Sejak dahulu masyarakat Gorontalo mengenal Polahi sebagai sekumpulan orang yang hidup dan terisolasi di dalam hutan yang belum terjamah manusia lain.
Meski demikian, penelitian tentang kehidupan Polahi dapat dihitung dengan jari. Kesulitan untuk mengakses masyarakat Polahi yang masih berada di dalam hutan menjadi salah satu alasannya.
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa anggota keluarga Polahi justru telah menetap bersama warga desa yang berbatasan dengan hutan yang semula menjadi tempat tinggal mereka.
Tidak ada catatan pasti berapa populasi Polahi yang masih hidup dalam hutan sampai saat ini. Namun, sejumlah peneliti berusaha mengumpulkan data dan fakta terkait dengan cara hidup Polahi di alam.
Mulai 2015, Burung Indonesia melakukan penelitian dengan beberapa pendekatan untuk mempelajari perkembangan Polahi pada masa sekarang.
Penelitian itu bertujuan mengidentifikasi kehadiran Polahi di Blok Hutan Popayato-Paguat. Kawasan tersebut merupakan calon konsesi restorasi ekosistem yang akan dikelola perhimpunan tersebut.
Peneliti dari Burung Indonesia Program Gorontalo Marahalim Siagian mengatakan bahwa orang Polahi mengidentifikasi diri sebagai "Lo lahi mai to kambungu, ode o ayua".
Dalam bahasa Polahi maupun Gorontalo, arti harfiahnya adalah "orang kampung yang lari ke hutan". Polahi merupakan sebutan yang dipakai dan diterima oleh orang Polahi sendiri maupun dari orang luar (exoname), masyarakat Gorontalo.
Makna polahi, lanjutnya, dalam konteks percakapan sehari-hari di Gorontalo berkonotasi dengan sifat-sifat negatif, yakni orang yang tidak tahu aturan, orang yang tidak mau diatur, orang yang masih liar, orang yang sopan dan santunya kurang, orang yang tidak tahu agama.
Polahi juga merupakan nama resmi yang digunakan oleh Pemerintah. Namun, dalam konteks program pembangunan,terjadi perubahan terminologi dari waktu ke waktu.
Pada masa Orde Baru dikenal "masyarakat terasing" di bawah payung program PKMT (Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing), kemudian menjadi Komunitas Adat Terpencil (KAT) dewasa ini.
Cara Hidup
Marahalim bersama sejumlah mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo melakukan ekspedisi kecil dan menemui sejumlah polahi di kawasan Suaka Margasatwa Nantu.
Menurut dia, dari beberapa perilaku hidup masyarakat Polahi yang hingga kini mendiami Pegunungan Boliyohuto Provinsi Gorontalo menunjukkan upaya-upaya untuk melindungi hutan sebagai tempat tinggalnya.
"Misalnya, Polahi tidak makan sejumlah satwa yang dilindungi. Mereka memenuhi sebagian kebutuhan makanannya dengan budi daya," ujarnya.
Dalam publikasi penelitiannya, Marahalim menguraikan dasar ekonomi Polahi sebenarnya adalah pertanian subsisten dengan membuka hutan seluas 1 hingga 2 hektare per siklus.
Lama siklus berladang sekitar 2 s.d. 3 tahun, kemudian melepaskan lahan itu menjadi hutan kembali. Tanaman ubi kayu satu dari beberapa tanaman yang dibudidayakan Polahi untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat.
"Sifat tanaman pangan ini mudah tumbuh serta mudah diregenerasi. Satu rumpan ubi kayu dapat menghasilkan sekitar 5 s.d. 7 kilogram per batang per musim dua kali setahun," jelasnya.
Orang Polahi juga mengumpulkan kembali kayu dalam hutan yang tidak terbakar sempurna untuk dibakar lagi. Sistem ini membuat usia ladang lebih lama karena terdapat biomassa yang cukup untuk mendukung pertanian subsisten.
