Gorontalo (ANTARA) - RUU penghapusan kekerasan seksual (PKS) didorong segera dibahas dan disahkan karena kekerasan seksual yang dialami perempuan jauh lebih luas dari pada yang diatur dalam KUHP, UU TPPO dan UU KDRT.
"Kami mendorong pengesahan RUU penghapusan kekerasan seksual sebagai bentuk perlindungan negara kepada perempuan dan anak dari kekerasan seksual," ujar Sekjen Perempuan Bravo 5 Ruby Kholifah dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.
Sementara, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menilai definisi yang ada pada Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual masih ambigu sehingga perlu diperjelas.
Ruby menilai RUU PKS disebutnya dapat juga menjadi upaya mengembalikan budaya Indonesia yang ramah pada perempuan.
Di Indonesia masih terdapat budaya yang dapat membahayakan kesehatan reproduksi perempuan, seperti sunat perempuan, perkawinan paksa dan perkawinan di bawah umur.
Perempuan Bravo 5 juga mendorong pengesahan RUU kesetaraan dan keadilan gender (KKG) sebagai payung instrumen hukum dari segala upaya pengarusutamaan gender dan perlindungan hak-hak perempuan di Indonesia.
Indeks Pembangunan Gender di Indonesia sudah naik dari 90,82 (2016) menjadi 90,96 (2017), sementara Indeks Pemberdayaan Gender yang pada 2015 mencapai 70,83, lalu pada 2016 mencapai 71,39 dan pada 2017 mencapai 71,74, tetapi hal tersebut tetap perlu ditingkatkan.
Ia pun berharap isu perempuan dibahas dalam debat cawapres pada 17 Maret 2019 yang memiliki tema pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, serta sosial dan budaya.
RUU PKS menghadapi sejumlah kontroversi sehingga mendapat penolakan. Pembahasannya di DPR macet meski memiliki urgensi yang tinggi berdasar data kekerasan terhadap perempuan.
Komnas Perempuan menyebutkan, dari sekitar 150 pasal, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) justru menghilangkan 100 pasal yang krusial dan belum diatur dalam KUHP.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VIII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Iskan Qolba Lubis menilai definisi yang ada pada RUU PKS masih ambigu sehingga perlu diperjelas.
"Definisi yang ambigu akan menimbulkan keraguan, kekaburan dan ketidakjelasan," kata Iskan melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat (1/2).
Iskan mengatakan ketidakjelasan definisi dalam konstruksi hukum akan sangat menyulitkan sehingga rawan kriminalisasi.
Karena itu, Fraksi PKS mengusulkan kata "kekerasan" dalam RUU tersebut diubah menjadi "kejahatan" dengan definisi "Kejahatan Seksual adalah setiap perbuatan seksual terhadap tubuh dan fungsi reproduksi, secara paksa, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, bahkan kehilangan nyawa".
"Nomenklatur 'kejahatan seksual' lebih sesuai digunakan dibandingkan 'kekerasan seksual'. Hal itu juga mempertimbangkan konsistensi istilah yang digunakan dalam undang-undang yang menggambarkan objek yang sama," tuturnya.
Menurut Iskan, penyusunan RUU tersebut harus mengedepankan asas kehati-hatian dan tidak hanya dirumuskan secara normatif tetapi juga implementatif sehingga dapat dilaksanakan secara menyeluruh.
Iskan mengatakan Fraksi PKS menyatakan menyetujui dan akan mendukung RUU yang menjadi inisiatif anggota DPR dengan mengusulkan sejumlah perubahan.