Jakarta (ANTARA) - Ketika sebuah toko ritel lokal yang berdiri sejak puluhan tahun silam masih tetap bertahan dan bahkan tumbuh di tengah lanskap ekonomi yang berubah cepat, pasti ada sesuatu yang menarik untuk dicermati.
Fenomena toko ritel ini bukan soal keberuntungan atau sekadar loyalitas pelanggan lama. Ini adalah tentang kemampuan membaca zaman dan mengelola relasi ekonomi dengan cara yang tidak banyak lagi dilakukan para pemain ritel masa kini.
Di tengah tekanan dari e-commerce global, shifting perilaku konsumen, dan naik-turunnya daya beli rumah tangga, keberlangsungan usaha, seperti toko ritel lokal, menunjukkan bahwa ekosistem ekonomi lokal bisa tetap relevan, bahkan berkembang, jika dikelola dengan visi yang tepat.
Salah satunya yang layak untuk dicermati, misalnya toko ritel perabotan legendaris KJ Perabot yang pertama kali buka pada 1973.
Ardi Arahman, Direktur Utama PT Karya Jaya Sembilan Bersaudara, mengatakan usahanya membangun ekosistem bisnis dengan melibatkan UMKM, sehingga bisa terus berkelanjutan.
Selain itu, transformasi besar juga dilakukan sejak 2016 dengan menghadirkan konsep ritel modern. Interior toko yang tertata apik dan ribuan produk yang tersaji rapi menjadikan toko ini sebagai "surga belanja" bagi kaum urban, terutama perempuan yang menyukai dekorasi rumah berestetika tinggi juga kaum Gen Z.
Melihat antusiasme pelanggan, usaha itu pun memperluas layanannya dengan membuka cabang baru di Jakarta Selatan.
Outlet ini mengusung kombinasi gaya etnik dan modern yang semakin memperkuat identitas toko yang bukan hanya menjual produk, tapi juga menyuguhkan pengalaman berbelanja yang inspiratif.
Seiring dengan dikembangkannya pemesanan daring di platform resmi mereka, termasuk website dan akun Instagram.
Faktanya memang selama beberapa dekade terakhir, wacana pembangunan ekonomi nasional terlalu banyak menitikberatkan pada sektor industri besar dan ekspor.
Padahal, denyut ekonomi lokal justru hidup dan bergerak dalam skala yang lebih kecil, namun sangat signifikan, toko kelontong, perajin furnitur, warung makan, kios elektronik, dan unit-unit usaha yang menjadi bagian dari keseharian masyarakat.
Simpul sosial-ekonomi
Dalam struktur ekonomi seperti ini, toko ritel bukan hanya tempat transaksi, melainkan simpul jaringan sosial dan ekonomi.
Mereka menjadi perantara antara produksi dan konsumsi, antara pelaku UMKM dan kebutuhan rumah tangga, antara aspirasi hidup estetik generasi muda dan realitas keterbatasan ruang urban.
Transformasi yang terjadi dalam dunia ritel bukan sekadar perubahan cara belanja dari luring ke daring, tapi juga ada pergeseran nilai yang diharapkan konsumen.
Generasi muda, terutama Gen Z, memiliki kepekaan terhadap nilai estetika, cerita di balik produk, dan keberlanjutan.
Mereka tidak hanya membeli karena butuh, tapi karena ingin merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, entah itu dukungan terhadap produk lokal, komitmen lingkungan, atau narasi budaya.
Di sinilah toko-toko yang mampu mengurasi pengalaman dan bukan sekadar barang dagangan mendapat tempat yang istimewa.
Hanya saja, tantangan bagi sektor ritel bukan hanya perubahan selera konsumen. Ada hal-hal struktural yang lebih besar, persaingan harga dengan platform global, naiknya harga bahan baku, biaya distribusi yang makin mahal, dan ketergantungan pada logistik nasional yang belum sepenuhnya efisien.
Dalam konteks ini, toko ritel yang masih bertahan cenderung memiliki kekuatan pada aspek jaringan, fleksibilitas pasokan, dan relasi sosial yang tidak dimiliki oleh platform besar.
Kemampuan untuk menjalin kerja sama langsung dengan pelaku UMKM, memberikan ruang pada produk lokal, serta menciptakan ekosistem bisnis yang berakar pada komunitas menjadi modal sosial dan ekonomi yang sulit ditiru oleh model bisnis digital murni.
Model seperti ini menawarkan gagasan baru bahwa keberhasilan bisnis tidak harus datang dari skala yang besar atau ekspansi agresif.
Justru di tengah krisis kepercayaan pada korporasi raksasa dan rasa lelah terhadap dominasi algoritma, usaha yang memiliki sentuhan personal dan lokal menjadi pilihan rasional sekaligus emosional.
Nilai-nilai lokal
Dalam ruang seperti inilah, toko-toko seperti KJ Perabot bisa menjadi studi kasus tentang bagaimana ritel bertahan dan bertransformasi bukan dengan melawan zaman, tetapi dengan merangkulnya sambil tetap berpijak pada nilai-nilai lokal.
Ada pelajaran penting di sini, terutama bagi para perancang kebijakan ekonomi. Terlalu lama bangsa ini membicarakan UMKM, seolah-olah mereka adalah objek yang harus dibantu, bukan subjek yang punya kekuatan membentuk pasar jika diberikan ruang yang adil.
Padahal, UMKM bukan sekadar sektor informal yang menunggu subsidi. Mereka adalah penggerak ekonomi yang adaptif, kreatif, dan mampu mengisi celah pasar yang sering diabaikan oleh pelaku besar.
Dukungan terhadap sektor ini seharusnya tidak berhenti pada retorika atau bantuan sesaat, melainkan berupa kebijakan yang menciptakan kesetaraan akses, perlindungan dari dominasi pasar besar, serta insentif yang memperkuat ekosistem bisnis lokal.
Ketika pemerintah berbicara tentang hilirisasi ekonomi, seharusnya bukan hanya bicara soal nikel dan tambang, tapi juga tentang furnitur, kerajinan, tekstil, makanan olahan, dan produk-produk berbasis komunitas yang bisa naik kelas jika difasilitasi dengan infrastruktur pasar yang sehat.
Salah satu simpul penting dalam hilirisasi ini adalah toko ritel, yang menjadi titik temu antara pelaku produksi kecil dan pasar konsumen luas. Ritel yang sehat dan berpihak pada produk lokal bisa menjadi ujung tombak dari industrialisasi berbasis rakyat,, bukan hanya kapital.
Di sisi lain, konsumen juga punya peran besar. Kesadaran untuk memilih produk lokal, menghargai karya perajin, dan mendukung bisnis yang memiliki nilai sosial akan mendorong perubahan lanskap pasar.
Pilihan belanja bukan lagi sekadar urusan harga termurah, tetapi juga pernyataan nilai. Di masa depan, toko-toko yang berhasil menciptakan ruang belanja yang nyaman, penuh cerita, dan memiliki nilai tambah sosial akan memiliki daya saing yang tidak kalah kuat dibandingkan platform daring dengan jutaan katalog.
Apa yang dilakukan oleh para pelaku ritel lokal bukan hanya soal bisnis, tapi soal perlawanan terhadap dominasi tunggal sistem ekonomi global.
Mereka membuktikan bahwa ekonomi bisa tetap manusiawi, berbasis relasi sosial, dan memberikan tempat bagi kreativitas lokal untuk tumbuh.
Seseorang hanya perlu lebih sering melihat ke bawah, bukan ke atas, untuk menemukan arah baru dalam pembangunan ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Rahasia toko ritel bertahan di tengah budaya belanja daring