Jakarta (ANTARA) - Tanggal 21 April bukanlah sekadar angka di kalender, melainkan gema sejarah yang mengetuk nurani bangsa.
Hari Kartini. Sebuah perayaan akan keberanian perempuan untuk menyalakan obor di tengah gelapnya keterkungkungan. Kartini bukan hanya nama, tapi simbol perjuangan yang tak lekang, tentang bagaimana perempuan memaknai dirinya dalam pusaran zaman.
Hari ini, kita mampu merayakan Kartini dalam nuansa yang berbeda. Di luar batas teks sejarah dan kutipan surat-surat yang menggetarkan itu, mari kita bicara tentang perempuan dalam ranah yang sering kali tak terlihat tapi sungguh menentukan: tubuhnya sendiri. Tentang kesehatan. Tentang bagaimana tubuh perempuan menjadi medan perjuangan baru yang masih terus berlangsung, di ruang klinik, laboratorium, bahkan sampai meja makan di rumah.
Di dunia kedokteran dan ilmu kesehatan, kita sedang hidup di era yang revolusioner. Regenerative medicine atau pengobatan regenerative menawarkan janji yang menggoda, kemampuan tubuh untuk memperbaiki dirinya sendiri.
Kita bicara tentang sel punca (stem cell), nanoteknologi, bioprinting, bahkan organ buatan. Tapi di balik megahnya laboratorium-laboratorium canggih itu, ada satu kenyataan yang harus kita renungi: bagaimana perempuan Indonesia, khususnya, mendapat akses, perhatian, dan tempat yang layak di ranah medis yang kian canggih ini?
Mari kita mulai dari sebuah ironi.
Sejarah mencatat bahwa sebagian besar riset medis, baik yang konvensional maupun yang bersifat regenerative, didasarkan pada tubuh laki-laki. Gejala serangan jantung, misalnya, selama bertahun-tahun digambarkan berdasarkan tubuh pria. Padahal, gejala pada perempuan bisa berbeda dan kerap tak terdeteksi.
Dalam pengobatan regeneratif pun, bias ini muncul. Penggunaan sel punca dari jaringan perempuan belum banyak diteliti secara spesifik. Padahal, sistem hormonal, siklus menstruasi, kehamilan, hingga menopause menjadikan tubuh perempuan bukan sekadar versi mini dari tubuh laki-laki, tapi entitas biologis yang unik.
Apakah ini bukan semangat yang dulu Kartini suarakan dalam bentuk lain? Ketika ia berbicara tentang pendidikan perempuan, ia tengah membuka pintu untuk pengakuan terhadap pengalaman perempuan sebagai sesuatu yang setara dan valid.
Hari ini, semangat itu harus bergaung di ruang-ruang laboratorium dan klinik: bahwa tubuh perempuan pun layak mendapat tempat dalam peta besar inovasi biomedis.
Regenerasi: metafora kesehatan dan emansipasi
Regenerasi bukan hanya istilah biologis. Ia adalah metafora yang indah tentang harapan. Dalam tubuh, regenerasi berarti pemulihan. Dalam masyarakat, ia berarti kebangkitan.
Maka sungguh tepat bila kita bicara tentang regenerasi tubuh perempuan sebagai bagian dari regenerasi peradaban. Sebab bagaimana mungkin suatu bangsa disebut maju jika rahim yang melahirkannya, payudara yang menyusuinya, dan tangan yang membesarkannya dibiarkan lelah, sakit, dan tak dirawat?
Dalam dunia pengobatan regeneratif, ada harapan besar untuk penyakit-penyakit yang selama ini menjerat perempuan dalam sunyi. Endometriosis, misalnya, yang menyiksa banyak perempuan usia subur dengan rasa nyeri luar biasa namun sering diabaikan.
Ada pula kanker serviks, yang ironisnya bisa dicegah tapi masih menjadi pembunuh utama. Kita sudah punya vaksin HPV, skrining dini, bahkan terapi berbasis sel yang menjanjikan. Tapi apakah semua perempuan Indonesia sudah mampu mengaksesnya?
Kesehatan reproduksi perempuan adalah ranah yang kerapkali dibungkam oleh budaya. Kartini pun dulu menulis tentang ketidakadilan pernikahan paksa dan batasan atas tubuh perempuan. Hari ini, kita harus melanjutkan suaranya: bahwa tubuh perempuan bukan medan eksploitasi, bukan sekadar mesin reproduksi, tapi ruang hidup yang layak dilindungi dan dipulihkan.
