Riset Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan RI
yang bekerja sama dengan World Health Organization (WHO) menunjukkan
bahwa angka kematian akibat infeksi resistensi atau kekebalan terhadap
antimikroba meningkat di Indonesia. Resistensi antibiotik tersebut
disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang tidak bijak.
Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan resistensi antibiotik adalah salah
satu masalah kesehatan global di dunia modern dan menjadi salah satu
tantangan terbesar dunia kesehatan.
Resistensi
antibiotik menyebabkan banyak kuman atau bakteri penyebab penyakit kini
tak mampu lagi disembuhkan dengan obat antibiotik biasa.
Namun sayangnya, banyak orang Indonesia yang tidak mengetahui keberadaan kuman resistensi dalam tubuh.
Asumsi kematian akibat kuman resistensi antibiotik di Indonesia menurut riset tersebut yaitu kurang lebih 130 ribu per tahun.
Belum
maksimalnya penanganan resistensi antibiotik di Indonesia diungkapkan
oleh Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA), dr. Hari
Paraton, Sp.OG(K) dalam seminar Cegah Resistensi Antibiotik Demi
Selamatkan Manusia di Balai Kartini, Jakarta, Rabu (5/8/2015).
"Penanganan
resistensi antibiotik di Indonesia memang belum maksimal. Hal ini
terjadi karena kurangnya data soal prevalensi kasus penyakit resisten
antibiotik di Indonesia."
Lebih lanjut ia
menjelaskan, antibiotik digunakan untuk mengobati penyakit yang
disebabkan infeksi kuman dan bakteri, seperti typhus dan disentri
amuba.
"Kalau penyakit karena infeksi kuman,
bakteri, harus pakai antiobiotik seperti typhus, disentri amuba. Tetapi
di dunia ini, 70 persen penyakit kan karena virus, biarkan saja
menderita panas dingin selama lima hari, paracetamol saja cukup, tidak
perlu pakai antibiotik," pungkasnya.
Di tempat
yang sama pewakilan WHO untuk Indonesia Dr Khancit Limpakarnjanarat
mengatakan bahwa resistensi antibiotik bisa dicegah.
Caranya tentu saja dengan mengubah kebiasaan berobat yang selama ini sangat tergantung kepada antibiotik.
"Meskipun
resistensi antibiotik merupakan masalah global, sesungguhnya ini dapat
dicegah. Mulai dari sekarang harus ada perubahan perilaku, yang tadinya
setiap berobat diresepkan antibiotik sekarang dikurangi."
Dijelaskan Dr Khancit bahwa penyebab munculnya resistensi antibiotik adalah mutasi bakteri atau kuman penyakit.
Mutasi ini terjadi karena dua hal, pertama adalah penyalahgunaan antibiotik dan kedua adalah penggunaan antibiotik berlebihan.
Karena itu menurut Dr Khancit dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Resistensi
antibiotik bukan hanya masalah milik pemerintah, dalam hal ini
Kementerian Kesehatan, namun dokter, organisasi profesi hingga
masyarakat juga harus terlibat.
Informasi
seputar antibiotik juga harus diberikan. Ditegaskannya bahwa proses
pengobatan bukan hanya soal bagaimana mengobati pasien yang sakit agar
sembuh, namun juga memberikan pengetahuan pada pasien agar penyakit
tidak datang kembali dan pasien tetap sehat.
"Harus
seimbang antara pengobatan dan pemberian informasi. Ketika informasi
soal hal ini cukup, masyarakat jadi semakin mengerti. Perilaku ini
membuat masyarakat menjadi lebih sehat dan tentunya akan sangat
bermanfaat bagi kesehatan masyarakat secara keseluruhan," pungkasnya.
Berita dan info kesehatan lainnya dapat dilihat lebih lanjut di www.depkes.go.id dan www.sehatnegeriku.com.