Gorontalo, (Antara News) - Sejumlah warga kecamatan Atinggola, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo, mulai meminati usaha arang tempurung atau sisa dari batok kelapa yang sudah diolah menjadi bara api kering, guna mengisi penghasilan keluarga.
Warga Desa Pinontoyonga, Kecamatan Atinggola, Atasi (42), Senin, mengatakan telah memulai usaha arang tempurung sejak tiga tahun silam. Pengetahuan tentang usaha itu didapatnya sejak di daerah rantau.
"Saya belajar dari Buol, Provinsi Sulawesi Tengah. Dari sana saya memulainya mempraktikan usaha itu di kampung sendiri," katanya.
Ia mengatakan, bahan baku tempurung (batok kelapa) dibelinya langsung kepada masyarakat, yakni pengambilan dalam satu karung penuh dihargai Rp20 ribu.
Hingga menjadi arang tempurung, Atasi mengaku diolahnya secara mandiri. Ilmu pengolah dari tempurung menjadi arang tempurung diakuinya memang membutuhkan keahlian tersendiri.
"Jika tidak tahu, maka tempurung akan menjadi abu, sehingga tidak bernilai rupiah. Butuh teknik khusus. Tempurung juga harus selalu dikontrol agar tidak menjadi abu," katanya.
Setelah jadi, ia mengaku akan mengirim hasilnya langsung ke pedagang pengumpul yang ada di Kabupaten Buol, dengan harga Rp5.500/kilogram.
Namun yang menjadi kendala yang dihadapi Atasi adalah kurangnya tenaga pengupas tempurung kelapa. Atasi bahkan mendatangkan para pengupas dari Kabupaten Gorontalo.
"Kalau bahan baku banyak di sini. Hanya saja kendala utamanya orang kerja atau pengupas buah kelapa untuk ambil tempurungnya. Kalau tenaga lokal hanya mampu mengupas 100 buah dalam sehari, namun dari luar daerah bisa mencapai 200 buah," tutupnya.
Sementara itu, Diana, salah seorang pedagang rumah makan mengaku sering membeli arang tempurung untuk usaha dagangan makanan, karena arang tempurung digunakan sebagai bara api untuk membakar ikan dan memasak kebutuhan lainnya.
"Kami sering beli arang tempurung, karena membakar ikan laut atau sate butuh arang tempurung," katanya.