Jakarta (ANTARA GORONTALO) - Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri
Brigjen Pol Arthur Tampi mengatakan bahwa dalam sebagian besar kasus,
polisi bunuh diri karena konflik keluarga atau masalah percintaan.
"Tim kami menyimpulkan kasus bundir (bunuh diri) tersebut 64 persen
disebabkan masalah keluarga atau percintaan," kata Brigjen Arthur Tampi
di Mabes Polri, Jakarta, Rabu.
Penyebab lainnya, menurut dia, adalah masalah ekonomi (18 persen)
disusul narkoba (9 persen) dan tekanan pekerjaan (9 persen).
Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri mendata ada 14 kasus polisi yang bunuh diri dan tindakan agresif selama 2016.
"Rinciannya kasus bunuh diri ada 12 kasus, kasus tindakan agresif ada dua kasus," katanya.
Arthur mengatakan kepolisian berupaya mencari solusi untuk mencegah
terjadinya kasus bunuh diri dan tindakan agresif di kalangan polisi di
kemudian hari.
"Para psikiater, psikolog dan pengemban fungsi SDM Polri selanjutnya akan menentukan solusinya kedepan seperti apa," katanya.
Pada 5 Oktober, Kepala Kepolisian Sektor Karangsembung, Kabupaten
Kebumen, Jawa Tengah, Ipda Nyariman, ditemukan tewas gantung diri di
ruang kerjanya.
Sebelum gantung diri, Nyariman diduga pernah menjanjikan membantu
anak seorang anak buahnya masuk ke Sekolah Calon Bintara Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Secaba Polri). Namun upayanya gagal, dan
pimpinan Kepolisian Resort Kebumen sempat memusyawarahkan kasus itu
karena menduga Nyariman menerima uang "pelicin".
Selain itu pada 3
Oktober, saat bertandang ke rumah rekannya di Kelurahan Sidurjan,
Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, anggota Brimob Polda DIY Bripka Iwan
Rudiyanto (35) mengambil senjata api dari dalam tasnya, memainkan senpi
tersebut, menembakkannya ke atas dua kali, lalu menembak kepalanya
sendiri.
Kasus bunuh diri polisi kebanyakan karena konflik keluarga
Rabu, 12 Oktober 2016 13:16 WIB