Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemilihan Umum harus bekerja keras mengembalikan kepercayaan publik pasca-operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap anggota KPU RI Wahyu Setiawan.
Kerja keras ini bukan perihal mudah mengingat KPU akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah serentak pada tanggal 23 September 2020.
Di samping persoalan yang mungkin timbul dalam penyelenggaraan pilkada, mulai dari tahapan hingga pelaksanaanya, kini KPU seolah harus membuka lembaran baru memupuk kembali optimisme publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu.
OTT lembaga antirasuah terhadap Wahyu Setiawan atas dugaan menerima suap seakan menjadi pukulan berat bagi KPU RI.
Tidak bisa dipungkiri, OTT tersebut membuat publik pesimistis terhadap kinerja penyelenggara pemilu, tidak hanya di pusat, bahkan hingga daerah.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai OTT menimbulkan anggapan miring publik. Bila anggota KPU RI bisa melanggar kode etik, hal serupa bisa juga terjadi dengan KPU daerah.
Kendati demikian, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research & Consulting, Pangi Chaniago yakin KPU dapat melewati masa sulit dan krisis kepercayaan pasca-OTT tersebut.
Pangi mengajak publik berpikir jernih bahwa masih banyak orang baik di dalam jajaran institusi KPU yang mampu menahan diri dari godaan suap dan perilaku jual beli suara yang sangat rawan bisa terjadi pada jajaran KPU di seluruh Indonesia.
Memulihkan kepercayaan publik adalah satu-satunya jalan bagi KPU RI dalam menyikapi kasus OTT tersebut. Kepercayaan publik menjadi salah satu tolok ukur legitimasi KPU dalam menyelenggarakan pemilu.
Jika pemilu diselenggarakan saat KPU kehilangan kepercayaan publik, legitimasi dari hasil pemilihan kepala daerah juga bisa jadi bermasalah.
Pangi mengajak seluruh elemen kembali aktif menyuarakan dan mengingatkan jajaran penyelenggara pemilu, mulai dari KPU kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat, untuk menahan diri dan tidak mencoba-coba masuk ke pusaran korupsi.
Di sisi lain, seluruh elemen bangsa juga perlu terus menyuarakan narasi optimisme terhadap kinerja KPU guna menyukseskan pesta demokrasi Pilkada 2020 dan pemilu-pemilu berikutnya.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menegaskan bahwa kasus dugaan suap yang melibatkan anggota KPU RI WS tidak boleh serta-merta dianggap sebagai sebuah kebobrokan KPU secara institusi.
Feri mengajak publik berpikir jernih dengan melihat kasus OTT Wahyu Setiawan sebagai sebuah pelanggaran yang dilalukan individu atau oknum.
Meski demikian diakuinya akan sulit menghindari dampak negatif dari perspektif publik terhadap KPU saat ini.
Feri juga senada dengan Pangi atas perlunya upaya mengembalikan kepercayaan publik oleh KPU.
Adapun caranya, menurut Feri, jajaran KPU perlu mulai menyampaikan upaya membangun sistem integritas penyelenggara pemilu.
Sistem itu bisa dipikirkan oleh KPU dengan menerima masukan dari seluruh elemen terkait, baik pemerintah, masyarakat sipil, maupun lembaga swadaya masyarakat, tidak terkecuali parlemen. Tujuan akhirnya adalah mengembalikan kepercayaan publik.
Evaluasi UU Kepemiluan
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyampaikan kasus OTT KPK terhadap Wahyu Setiawan makin memperkuat alasan pentingnya mengevaluasi undang-undang kepemiluan.
Perludem menyampaikan salah satu muara dari catatan-catatan perbaikan terhadap penyelenggaraan pemilu adalah melakukan perbaikan terhadap regulasi atau kerangka hukum pemilu.
Saat ini, menurut Perludem, undang-undang yang berkaitan dengan kepemiluan terserak di tiga undang-undang, yakni undang-undang pemilu, undang-undang pilkada, dan undang-undang tentang partai politik.
Untuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 pembentuk undang-undang sudah memasukkan undang-undang pemilu sebagai proyeksi prioritas yang akan dituntaskan tahun ini. Paling tidak, pada tahun 2020, UU Pemilu mulai akan dibahas.
Perludem memandang langkah ini patut diapresiasi sehingga undang-undang pemilu dapat dibahas di awal masa jabatan agar selesai lebih cepat.
Jika undang-undang dapat diselesaikan lebih cepat, sosialisasi dan simulasi terhadap penerapan undang-undang juga akan lebih matang disiapkan.
Oleh sebab itu, pembahasan undang-undang kepemiluan mesti segera dimulai. Namun, tidak hanya membahas undang-undang pemilu, tetapi sinkorisasi dan penataannya juga mesti dibarengkan dengan UU Pilkada dan UU Partai Politik.
Langkah ini akan sangat menentukan, keseriusan pembentuk undang-undag untuk menghentikan diharmonisasi antarregulasi kepemiluan, dan juga membuktikan keseriusan pembentuk undang-undang untuk menguatan kerangka hukum demokrasi Indonesia.
Dalam pengaturan UU Pemilu ini, evaluasi terhadap lembaga penyelenggara pemilu mesti menjadi perhatian serius.
Penangkapan Wahyu Setiawan dalam kasus suap dari salah satu kader partai politik terkait dengan pengurusan pergantian antarwaktu (PAW), menurut Perludem, membuktikan sistem penjaga intergitas di lembaga penyelenggara pemilu tidak berjalan.
Oleh sebab itu, menurut Perludem, pembahasan UU Pemilu nanti mestinya memfokuskan evaluasi total terhadap lembaga penyelenggara pemilu, mulai dari proses seleksi, tata kelola lembaga, termasuk pengaturan prinsip terhadap standar etik dan batasan perilaku yang lebih ketat dan efektif untuk mencegah lembaga penyelenggara pemilu kembali terjerembab kepada praktik suap.
Selain itu, Perludem mencermati sepanjang rangkaian penyelenggaraan Pemilu 2019 telah terjadi sejumlah distorsi atas konsistensi melaksanakan sistem pemilu yang berlaku.
Distorsi ini terjadi akibat lahirnya putusan pengadilan yang mengorosi dan tidak sejalan dengan substansi sistem pemilu proporsional terbuka yang berlaku.
Contohnya, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 520/Pdt.Sus.Parpol/2019/PN JKT.SEL, yang menjadi basis melenggangnya Mulan Jameela dan yang lainnya ke Senayan.
Selain itu Putusan Mahkamah Agung No. 57 P/HUM/2019, yang menjadi pangkal mula polemik berujung OTT KPK atas Wahyu Setiawan.
Berdasarkan pengamatan Perludem, distorsi atas sistem pemilu ini berbahaya, melemahkan suara rakyat, dan menjadi bagian dari rangkaian tindakan koruptif.
Perludem juga meminta pengaturan pemilu dan pilkada dilakukan dalam satu naskah yang terkodifikasi (Kodifikasi Undang-Undang Pemilu atau Omnibus Election Law), sehingga tidak lagi tercerai-berai yang berakibat pada tumpang-tindih dan tidak konsistennya pengaturan norma pemilihan.
Selain menyulitkan penyelenggara dan bermasalah dalam kepastian hukum, hal itu juga menjadi pendidikan politik yang kurang baik bagi pemilih dan para pihak.