Jakarta (ANTARA) - Ketahanan pangan di perkotaan merupakan isu yang semakin penting seiring dengan pertumbuhan populasi kota yang pesat dan tantangan global seperti perubahan iklim, urbanisasi, dan ketidakstabilan ekonomi.
Kegiatan yang dilaksanakan untuk mengatasi ketahanan pangan di perkotaan hendaknya memperhatikan aspek berkelanjutan karena sumber daya alam dan lingkungan memiliki daya dukung yang terbatas.
Keberlanjutan di sini berarti usaha yang dapat memelihara pada suatu saat atau tahap yang diharapkan.
Urban farming atau pertanian perkotaan telah menjadi salah satu solusi inovatif dan berkelanjutan untuk mengatasi tantangan ketahanan pangan di wilayah perkotaan yang padat penduduk.
Urban farming adalah kegiatan untuk memanfaatkan ruang terbuka menjadi lahan hijau untuk menghasilkan produk tanaman pertanian.
Manfaat Urban farming di antaranya membantu meningkatkan penghijauan kota, menjaga ketahanan pangan, meningkatkan kesehatan, dan meningkatkan hubungan sosial antara pegiatnya.
Ketika manfaat tersebut sudah dapat dicapai, maka dapat mengurangi ketergantungan pada pasokan pangan dari luar kota atau bahkan luar negeri.
Lokasi yang biasanya digunakan sebagai area tanam dalam Urban farming dengan memanfaatkan ruang-ruang terbatas di kota, seperti atap gedung, balkon, halaman, taman kota, dinding vertikal, sekolah/kampus, kawasan pemukiman, ruangan, daerah pinggiran kota, dan sungai.
Dalam memilih lokasi yang akan digunakan untuk bertani, hendaknya memperhatikan beberapa faktor yang menjadi syarat untuk budidaya tanaman yaitu akses cahaya matahari, akses air, akses tanah, aksesibilitas dalam hal perawatan tanaman dan tentu saja izin dan regulasi apabila hendak menggunakan ruang publik.
Dalam hal budidaya tanaman, masyarakat kota dapat menanam berbagai jenis tanaman pangan seperti sayuran, buah-buahan, atau tanaman herbal yang dapat langsung dikonsumsi.
Hal ini tidak hanya mengurangi biaya transportasi dan emisi karbon, tetapi juga memberi akses yang lebih mudah kepada masyarakat perkotaan terhadap pangan yang sehat dan bergizi.
Urban farming secara signifikan memberikan kontribusi terhadap ketahanan pangan yang lebih berkelanjutan dengan mengurangi pemborosan dan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya.
Misalnya, metode pertanian seperti hidroponik atau aquaponik yang bisa diterapkan di area terbatas menggunakan sedikit air dan tanpa tanah.
Pendekatan ini sangat cocok dengan keterbatasan ruang dan sumber daya yang sering ditemukan di kota-kota besar.
Kontribusi Positif
Urban farming juga bisa memanfaatkan limbah organik rumah tangga sebagai pupuk atau bahan baku kompos, yang mengurangi limbah dan memberikan solusi terhadap masalah sampah.
Pada sisi sosial kemasyarakatan, Urban farming memberikan kontribusi positif.
Kegiatan bertani di kota memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses produksi pangan, mengedukasi diri mereka mengenai pola makan sehat, serta membangun komunitas yang lebih kuat dan peduli terhadap lingkungan.
Misalnya, taman komunitas atau kebun kota dapat menjadi ruang sosial di mana orang berkumpul, berbagi pengetahuan, dan meningkatkan rasa kebersamaan.
Secara teknis, apabila hendak melakukan Urban farming, ada beberapa metode yang akan saya ulas secara singkat untuk memberikan gambaran dalam pelaksanaannya.
Metode Urban farming yang saat ini umum diterapkan yaitu pertanian atap (rooftop farming) yaitu memanfaatkan bagian atap bangunan untuk menanam tanaman, baik dalam pot, bedengan maupun hidroponik; pertanian vertikal (vertical farming) yaitu menanam tanaman secara bertingkat menggunakan rak atau dinding vertikal yang dilakukan dengan sistem hidroponik atau aeroponik; dan hidroponik yaitu menanam tanpa tanah dengan menggunakan nutrisi yang dilarutkan.
