Jakarta (ANTARA) - Anggota DPRD DKI Jakarta Gilbert Simanjuntak menilai masyarakat dengan latar belakang ekonomi rendah cenderung mengabaikan protokol pencegahan COVID-19 karena mereka lebih mengutamakan bagaimana bisa bertahan hidup di kota Jakarta.
"Mereka kurang menyadari penularan COVID-19 karena yang dipikirkan bagaimana supaya hidup, bukan kualitas hidup," kata anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta tersebut dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa.
Karena hal tersebut, Gilbert menilai pernyataan Pemprov DKI Jakarta beberapa waktu lalu yang menganggap penularan COVID-19 mulai terkendali kurang tepat, pasalnya grafik penularan COVID-19 tetap tinggi di Jakarta.
"Grafik terus meninggi dengan angka absolut di atas 200 kasus per hari. Kasus ini terus bertambah, meski tidak secepat dari kasus di bulan Maret dan April lalu," ujar anggota Fraksi PDI Perjuangan tersebut.
Menurutnya, angka reproduksi (Rt) COVID-19 di Jakarta saat ini berada di bawah poin 1. Artinya, penularan COVID-19 di Jakarta tetap ada, hanya saja berkurang dibanding bulan Maret dan April lalu yang menembus angka 4.
Mulai berkurangnya kasus COVID-19 saat ini, karena kesadaran masyarakat dari ekonomi menengah dan atas cukup baik. Mereka mau memakai masker bila keluar rumah dan patuh terhadap pencegahan COVID-19 lainnya seperti menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan sebagainya.
"Lalu kenapa masih bertambah kasusnya? Itu adalah kelompok masyarakat bawah yang luput dari perhatian. Padahal masyarakat inilah yang sejak awal kurang disiplin memakai masker dan kurang tertib mengikuti protokol COVID-19," ujarnya.
"Angka kematian di kelompok ini sekitar lima persen, tidak berbeda dengan angka kematian secara nasional. Artinya, kekebalan dan daya tahan mereka tidak terbukti lebih baik," tutur mantan Wakil Rektor Akademik Universitas Kristen Indonesia (UKI) itu.
Gilbert mengatakan untuk mengedukasi warga ekonomi rendah terkait pencegahan COVID-19 tidaklah mudah, sehingga membutuhkan waktu panjang. Sekalipun bisa diedukasi, pemerintah daerah harus aktif melibatkan peran pejabat yang ada di wilayahnya sepert lurah, camat, dan sebagainya.
"Mendidik masyarakat di kelompok bawah haruslah menjadi fokus pencegahan, dan itu membutuhkan jangka waktu lama (persistensi) untuk mengubah kebiasaan mereka," ujarnya.
Karenanya, dia meminta kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan pengetahuan mengenai pencegahan COVID-19 bagi warga ekonomi rendah. Soalnya, peningkatan pemeriksaan spesimen di laboratorium tidak ada artinya untuk pencegahan.
"Menutup pasar juga hanya efektif sesaat, karena setelah itu masyarakat di pasar kembali lagi ke kebiasaan semula. Kelompok masyarakat menengah dan atas sudah mampu menjaga diri, tapi masyarakat kalangan bawah yang sulit dilakukan," ucapnya.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Provinsi DKI Jakarta menyampaikan perkembangan terkini per 6 Juli 2020. Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Dwi Oktavia memaparkan, terdapat penambahan jumlah kasus positif sebanyak 231 kasus.
Secara kumulatif kasus positif di wilayah DKI Jakarta sebanyak 12.526 kasus. Dari jumlah tersebut, 8.036 orang dinyatakan telah sembuh, sedangkan 659 orang meninggal dunia.
"Sampai dengan hari ini kami laporkan, 493 pasien masih menjalani perawatan di rumah sakit dan 3.340 orang melakukan isolasi mandiri di rumah. Sedangkan, untuk Orang Dalam Pemantauan (ODP) berjumlah 511 orang dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) sebanyak 731 orang," kata Dwi pada Senin (6/7) lalu.
Warga ekonomi rendah cenderung abai protokol COVID-19
Selasa, 7 Juli 2020 17:36 WIB