Jakarta (ANTARA) - Donald Trump bukan sekadar politisi. Ia adalah fenomena ekonomi. Saat ia menaikkan tarif impor, dunia seolah oleng menuju arah yang tak pasti.
Pasar saham bereaksi instan. Indeks utama tergelincir, investor panik, dan kapitalisasi pasar menguap miliaran dolar hanya dalam hitungan jam.
Ini bukan soal proteksionisme. Bukan pula soal neraca dagang. Ini soal bagaimana keputusan politik bisa menciptakan peluang finansial luar biasa bagi segelintir orang yang tahu cara bermain.
Di balik narasi nasionalisme ekonomi, tersembunyi sebuah mesin besar bernama financial engineering, dan Trump, entah bagaimana, tahu persis cara mengendalikannya.
Ketika tarif diumumkan naik, efeknya langsung terasa. Pasar gonjang-ganjing, harga saham menukik. Namun, dalam kekacauan itu, para pemain lama, yang dekat dengan pusat keputusan, bergerak senyap.
Mereka masuk ke lantai bursa dengan dompet terbuka. Menyapu saham-saham murah dari tangan investor yang panik menjual. Tak lama kemudian, Trump mengumumkan penundaan tarif selama 90 hari.
Alasan resminya, memberi waktu untuk negosiasi. Alasan sebenarnya? Mungkin tidak akan pernah diumumkan. Tapi yang jelas, pasar langsung melonjak.
Saham-saham yang sempat diborong itu kini mendatangkan cuan dalam jumlah yang tak masuk akal.
Lihat saja angkanya. Pada Jumat, 5 April 2025, tak lama setelah kebijakan tarif diumumkan, Bloomberg Billionaires Index sempat mencatat, orang-orang terkaya dunia kehilangan 208 miliar dolar AS (sekitar Rp3,48 kuadriliun) hanya dalam sehari, kerugian harian terbesar keempat sejak indeks itu diluncurkan 13 tahun lalu.
Namun, tak butuh waktu lama untuk membalik keadaan. Para taipan di sirkel Trump yang sempat “terpukul” justru bangkit, bahkan melesat.
Broker terbesar di AS, Charles Schwab, misalnya. Menurut sejumlah analisis, kekayaannya bertambah sekitar 12,6 miliar dolar AS. Nama-nama lain seperti pebisnis otomotif Roger Penske diduga mengantongi lebih dari 5,6 miliar dolar AS. Sementara Elon Musk? Ia disebut-sebut meraup 36 miliar dolar hanya dalam sepekan.
Data dari Chicago Mercantile Exchange juga menunjukkan bahwa pada puncak krisis saham tersebut, dana keluarga Trump memegang opsi jual Nasdaq senilai 38 juta dolar AS.
Di saat bersamaan, beredar spekulasi bahwa menantu Trump, Jared Kushner, melalui dana investasi Affinity, mengantongi lebih dari 5 juta dolar dari aksi short selling saham-saham teknologi seperti Apple dan Tesla.
Angka-angka ini melampaui Produk Domestik Bruto sejumlah negara kecil. Pertanyaannya: apakah ini sekadar keberuntungan? Ataukah skenario yang dirancang dengan presisi?
Beberapa analis menilai ini bukan lagi soal intuisi bisnis, tapi soal akses pada informasi dan momentum. Mereka mengambil untung dari kejatuhan pasar, dan tahu persis kapan harus masuk, kapan harus keluar.
Senator Elizabeth Warren dari Massachusetts dengan lantang mengecam melalui pernyataannya kepada media.
Ia mendesak Komisi Sekuritas dan Bursa AS menyelidiki kemungkinan keterlibatan Trump dalam manipulasi pasar untuk menguntungkan para donatur Wall Street.
Ia menyoroti bahwa kebijakan tarif Trump yang berubah-ubah membuka celah bagi orang dalam untuk meraup untung besar. Sementara rakyat biasa, pelaku usaha kecil, justru jadi korban dari ketidakpastian ekonomi yang diciptakan.
Ekonomi Berbasis Narasi
Fenomena ini menunjukkan bahwa ekonomi modern bukan lagi ditopang oleh produksi barang, tapi oleh narasi dan momentum. Siapa yang menguasai informasi, dia menguasai pasar.