Selain itu juga akuaponik, yaitu kombinasi antara hidroponik dan budidaya ikan. Pada akuaponik limbah ikan digunakan sebagai nutrisi tanaman dan tanaman berfungsi menyaring air untuk ikan; pertanian dalam ruangan (indoor farming) yaitu menanam tanaman di dalam ruangan dengan kontrol lingkungan; pertanian pekarangan (home gardening) yaitu bercocok tanam dengan memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam tanaman, dapat dilakukan dengan menggunakan pot, polybag, atau langsung di tanah;
Kemudian kebun komunitas (community garden) yaitu lahan yang dikelola secara kolektif untuk kegiatan pertanian; pertanian kontainer (container farming) yaitu menggunakan kontainer bekas yang telah dimodifikasi untuk budidaya tanaman; kebun mikro (micro farming) yaitu pertanian dengan ruang yang sangat terbatas yang digunakan untuk menanam tanaman cepat tumbuh seperti microgreens atau herba.
Setiap metode urban farming memiliki kelebihan dan tantangan tersendiri sesuai dengan kondisi lingkungan, ketersediaan sumberdaya dan tujuan budidaya tanaman.
Untuk memperoleh gambaran urban farming yang telah dilakukan, implementasi urban farming di Jakarta dapat menjadi contoh.
Kota Jakarta dipilih karena merupakan salah satu kota yang telah menuangkan kebijakan urban farming ke dalam Instruksi Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan Pertanian Perkotaan.
Kebijakan ini mendorong warga Jakarta untuk memanfaatkan lahan terbatas, seperti atap gedung, balkon, atau pekarangan rumah, untuk menanam sayuran, buah, atau tanaman herbal.
Selain itu, program ini juga melibatkan komunitas lokal, sekolah, dan sektor swasta, sehingga menciptakan ekosistem yang kolaboratif.
Kebijakan ini terus dijaga sampai saat ini, ketika pada 6 Maret 2025 Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta terpilih, Pramono Anung dan Rano Karno, melakukan kunjungan ke Kampung Susun Bayam untuk mengintegrasikan urban farming di JIS.
Beberapa Tantangan
Sayangnya, implementasi kebijakan urban farming di Jakarta masih menghadapi beberapa tantangan. Pertama, kesadaran masyarakat tentang pentingnya urban farming masih terbatas.
Banyak warga yang belum memahami manfaat jangka panjang dari kegiatan ini, baik dari segi ekonomi, kesehatan, maupun lingkungan.
Kedua, infrastruktur pendukung, seperti akses terhadap bibit, pupuk organik, dan pelatihan teknis, belum merata.
Ketiga, keterbatasan lahan di Jakarta seringkali menjadi kendala utama, terutama bagi masyarakat yang tinggal di apartemen atau rumah susun.
Untuk mengoptimalkan kebijakan urban farming, pemerintah DKI Jakarta perlu melakukan beberapa langkah strategis.
Pertama, sosialisasi dan edukasi tentang urban farming harus ditingkatkan melalui kampanye media sosial, workshop, dan kerja sama dengan influencer atau tokoh masyarakat.
Kedua, pemerintah dapat menyediakan insentif, seperti subsidi bibit atau peralatan pertanian, untuk mendorong partisipasi aktif warga.
Ketiga, kolaborasi dengan sektor swasta dan lembaga pendidikan perlu diperkuat untuk menciptakan inovasi teknologi pertanian perkotaan, seperti hidroponik atau vertikultur, yang lebih efisien dalam penggunaan lahan.
Urban farming bukan hanya tentang menanam tanaman, tetapi juga tentang membangun ketahanan pangan yang berkelanjutan.
Dengan kebijakan yang tepat dan dukungan dari semua pihak, Jakarta dapat menjadi contoh bagi kota-kota lain di Indonesia dalam mengimplementasikan urban farming sebagai solusi jangka panjang untuk ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan.
*) Penulis adalah Dekan Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: "Urban Farming", solusi berkelanjutan untuk ketahanan pangan perkotaan