Yogyakarta (ANTARA GORONTALO) - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD,
berharap Pemerintah Indonesia tidak terganggu dengan dibukanya dokumen
kabel diplomatik Amerika Serikat terkait peristiwa 1965.
"Saya kira tidak perlu terganggu dan terpengaruh dengan
dokumen-dokumen begitu," kata Mahfud, kepada ANTARA, di Yogyakarta,
Minggu.
Mahfud menilai dokumen-dokumen telegram rahasia Amerika Serikat
yang dibeberkan ke publik itu tidak jauh berbeda dengan dokumen-dokumen
lain yang selama ini ada. Dokumen itu, menurut dia, tetap akan
menimbulkan pemahaman yang simpang siur bagi berbagai pihak.
"Menurut saya itu bukan dokumen baru, melainkan dokumen lama yang
dibuka lagi, artinya informasi tetap saja simpang siur. Sebenarnya kan
kita sudah tahu itu semua kan, itu hanya berita-berita waktu itu lalu
ditelusuri kemudian didokumentasikan," kata dia.
Oleh sebab itu, ia berpendapat pemerintah tidak perlu memaksakan
melakukan pengujian terkait validitas dokumen-dokumen tersebut.
Alasannya, peristiwa terkait yakni sejarah G30SPKI dinilainya sudah
selesai, sehingga tidak perlu diungkit kembali.
"Menurut saya tidak perlu diungkit-ungkit lagi, kan sudah selesai, buat apa membuka luka lama lagi," kata dia.
Ia juga tidak sependapat jika pemerintah saat ini diminta untuk
meminta maaf terkait peristiwa 1965. Hal itu, menurut dia, tidak relevan
lantaran rezim pemerintahan yang salah telah tumbang. "Kan pemerintah
yang salah sudah jatuh, sudah direformasi karena banyak kesalahan
termasuk kesalahan yang itu juga, menurut saya tidak perlu," kata dia.
Sebelumnya, dokumen yang sudah bersifat "tidak rahasia" itu diunggah
di laman khusus NSA dari The George Washington University yang berisi
pesan-pesan telegram dari Kantor Kedutaan AS di Jakarta pada saat itu.
Di laman tersebut, terdapat unggahan sebanyak 39 dokumen telegram
yang menunjukkan pesan dari para diplomat Amerika Serikat di Jakarta.
Pesan itu mencatat, pemimpin kelompok PKI telah dieksekusi disertai
dukungan dari pejabat Amerika Serikat terhadap upaya pasukan Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) untuk menghancurkan gerakan buruh
yang tersisa di Indonesia pada saat itu.
Sebanyak 30.000 halaman arsip yang diunggah NSA tersebut merupakan
catatan harian para diplomat Amerika Serikat di Jakarta sejak 1964-1968,
yang telah diklasifikasikan guna menanggapi permintaan pegiat HAM di
Amerika Serikat dan Indonesia akan peristiwa 1965.
Pemerintah tidak perlu terganggu dokumen Amerika Serikat
Minggu, 22 Oktober 2017 19:23 WIB