Tuntas sudah lapar dan dahaga yang tertahan selama hampir 17 jam begitu bel berdering di pelataran Masjid Niujie, Beijing, Sabtu (10/6) tepat pukul 19.42 waktu setempat atau 18.42 WIB.
Suguhan berupa semangka, kurma, pisang, dan air putih yang sebelumnya tertata rapi di atas meja-meja bundar tandas sebelum azan magrib dikumandangkan.
Setelah sang muazin menuntaskan seruan shalat, ratusan orang bergegas menuju bangunan utama masjid yang dibangun pada 996 Masehi semasa Dinasti Liao berkuasa.
Salah satu di antara enam imam berjubah putih yang masing-masing kepalanya dililit "imamah" warna senada memimpin shalat wajib tiga rakaat dengan bacaan yang fasih tanpa sedikit pun aksen Chinanya.
Usai salam, para jemaah berhamburan meninggalkan bangunan utama menuju halaman belakang melalui makam Syekh Ali bin Al Qadir Imaduddin Bukhori dan Syekh Al Burthoni Al Qazwayni, dua ulama yang berperan penting dalam penyebaran dakwah Islam di Beijing yang meninggal pada 1280-an.
Di halaman besar sudah mengular antrean. "Assalaamualaikum," sapa seorang perempuan berkerudung sambil membagikan tatakan dan sumpit.
Tak berselang lama, perempuan di sebelahnya mengisi dua potong "baozi" (sejenis bakpao), semangkuk kacang hijau, dan setangkup yoghurt pada setiap tatakan yang dibawa para jemaah.
Kursi-kursi lowong melingkari meja bundar di tanah lapang petang hari ke-15 bulan Ramadhan 1438 Hijriah di tengah permukiman komunitas muslim Beijing itu dalam sekejap terisi penuh.
Para jemaah tidak hanya berasal dari lingkungan sekitar, melainkan juga penganut Islam dari beberapa wilayah barat dan utara daratan Tiongkok.
"Bolehkah orang tua saya foto bersama Anda," pinta seorang pria berusia 30-an kepada Antara yang saat itu mengenakan songkok hitam dan kemeja batik lengan panjang.
Dia bersama kedua orang tuanya rela menempuh perjalanan sejauh 2.877 kilometer dari Xinjiang untuk menikmati suasana Ramadhan di Niujie bersama sesama muslim lainnya.
"Terima kasih, menyenangkan bertemu Anda," timpal orang tua pria itu setelah foto bersama di halaman depan tempat shalat jemaah perempuan.
Memang, hampir semua anggota jemaah yang memadati kompleks peribadatan umat Islam terbesar dan tertua di Ibu Kota China itu mengenakan kopiah putih.
"Kelihatannya Anda bukan orang sini. Boleh kita foto bareng," demikian permintaan lain dari sekelompok pria dan wanita yang mengaku berasal dari Ningxia (1.177 kilometer dari Beijing).
Tidak sedikit warga China yang ingin foto bersama dengan perempuan berkerudung atau pria berkopiah dalam berbagai kesempatan. Bagi mereka busana muslim punya ciri tersendiri.
Selain Niujie, Masjid Dongzhimen juga menyediakan makanan penawar lapar. Namun jumlah jemaah di masjid yang berada di sebelah hub transportasi Dongzhimen tersebut tidak sebanyak di Niujie.
Demikian pula dengan Masjid Nanxiapo turut menyediakan menu takjil bagi para jemaahnya yang berpuasa selama sehari penuh.
Namun tidak semua masjid di Beijing yang berjumlah 70 unit itu mengadakan ritual khas Ramadhan tersebut.
Salah satunya Masjid Dongsi di Jalan Dongsi Nan nomor 13 tidak menyediakan menu takjil.
Sementara Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing hampir setiap hari menyediakan menu iftar khas Nusantara.
Namun hanya hari Jumat yang ramai karena buka puasa bersama dihadiri seluruh pegawai KBRI Beijing.
Selain itu, sejumlah warga negara Indonesia (WNI) yang didominasi para pelajar juga turut meramaikan buka puasa bersama di KBRI.
Atmosfer Ramadhan
Meskipun tidak semeriah di Indonesia, atmosfer Ramadhan di daratan Tiongkok tetap terasa, terutama bagi umat Islam yang jumlahnya diperkirakan mencapai 23 juta jiwa atau 1,8 persen dari jumlah populasi yang mencapai 1,37 miliar jiwa itu.
Restoran-restoran yang menyediakan menu halal atau qing zhen tetap buka. Namun baru ramai oleh pengunjung mana kala sudah tiba waktu buka puasa.
Para pelayannya pun akan menyambut pengunjung dengan ucapan salam, meskipun terasa sedikit aneh bagi pendengaran masyarakat Indonesia.
Mi daging sapi atau niuroumian sebagai kuliner khas orang China tetap tersedia di restoran tersebut. Bedanya, daging sapi yang disuguhkan telah melalui proses syari.
Namun kebanyakan restoran halal di Beijing menyediakan menu Northwestern Style yang berarti makanan khas komunitas muslim Xinjiang yang berada di wilayah barat laut daratan Tiongkok.
Makanannya sedikit berbau keturki-turkian dengan dominasi daging sapi dan daging kambing yang dibakar menyerupai sate.
Sup daging sapi atau ayam bumbu saus yang rata-rata dijual seharga 75 RMB (Rp150 ribu) hingga 100 RMB per porsi menambah selera makan buka puasa.
Untuk minuman yang tersedia di restoran halal biasanya teh dan rempah-rempah, selain bir yang biasanya dikonsumsi untuk para pengunjung nonmuslim.
Memang, pengunjung di restoran halal tidak melulu umat Islam. Oleh sebab itu pula mereka tetap buka pada siang hari bulan puasa, termasuk juga menyediakan bir.
Dengan demikian bukan pemandangan aneh jika menemui antrean panjang di depan restoran-restoran halal di pusat keramaian di Beijing, seperti Niujie, Wangfujing, Sanlitun, dan Dongzhimen.
Warga China yang mayoritas tidak menganut agama apa pun makin menyadari pentingnya makanan halal bagi kesehatan sehingga mudah didapat sesuai selera.
Hanya saja mereka menyebutnya qing zhen yang berarti bersih dan sehat. Restoran-restoran yang bertuliskan qing zhen hampir dipastikan berlabel "halal".
"Memang menyehatkan sehingga banyak orang China suka," kata pria usia 68 tahun bermarga Zhang yang tinggal di Yonghegong saat ditemui di restoran halal di Jalan Dongzhimen Nei.