Nanoteknologi dan tubuh mikro perempuan
Masuklah kita ke wilayah yang lebih futuristik: nanoteknologi. Dengan partikel-partikel yang bahkan tak kasat mata, kini kita bisa mengirim obat secara presisi ke jaringan yang rusak, menyusup ke sel-sel ganas kanker, atau memperbaiki DNA yang rusak.
Ini bukan mimpi ilmuwan barat semata. Di beberapa universitas Indonesia, riset ini sedang tumbuh, meski perlahan.
Bayangkan, perempuan di pelosok Papua yang mengalami anemia kronis karena kekurangan zat besi akibat menstruasi berat, bisa mendapat terapi berbasis nano yang menyuplai zat besi secara langsung ke sel darah. Atau ibu di pedalaman Kalimantan yang mengalami komplikasi diabetes dapat pulih karena sel pankreasnya dibantu regenerasinya oleh terapi berbasis stem cell.
Teknologi bukan semata soal kecanggihan, tetapi tentang keadilan distribusi. Merupakan tugas kita bersama, sebagai generasi Kartini yang hidup di abad ke-21, ikut memastikan bahwa kecanggihan ini tak hanya berdiam di laboratorium elite atau rumah sakit metropolitan, tetapi menjangkau hingga dapur, ladang, dan pangkuan ibu-ibu desa.
Mendidik wanita, mencerdaskan bangsa
"Habis gelap terbitlah terang." Begitulah idealisme Kartini. Tentunya terang tidak lahir begitu saja dari langit, tetapi ia haruslah terus diperjuangkan.
Demikian pula dengan kesehatan. Kita tidak bisa menunggu sistem berubah tanpa memulainya dari kesadaran diri. Pendidikan kesehatan perempuan --mulai dari haid, nutrisi, kehamilan, hingga menopause-- haruslah menjadi bagian dari kurikulum kehidupan, bukan sekadar sisipan dalam buku pelajaran.
Kesehatan mental pun tak bisa dilupakan. Banyak perempuan Indonesia hari ini yang terjebak dalam perang batin antara tuntutan budaya dan impian pribadi. Mereka lelah, cemas, bahkan depresi, tapi memilih diam karena takut dianggap lemah.
Di sinilah pengobatan regeneratif harus kita pahami dalam arti yang lebih luas: bukan hanya memperbaiki jaringan tubuh, tapi menyembuhkan luka jiwa.
Satu hal yang paling kita butuhkan adalah reposisi perempuan dalam dunia medis. Mereka bukan sekadar pasien, tapi berpotensi menjadi ilmuwan, peneliti, dokter, insinyur biomedik, dan pengambil kebijakan. Representasi ini penting agar perspektif perempuan hadir di setiap keputusan (bio)medis.
Dulu, Kartini menulis karena ia ingin suara perempuan didengar. Hari ini, kita memerlukan Kartini-Kartini milenial dengan jas laboratorium, di ruang riset, di podium akademik, bahkan di balik mikroskop. Semua itu hanya mungkin jika pendidikan dan akses kesehatan diberikan secara merata dan adil.
Pada akhirnya, regenerasi bukan hanya teknologi, melainkan cara pandang dan perilaku. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memperlakukan tubuh perempuannya bukan sebagai beban, melainkan sebagai titik tolak kemajuan. Tubuh perempuan bukan objek perawatan belaka, tapi sumber kebijaksanaan biologis yang bila dipahami mendalam, berpotensi membawa pencerahan peradaban.
Di Hari Kartini ini, mari kita rayakan bukan hanya perjuangannya untuk belajar dan menulis, tetapi juga untuk hidup sehat, bebas dari sakit yang tersembunyi dan kesunyian yang menyiksa.
Mari kita suarakan bahwa pengobatan regeneratif bukan milik masa depan yang jauh, tapi hak masa kini yang layak diperjuangkan untuk setiap perempuan Indonesia. Sebab dari rahim yang sehat, dari jiwa yang pulih, lahirlah generasi yang kuat.
Dimulai dari sanalah, Kartini tidak hanya hidup dalam buku sejarah. Ia hidup dalam denyut sel, napas harapan, dan regenerasi bangsa.
*) Dokter Dito Anurogo MSc PhD, alumnus IPCTRM College of Medicine Taipei Medical University Taiwan, dosen FKIK Unismuh Makassar, Diploma in Project Management from International Business Management Institute Berlin Germany, peneliti di Institut Molekul Indonesia, World Wide Peace Organization (WWPO) Peace Ambassador, trainer, reviewer, penulis profesional, organisatoris
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kartini, regenerasi perempuan dan masa depan kesehatan Nusantara