Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Orang sering kali menganggap candaan adalah tindak perundungan. Sebaliknya, para pelaku sering kali menyebut tindakan perundungan yang mereka lakukan hanyalah bercandaan.
Ahli psikologi, Tika Bisono, menjelaskan perbedaan antara candaan alias mengoda (teasing) dan perundungan (bullying)
"Teasing atau menggoda sifatnya situasional dan targetnya bisa siapa saja, jadi tertawaannya bisa kapan saja tapi situasional," kata dia, kepada ANTARA News melalui sambungan telepon, Kamis.
Karena bersifat situasional, setelah candaan berlalu orang yang menjadi bahan candaan tidak menjadi terget. "Kalau pun diulang lagi, bukan orangnya tetapi ceritanya," ujar dia.
Sementara itu, perundungan --menurut dia-- menyasar target yang sama atau konsisten dan bersifat merugikan.
"(Perundungan bersifat) destruktif dan merugikan dan dilakukan dengan terencana," kata dia.
Sedangkan panggilan yang seringkali menggambarkan fisik, misalnya panggilan "gendut" atau "botak" atau "si uban", belum tentu suatu perundungan.
"Panggilan itu tergantung motif. Bisa saja itu nama kesayangan sesorang kepada sahabatnya. Di situ dibutuhkan kearifan. Kalau niatnya melecehkan, ada unsur merendahkan, sudah bully secara verbal," ujar Tika.
Selain tentunya berakibat buruk pada korban, ahli psikologi yang juga artis itu menjelaskan, perundungan juga dapat menimbulkan efek traumatik bagi mereka yang menyaksikan.
"Penyaksi biasanya juga tidak bisa terima, tapi mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Ini karena group think. Group think selalu negatif dan para penyaksi bisa masuk dalam kategori pem-bully jika tidak melapor," kata dia.
Untuk pelaku perundungan, menurut dia, hukuman yang dijatuhkan bervariasi disesuaikan beban atau tingkat perundungan yang terjadi.
"Hukuman akademik diberikan sekolah, polisi enggak boleh masuk, kecuali sampai ke tahap yang memang masuk ke klausul kepolisian," ujar dia.
"Di luar negeri pelaku biasanya dihukum dengan melakukan pelayanan sosial," tambah dia.