 2017 18:19 WIB