Jakarta, (Antara) - Pengusaha industri rokok senantiasa masuk dalam deretan orang terkaya di Indonesia, sementara di sisi lain rumah tangga termiskin di Indonesia menempatkan belanja produk tembakau di posisi kedua setelah padi-padian.
Hal itu tampak dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2003 hingga 2011. Survei yang berturut-turut dilakukan selama sembilan tahun menunjukkan pengeluaran rumah tangga perokok termiskin untuk produk tembakau berada pada posisi kedua.
Itu berarti rumah tangga miskin perokok lebih mementingkan membeli rokok daripada kebutuhan primer lainnya, misalnya untuk sewa atau kontrak rumah, pemenuhan gizi bahkan pendidikan anak-anaknya.
Hal yang sama juga selalu dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun. BPS menyatakan rumah tangga termiskin di Indonesia membelanjakan uangnya yang pertama untuk beras dan kedua untuk rokok.
Fakta itu tentu membuat miris karena asupan kalori dan gizi, bahkan pendidikan, anak-anak rumah tangga termiskin Indonesia harus dikalahkan oleh rokok karena orang tuanya sudah kecanduan.
Seharusnya, uang yang dibelanjakan untuk membeli rokok bisa digunakan untuk meningkatkan gizi dan pendidikan anak sehingga generasi selanjutnya bisa lepas dari jerat kemiskinan.
Merupakan sebuah ironi, pengusaha rokok senantiasa masuk dalam jajaran orang terkaya di Indonesia, sementara konsumennya yang termasuk rumah tangga termiskin akan terus tetap miskin karena pendidikan dan pemenuhan gizi anaknya tidak terpenuhi.
Sejumlah akademisi menilai salah satu sebab rumah tangga miskin mudah mengakses rokok adalah karena harganya yang terlalu murah. Memang, harga rokok di Indonesia relatif sangat murah bila dibandingkan dengan negara-negara lain.
Karena itu, banyak pihak yang mengusulkan agar harga rokok dinaikan, salah satunya melalui instrumen cukai.
Isu kenaikan harga rokok itu bahkan sempat menjadi heboh dan dibicarakan banyak orang pertengahan 2016 ketika sebuah berita tidak benar di sebuah portal yang menyebutkan harga rokok akan naik menjadi Rp50 ribu bulan berikutnya yang beredar secara viral di media sosial.
Kehebohan serta pro dan kontra di masyarakat semakin meningkat karena di layanan pesan instan dan media sosial sudah beredar harga-harga "baru" sejumlah merek rokok.
Kegaduhan terus bergulir karena media massa ikut "termakan" berita "hoax" (palsu) tersebut. Berita hoax dari portal "abal-abal" pun akhirnya menjadi pemberitaan media massa dan menjadi wacana yang beredar di masyarakat.
Wacana tersebut berawal dari Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia yang meneliti hingga harga berapa seorang perokok akan berpikir untuk berhenti merokok.
Penelitian itu sebenarnya bukan hal baru. Sudah lama para pendukung pengendalian tembakau, yang salah satu tujuannya adalah aksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC), menyuarakan tentang harga rokok di Indonesia yang sangat murah bila dibandingkan dengan negara-negara lain.
Penelitian yang dipimpin Prof Hasbullah Thabrany itu sudah berulang kali disuarakan oleh kelompok pendukung pengendalian tembakau dan diberitakan oleh media massa, tetapi selama ini tidak pernah sampai menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Belum lagi melihat akses anak-anak yang mudah terhadap rokok. Sudah harganya sangat murah, penjualannya pun tidak diatur ketat sehingga sangat mudah bagi anak-anak untuk membeli rokok. Di dunia internasional, Indonesia sudah dikenal sebagai negara dengan bayi perokok atau "baby smoker country".
Melihat fakta-fakta tersebut, banyak pihak yang mendukung kenaikan harga rokok minimal Rp50 ribu. Wacana yang bermula dari berita "hoax" berhasil menjadi perhatian banyak pihak untuk didorong menjadi kenyataan.
Secara umum, masyarakat mendukung wacana kenaikan harga rokok tersebut. Hal itu terlihat dari beberapa survei yang dilakukan secara daring oleh media-media massa seperti Kompas dan TV One.
Salah satu elemen masyarakat yang mendukung kenaikan harga rokok adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meskipun pada akhirnya memunculkan tudingan bahwa lembaga tersebut tidak peduli kepada konsumen, terutama konsumen rokok.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan pihaknya justru peduli terhadap perlindungan konsumen rokok sehingga pihaknya mendukung wacana kenaikan harga rokok sebagai instrument untuk melindungi masyarakat.
"Kalangan protembakau menuding YLKI sebagai lembaga yang tidak peduli pada konsumen rokok. Padahal YLKI justru menaruh perhatian pada konsumen rokok, bahkan calon perokok," katanya.
Tulus mengatakan bentuk perlindungan YLKI terhadap konsumen rokok dan calon perokok tidak bisa disamakan dengan barang lain seperti pada makanan, minuman, obat-obatan, dan jasa.
Pasalnya, rokok merupakan barang yang tidak normal. Hal itu terbukti dengan pengenaan cukai yang merupakan "pajak dosa", berbeda dengan makanan, minuman dan jasa yang merupakan barang normal sehingga hanya dikenai pajak biasa.
"Mengapa rokok dikenai cukai sebagai 'pajak dosa'? Karena rokok menimbulkan dampak negatif bagi konsumen, masyarakat sebagai perokok pasif bahkan lingkungan. YLKI peduli agar konsumen rokok tidak semakin terperosok dampak negatif rokok," kataya.