Trump bukan investor. Tapi ia tahu, satu pernyataan bisa mengguncang indeks. Ketika ia menekan tombol tarif, itu bukan sekadar sinyal perang dagang. Itu juga isyarat bagi para miliarder untuk, "Atur portofoliomu sekarang."
Dan ketika ia menarik ancamannya, itu bukan semata gestur diplomatik. Itu sinyal rebound. Seolah berkata, “Sekarang waktunya panen.”
Beginilah kerja sektor FIRE (Finance, Insurance, and Real Estate). Tidak ada pabrik yang dibangun. Tidak ada barang dikapalkan. Tak ada tenaga kerja tambahan. Tapi uang mengalir deras ke satu arah.
Ini bukan ekonomi Adam Smith. Ini ekonomi ala Machiavelli yang berbasis kekuasaan, strategi, dan manipulasi persepsi.
Dalam sistem ini, defisit perdagangan barang tak jadi soal. Asalkan sektor jasa, terutama keuangan, mencatat surplus. Uang tidak lagi diciptakan dari produksi, melainkan dari spekulasi.
Bloomberg bahkan menulis bahwa pekan ini terasa “menyegarkan” bagi para miliarder AS. Tentu saja. Saat dunia gemetar, mereka justru menghangatkan tangan di api yang mereka bantu nyalakan. Ini bukan konspirasi melainkan lebih pada sebuah sistem.
Trump hanyalah operatornya. Dalam satu gerakan, ia bisa menjatuhkan dan mengangkat pasar. Dalam satu kalimat, ia bisa membuat rakyat kehilangan dana pensiun, sementara para taipan menambahkan nol di rekening mereka.
Model ini bukan monopoli Amerika. Dunia kini bergerak menuju ekonomi berbasis narasi. Saham teknologi bisa melonjak hanya karena satu presentasi. Mata uang bisa hancur karena satu cuitan. Tarif perdagangan kini lebih seperti kartu remi dalam permainan, bukan alat kebijakan struktural.
Menggerakkan Sentimen
Ketika negara-negara bicara soal pembangunan industri, Amerika menunjukkan bahwa mereka tak butuh pabrik untuk tetap jadi adikuasa. Cukup kendalikan sektor jasa dan sentimen global.
Pihak yang rugi adalah mereka yang masih percaya ekonomi itu rasional. Bahwa pasar bekerja adil. Padahal, pasar lebih mirip panggung teater. Dan Trump? Ia adalah sutradaranya.
Ia tahu kapan harus mengangkat tirai, kapan menggertak, dan kapan menutup panggung dengan tepuk tangan. Penonton hanya pelengkap. Sementara pemain utamanya menari di atas miliaran dolar dari ketidakpastian.
Mungkin inilah wajah kapitalisme abad ke-21. Bukan lagi soal menciptakan nilai, tapi soal menguasai momen. Bukan soal produksi, tapi soal mengatur waktu.
Karena dalam sistem seperti ini, bukan pemerintah yang mengendalikan pasar. Tapi pasar yang menciptakan kebutuhan agar pemerintah terus membuat kekacauan yang bisa diperdagangkan.
Trump menunjukkan, seorang presiden bisa jadi alat pengungkit kekayaan bagi segelintir orang. Ia akan dikenang bukan karena tarif atau perang dagangnya, tapi karena satu hal, ia membuktikan di zaman ini, kekuatan tak lagi ada di tangan buruh atau pengusaha, melainkan pada mereka yang tahu cara menggerakkan sentimen.
Sementara publik ribut soal inflasi dan harga pangan, para taipan bersulang di penthouse mereka. Mereka tak peduli pada barang. Mereka hanya peduli pada momentum. Karena dalam dunia seperti sekarang ini, satu hal yang harus mereka kuasai hanyalah “waktu”.
Waktu untuk menggertak. Waktu untuk menunda. Waktu untuk panen. Mereka yang tahu waktunya, sudah pasti akan selalu menang.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Memahami alur pikir Trump, kacaukan pasar hingga untungkan miliarder