Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebutkan Indonesia membutuhkan 5,7 miliar dolar AS per tahun untuk mendanai transisi energi.
"Itu adalah kebutuhan dana yang sangat besar," ucap Sri Mulyani dalam diskusi The Role of Green Finance in Delivering Southeast Asia’s Sustainability Goals secara daring di Jakarta, Kamis.
Maka dari itu, ia menegaskan pembiayaan transisi energi tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah dan membutuhkan partisipasi sektor swasta.
Selama ini, pemerintah telah menggunakan seluruh instrumen fiskal untuk mendanai proyek hijau berkelanjutan.
Salah satunya, kata Sri Mulyani, yaitu melalui penerbitan obligasi hijau global yang dikombinasikan dengan prinsip syariah yang sudah cukup aman.
"Indonesia merupakan salah satu dari negara emerging market yang berhasil menerbitkan obligasi hijau global ini," katanya.
Dengan demikian, Menkeu menjelaskan setidaknya terdapat dua cara untuk memastikan akan adanya partisipasi sektor swasta.
Pertama, melalui pemapanan pasar karbon yang masih sangat baru di Indonesia dan saat ini sedang didiskusikan pemerintah dengan berbagai pihak, terutama mengenai pasar dan harga karbon sebagai instrumen transformasi kepada penggunaan emisi karbon yang lebih rendah, khususnya energi.
"Langkah ini akan sangat dibutuhkan agar kami bisa memasuki rezim perdagangan karbon, jadi pasar harus dikenalkan," ucap Sri Mulyani.
Kemudian yang kedua, lanjut dia, yakni melalui pengenalan performance based payment atau klasifikasi beban pungutan pajak yang akan dikenai kepada perusahaan, dengan bergantung banyaknya emisi yang dihasilkan dalam satu masa produksi.
"Dalam hal ini, kami sebenarnya baru saja berdiskusi dengan parlemen semalam, dan parlemen juga memberikan dukungan yang sangat kuat, dengan syarat kami memberikan peta jalan yang jelas menuju energi karbondioksida yang lebih rendah," ungkap Sri Mulyani.