Beijing (ANTARA) - Pemerintah China mengecam aturan baru Amerika Serikat (AS) yang membatasi ekspor chip kecerdasan buatan (AI) dari perusahaan-perusahaan di negara tersebut ke pasar internasional.
"Aturan itu telah secara serius menyabotase regulasi pasar, tatanan ekonomi dan perdagangan internasional, mengacaukan rantai industri maupun pasokan global, serta merusak kepentingan China, AS, dan komunitas bisnis di negara-negara di seluruh dunia," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun dalam konferensi pers di Beijing pada Selasa (14/1).
Pemerintah AS mengesahkan aturan baru bernama Aturan Akhir Sementara tentang Penyebarluasan Kecerdasan Buatan (Interim Final Rule on Artificial Intelligence Diffusion) yang bertujuan untuk memperketat kontrol penjualan chip kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) dari AS dan memberikan kejelasan kepada sekutu maupun mitra AS tentang bagaimana mereka memperoleh AI.
Aturan tersebut diumumkan pada Senin, 13 Januari 2025 agar mencegah penyelundupan, menutup celah lain dan meningkatkan standar keamanan AI.
"AS telah melebih-lebihkan konsep keamanan nasional, mempolitisasi dan mempersenjatai isu perdagangan dan teknologi dan menyalahgunakan kontrol ekspor untuk menekan China," tambah Guo Jiakun.
China, ungkap Guo Jiakun, dengan tegas menentang keputusan AS dan akan mengambil langkah-langkah tegas untuk melindungi hak dan kepentingan yang sah dan sesuai hukum dari perusahaan-perusahaan China.
"AI adalah aset bersama umat manusia, dan tidak boleh menjadi 'permainan bagi negara-negara kaya dan orang-orang kaya' atau digunakan untuk menciptakan kesenjangan pembangunan lainnya," ungkap Guo Jiakun.
Untuk mempertahankan supremasinya, ungkap Guo Jiakun, AS memilih untuk membagi dunia menjadi beberapa tingkatan, memberikan akses ke negara-negara yang "dekat" dan melarang akses ke "negara-negara lainnya."
"Tujuan sebenarnya adalah untuk merampas hak negara-negara berkembang, termasuk China agar dapat membuat kemajuan mereka sendiri dalam sains dan pembangunan," kata Guo Jiakun.
"Strategi penghalang jalan semacam ini merugikan kepentingan bersama global untuk mempromosikan AI demi kebaikan, dan telah memicu kekhawatiran dari berbagai pihak tentang Perang Dingin teknologi baru dari AS," jelas Guo Jiakun.
Guo Jiakun menyebut sudah banyak perusahaan teknologi dan asosiasi industri AS berbicara terus terang menentang langkah-langkah yang diumumkan oleh pemerintahan Biden.
"China adalah pendukung aktif tata kelola global AI. Kami mengajukan Inisiatif Global untuk Tata Kelola AI, memfasilitasi adopsi tata kelola tersebut melalui konsensus resolusi tentang pengembangan kapasitas AI, dan membentuk kelompok sahabat untuk kerja sama internasional tentang pengembangan kapasitas AI di PBB," kata Guo Jiakun.
China, kata Guo Jiakun, juga akan terus bekerja dengan semua pihak untuk merangkul keterbukaan, konektivitas, dan kesetaraan.
"Alih-alih membangun tembok, pemisahan, dan diskriminasi, kami ingin menciptakan lingkungan yang terbuka, inklusif, dan non-diskriminatif untuk pengembangan AI yang bermanfaat bagi semua, dan memastikan bahwa semua negara dapat mengakses manfaat AI," tambah Guo Jiakun.
Berdasarkan informasi dari situs resmi Gedung Putih, AS ingin bertindak tegas untuk memastikan bahwa teknologi AS mendukung penggunaan AI global dan bahwa musuh tidak dapat dengan mudah menyalahgunakan AI yang lebih canggih.
Enam mekanisme kontrol ekspor AI AS yaitu, pertama, tidak ada batasan yang berlaku untuk penjualan "chip" ke 18 sekutu dan mitra utama (tier 1) karena mereka dianggap punya rezim perlindungan teknologi yang kuat dan ekosistem teknologi yang selaras dengan kepentingan keamanan nasional dan kebijakan luar negeri AS.
Kedua, pesanan "chip" dengan daya komputasi kolektif hingga sekitar 1.700 GPU canggih tidak memerlukan lisensi. Sebagian besar pesanan "chip" tersebut terutama yang dilakukan oleh universitas, lembaga medis, dan organisasi penelitian untuk tujuan yang jelas tidak berbahaya.
Ketiga, entitas yang memenuhi standar keamanan dan kepercayaan yang tinggi dan berkantor pusat di negara tier 1 dapat memperoleh status "Pengguna Akhir Terverifikasi Universal" (UVEU) untuk dapat membeli hingga 7 persen kapasitas komputasi AI global.
Keempat, entitas yang memenuhi persyaratan keamanan dan berkantor pusat di negara-negara non-sekutu dapat mengajukan status UVEU untuk pembelian daya komputasi hingga 320.000 GPU canggih selama dua tahun ke depan.
Kelima, entitas non-VEU yang berlokasi di luar sekutu tapi dekat, masih dapat membeli daya komputasi hingga 50.000 GPU canggih per negara.
Keenam, perjanjian antarpemerintah dapat menggandakan batas chip hingga 100.000 GPU bagi negara-negara yang bekerja sama dengan AS.
Regulasi baru ini akan mulai berlaku 120 hari setelah diterbitkan sehingga diperkirakan efektif pada April 2025. Artinya, dalam periode tersebut, presiden terpilih AS Donald Trump dapat mempertimbangkan aturan itu untuk tetap diterapkan atau dibatalkan.
Tiga tingkatan (tier) negara yang dimaksud yaitu tier 1 mencakup AS dan negara-negara sekutu utama yang memiliki akses tak terbatas ke teknologi canggih.
Sedangkan tier 2 mencakup negara-negara dengan batasan tertentu, dan tier 3 terdiri dari negara-negara seperti China dan Rusia yang dilarang mengakses teknologi AI AS.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: China sebut pembatasan ekspor "chip" AS sabotase rantai pasok global