Dalam hal berburu, Polahi selalu melakukannya. Namun, tidak ekstensif, seperti orang Rimba di Jambi yang memanfaatkan hampir semua mamalia besar.
Menurut dia, populasi Polahi yang kecil bisa jadi salah satu alasan mengapa aktivitas berburu tidak mampu mereka lakukan dalam skala besar.
Teknik-teknik perburuan yang dikembangkan dengan jerat. Hal ini menggambarkan bahwa sistem ini berskala kecil daripada kegiatan berburu berkelompok dengan pengerahan belasan anjing.
Satwa liar yang dilindungi dan endemik Sulawesi, seperti yakis dan babi rusa, ternyata juga tidak dikonsumsi oleh Polahi karena alasan berbeda.
Yakis tabu dikonsumsi karena dipercaya merupakan jelmaan manusia, sedangkan babi rusa dan semua jenis babi dipercaya dapat menyebabkan gatal-gatal bila dikonsumsi.
Apakah Polahi mengenal konsep Tuhan? Siapakah yang dianggap kuasa oleh Polahi?
Marahalim mengungkapkan ada tiga tuhan dalam kehidupan mereka, yakni sosok pulohuta, lati, dan lausala. Tiga tokoh ini memiliki ruang dan kekuasaan masing-masing.
Pulohuta, digambarkan sosok yang hidup serta memiliki kuasa atas tanah. Konsepnya berasal dari nenek moyang. Disebutkan bahwa polohuta adalah sesepasang suami istri.
Bila Polahi hendak membuka hutan, mereka meminta izin terlebih dahulu kepada pulohuta. Membuka hutan untuk membuat ladang tanpa izin pulohuta, akan mendatangkan celaka.
Oleh karena itu, dalam ritual membuka hutan, Polahi merapalkan mantera (dalam hati) sebagai cara untuk meminta izin kepada pulohuta.
Selain memegang kuasa atas tanah, pulohuta juga disebutkan memegang kuasa atas hewan di hutan.
"Bentuk penghormatan Polahi pada pulohuta, jika mereka mendapat hewan buruan, bagian tertentu dari tubuh hewan, seperti kuping, mulut, dan lidah, diiris kemudian diletakkan di tunggul kayu," katanya.
Lati, digambarkan sebagai sosok yang hidup yang menghuni pohon-pohon besar serta di air terjun. Ukuran tubuhnya seukuran boneka dalam jumlah banyak.
Sebagai pemegang kuasa atas pohon, bila Polahi ingin menebang pohon besar atau mengambil madu lebah hutan yang terdapat di atasnya, Polahi membakar kemenyan, merapalkan mantra dengan tujuan menyuruh lati pindah ke pohon lain.
Jika cara ini tidak ditempuh, menurut Marahalim, pohon atau madu di atas pohon tersebut, berdasarkan pengalaman hidup mereka, tidak bisa ditebang atau diperoleh. Kecuali itu, pohon tersebut dibakar untuk mengusir lati sebab lati disebutkan takut pada api.
Yang terakhir adalah Lausala. Sosok lausala ternyata bukan hanya tertuju pada deksripsi terhadap tokoh laki-laki sebab ada juga perempuan tua yang disebut-sebut sebagai Lausala.
Polahi dapat membuat beberapa deskripsi untuk meyakinkan bahwa Lausala itu ada walaupun mereka sendiri belum pernah secara langsung kontak fisik dengan sosok tersebut.
Disebutkan bahwa Lausala matanya merah, bisa pindah dengan cepat dari balik bukit yang satu ke balik bukit yang lain.
Polahi adalah agen penjaga hutan yang sebenarnya. Memindahkan mereka dari hutan ke desa bisa saja dilakukan, tetapi untuk apa? manfaatnya apa? kata antropolog tersebut.
Polahi Menjaga Alam Dengan Arif
Jumat, 30 Juni 2017 15:20 WIB