Bondowoso (ANTARA) - Dunia perfilman Tanah Air kini sedang hangat dengan hadirnya film berjudul "Sayap-sayap Patah", yang pemain utamanya Nicholas Saputra dan Ariel Tatum.
Film "Sayap Sayap Patah" terinspirasi dari peristiwa yang terjadi di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, pada Tahun 2018. Dalam tragedi tersebut, 155 narapidana terorisme membobol rutan Mako Brimob. Lima anggota Densus 88 gugur dalam peristiwa tersebut. Kala itu, 150 narapidana terorisme menyandera petugas yang sedang berjaga di Mako Brimob. Dalam upaya pembebasan itu, lima anggota Brimob gugur di tangan teroris.
Sutradara Rudi Soedjarwo mengangkat kisah penuh nilai kemanusiaan tersebut ke dalam film "Sayap-Sayap Patah". Diceritakan, tokoh Iptu Luar Biasa Anumerta Yudi Rospuji alias Aji (Nicholas Saputra) adalah anggota pasukan khusus penanganan terorisme terperangkap dalam kejadian pembobolan yang dilakukan oleh narapidana teroris.
Saat Aji dalam posisi hidup dan mati demi melindungi rekan dan negara dalam penyanderaan, sang istri Nani (Ariel Tatum) juga berjuang melahirkan anak. Sebuah kisah yang menusuk-nusuk rasa kemanusiaan setiap manusia. Kisah yang menggambarkan pelaku "seolah-olah" membela agama, nyatanya telah mematahkan sayap sebuah keluarga yang juga beragama sama dengan para pelaku.
Kalau kebhinnekaan itu ibarat sayap, dalam beberapa tahun lalu, sayap-sayap itu memang patah akibat tindakan teroris. Para teroris itu menyasar sejumlah tempat ibadah, bahkan di markas kepolisian.
Tindakan terorisme dengan cara bom bunuh diri tersebut bukan saja mematahkan sayap-sayap kebangsaan, namun juga sayap-sayap agama. Bulu-bulu saya itu mereka robek-robek, kemudian tulang-tulang penguatnya dipatahkan. Puaslah ego mereka yang "mabuk" dalam fantasi masuk surga. Diperankan oleh kelompok garis keras, agama telah kehilangan elan vitalnya, yakni kasih sayang yang terkandung dalam term "rahmatan lil 'alamin". Perintah Allah agar Umat Islam berlomba-lomba dalam "kebaikan" telah mereka belokkan ke berlomba-lomba merebut "anggapan benar". Mereka yang sepaham digolongkan sebagai yang benar, sedangkan yang berbeda paham dinilai sesat, bahkan kafir.
Semua agama, apapun nama formalnya, turun ke Bumi untuk menjadi sayap bagi pemeluknya untuk mewujudkan kasih sayang Tuhan. Menggunakan logika apapun, mereka yang menggunakan bom dengan dalih membela agama, adalah bentuk pengkhianatan paling kasat mata pada ajaran inti dari agama itu sendiri.
Kalau penganut paham garis keras itu menuduh pemerintahan yang menganut sistem demokrasi itu dianggap toghut, mereka, entah lupa, bahwa Islam juga melarang keras umatnya untuk membunuh secara semena-mena terhadap sesama agama, sebagaimana diingatkan dalam Surat Al Maidah ayat 32.
Terjemahan ayat itu adalah, "Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi."
Ayat itu mengisahkan tentang kasus pembunuhan pertama kali di muka bumi dalam versi Agama Islam, yakni Qobil membunuh saudaranya, Habil.
Atau kalau menggunakan "ayat" logika, motif mereka melakukan kekerasan, yakni untuk membela Allah atau agama Allah, juga terjebak dalam kesesatan berpikir, sebagaimana pernah dinyatakan oleh almarhum KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur bahwa Allah tidak perlu dibela.
Dalam logika cendekiawan muslim Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, jika seseorang atau sekelompok orang menempatkan diri sebagai pembela, maka ia atau mereka berada di posisi lebih kuat dari pada yang dibela. Kalau logika mereka melakukan pengeboman dalam rangka membela Allah, tidak sadarkah mereka bahwa sesungguhnya Allah maha perkasa atas segala sesuatu? Itulah logika yang digunakan Gus Dur, mantan presiden itu bahwa Allah tidak perlu dibela. Demikian juga dengan Islam. Umatnya tidak lebih kuat dari pada agamanya. Allah sendiri yang telah menjaga Islam itu.
Peristiwa Bom Bali, Bom Sarinah di Jakarta, bom di gereja di Surabaya dan tempat lain, termasuk penyanderaan anggota Polri di Markas Brimob Jakarta, adalah luka yang membekas. Meskipun demikian, tak berarti lupa-luka pada sayap yang patah tidak bisa disembuhkan.
Beberapa dari mereka yang terlibat dalam kasus bom bunuh diri itu kini menjalani hukuman dan menyadari kekeliruannya dalam memaknai ajaran agama. Salah satunya Umar Patek yang kini mendekam di sebuah lapas di Jawa Timur. Umar Patek, dalam beberapa tahun ini mulai mau ikut upacara bendera pada peringatan Hari Kemerdekaan RI, yang sebelumnya hal itu, khususnya menghormat Bendera Merah Putih, dianggapnya sebagai perbuatan syirik.
Bahkan, salah satu tokoh yang termasuk dalam golongan pemimpin golong teroris dari Jemaah Islamiyah ini, Abu Bakar Ba'asyir pada peringatan 17 Agustus 2022, telah menjadi tuan rumah penyelenggaraan upacara kemerdekaan dengan pemimpin upacara Menko PMK Muhadjir Efendi, bertempat di Pondok Pesantren Islam Al Mu'min Ngruki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Peristiwa-peristiwa pilu bertopeng agama itu memberikan pelajaran besar bahwa lingkungan terdekat, yakni keluarga, sangat berperan dalam menjaga sayap-sayap bangsa ini agar tidak lagi dipatah-patahkan. Orang tua yang merupakan madrasah pertama bagi seseorang, harus betul-betul menanamkan paham sejak dini bahwa inti ajaran agama itu kasih sayang.
Lembaga pendidikan juga harus menaruh perhatian besar pada pemberian pemahaman agama yang proporsional bagai anak didiknya.
Kini sayap-sayap patah itu telah sembuh, mari kita rawat bersama untuk kita gunakan terbang bersama mengisi kemerdekaan negara yang diperjuangkan oleh para ulama besar di zaman penjajah dulu.