Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan industri wastra atau kain yang berunsur budaya Indonesia berpotensi untuk terus tumbuh dan semakin diminati konsumen lokal dan internasional, mengingat produknya seperti batik, tenun, dan songket, dianggap mampu merespons kebutuhan fesyen yang ramah lingkungan.
"Wastra Nusantara hadir bukan hanya sebagai produk budaya, melainkan juga sebagai solusi. Proses pembuatannya yang sarat nilai kearifan lokal, penggunaan bahan alami, serta filosofi yang terkandung di dalamnya, menjadikan wastra sangat sejalan dengan konsep slow fashion, yakni fesyen yang menekankan kualitas, keberlanjutan, dan keadilan bagi setiap pihak,” kata Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kemenperin Reni Yanita di Jakarta, Selasa.
Guna meningkatkan pengetahuan dan implementasi pelaku industri wastra pada konsep keberlanjutan yang ramah lingkungan, pihaknya menjalin kerja sama dengan Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) untuk menggelar webinar dengan tema Cinta Wastra Nusantara: Peran IKM Wastra dalam Fesyen Berkelanjutan pada 16 April 2025.
Kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian acara Road to HUT Dekranas ke-45 yang telah diresmikan oleh Ketua Harian Dekranas pada 11 Maret 2025 yang lalu.
Reni menyampaikan, Kemenperin dan Dekranas memberikan perhatian khusus terhadap industri wastra di Indonesia, karena industri ini sangat erat dengan konsep berkelanjutan yang tengah digandrungi konsumen di pasar global.
“Kesadaran konsumen terhadap pentingnya perubahan gaya hidup dalam mendorong keberlanjutan lingkungan dan kondisi alam, mengarahkan pada tren slow fashion yang bertolak belakang dengan fast fashion,” kata dia.
Menurut Dirjen IKMA, tren fast fashion yang terjadi saat ini merupakan bagian dari gaya hidup pasar yang cepat, dinamis, serta kemudahan konsumen dalam mengakses informasi digital dan pasar online atau marketplace.
Perubahan ini juga menyebabkan kebiasaan membeli baju yang diproduksi secara massal, dengan bahan yang kurang ramah lingkungan, sehingga berdampak pada peningkatan limbah solid.
“Selain itu, saat ini industri fesyen dituntut untuk menjawab isu-isu keberlanjutan, yang merupakan dampak dari berbagai faktor yang saling terkait seperti ekonomi, lingkungan dan sosial. Arah gerak dunia kini tertuju pada fesyen yang tidak hanya memikat secara visual, namun juga bertanggung jawab secara ekologis dan etis,” kata Reni.
Lebih lanjut, Direktur IKM Kimia, Sandang dan Kerajinan Budi Setiawan menambahkan, konsep slow fashion menawarkan alternatif tren yang mengutamakan kualitas daripada kuantitas, produksi beretika, kelestarian lingkungan, produksi yang lebih lambat dan terencana, serta mempromosikan nilai etis dalam rantai pasok.
“Prinsip ini tidak hanya berdampak positif terhadap lingkungan dengan mengurangi limbah dan konsumsi energi, tetapi juga membantu memastikan bahwa para pekerja di sektor mode mendapatkan upah yang layak dan kondisi kerja yang adil,” ujarnya.
Di Indonesia, lanjut Budi, konsep slow fashion memiliki potensi besar untuk tumbuh, terutama dengan keberadaan perajin lokal dan penggunaan bahan baku alami yang kaya, seperti produk wastra yang meliputi tenun dan batik.
“Wastra, sebagai produk mode tradisional Indonesia, memiliki karakteristik yang sangat sesuai dengan prinsip slow fashion. Proses pembuatan wastra yang perlu ketelitian dan memakan waktu lama menjadikannya simbol kualitas dan keunikan yang mendukung keberlanjutan,” kata dia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kemenperin sebut industri wastra RI semakin diminati konsumen global