Jakarta (ANTARA) - Tidak ada keraguan sedikit pun ketika penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) menetapkan lima orang sekaligus sebagai tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi tata niaga timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015 hingga 2022.
Kelima tersangka itu berasal dari kalangan regulator dan swasta. Walau belum menyasar regulator di tingkat kementerian mengingat kerusakan lingkungan yang masif akibat penambangan timah ilegal, tiga tersangka yang ditetapkan merupakan pelaksana tugas (Plt.) dan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Bangka Belitung.
Para tersangka itu yakni SW selaku Kepala Dinas ESDM Provinsi Bangka Belitung periode 2015 sampai Maret 2018; BN selaku Plt. Kepala Dinas ESDM Provinsi Bangka Belitung periode Maret 2019, dan AS selaku Kepala Dinas ESDM Provinsi Bangka Belitung.
Adapun dua pihak swasta, adalah HL selaku beneficiary owner (pemilik manfaat) PT Tinido Inter Nusa (TIN) atau BO PT TIN: FL selaku marketing PT TIN. Kedua tersangka ini merupakan kakak beradik. HL merujuk pada Hendry Lie yang pernah diperiksa sebagai saksi pada 29 Februari 2024 dan Fandy Lingga.
Dari kelima tersangka tersebut, tiga langsung ditahan, yakni AS dan SW ditahan di Rutan Salemba Jakarta Pusat serta FL di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung. Tersangka BN tidak ditahan karena alasan kesehatan, sedangkan HL mangkir dari pemeriksaan saksi pada 27 April 2024, yang selanjutnya akan dipanggil pemeriksaan sebagai tersangka.
Dengan ditetapkannya lima orang tersebut, jumlah tersangka perkara megakorupsi penambangan timah ilegal ini mencapai 21 orang.
Sebanyak 6 orang sudah ditetapkan sebagai tersangka dari periode Januari sampai dengan Maret 2024, dimulai dari Toni Tamsil (TT) alias Akhi, adik Tamron Tamsil, ditetapkan sebagai tersangka perintangan penyidikan.
Kemudian 15 lainnya ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi, yakni Suwito Gunawan (SG) selaku Komisaris PT Stanindo Inti Perkasa (SIP) atau perusahaan tambang di Pangkalpinang, Bangka Belitung; MB Gunawan (MBG) selaku Direktur PT SIP; Tamron Tamsil alias Aon (TN) selaku beneficial owner atau pemilik manfaat dari CV Venus Inti Perkasa (VIP); Hasan Tjhie (HT) alias ASN selaku Direktur Utama CV VIP; Kwang Yung alias Buyung (BY) selaku mantan Komisaris CV VIP;
Selanjutnya, Achmad Albani (AA) selaku Manajer Operasional Tambang CV VIP; Robert Indarto (RI) selaku Direktur Utama PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS); Rosalina (RL) selaku General Manager PT TIN; Suparta (SP) selaku Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT); Reza Andriansyah (RA) selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT; Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) selaku Direktur Utama PT Timah 2016-2011; Emil Ermindra (EE) selaku Direktur Keuangan PT Timah 2017-2018; Alwin Akbar (ALW) selaku mantan Direktur Operasional dan mantan Direktur Pengembangan Usaha PT Timah.
Lalu dua tersangka yang cukup menarik perhatian publik, yakni Helena Lim (HLN) selaku manajer PT QSE yang dijuluki ‘crazy rich’ Pantai Indah Kapuk (PIK) dan Harvey Moeis (HM) selaku perpanjangan tangan dari PT RBT, suami dari artis Sandra Dewi.
Setelah 21 orang ditetapkan sebagai tersangka, Direktur Penyidik Jampidsus Kejaksaan Agung Kuntadi tidak ingin berandai-randai siapa lagi yang bakal terseret megakorupsi pertambangan timah ini, apakah termasuk pengusaha Robert Bonosusatyo (RBS) yang pernah diperiksa sebagai saksi pada 1 April 2024.
“Terkait dengan apakah ada nanti penetapan (tersangka) dan sebagainya, kami tidak dapat berasumsi atau berandai-andai. Ditunggu saja perkembangannya, sepanjang ada alat bukti yang cukup pasti kami mengambil tindakan,” kata Kuntadi.
Kepercayaan publik
Selain melibatkan tokoh publik dan pejabat pemerintahan maupun swasta, penanganan kasus dugaan megakorupsi PT Timah ini menjadi sorotan publik, setelah penyidik menetapkan suami Sandra Dewi, Harvey Moeis sebagai tersangka korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) tambang timah ilegal pada bulan Maret lalu.
Bahkan penyidik memanggil Sandra Dewi untuk dimintai keterangannya sebagai saksi pada 4 April 2024. Pemeriksaan Sandra Dewi berjalan selama 5 jam.
Penanganan korupsi timah ini turut meningkatkan kepercayaan publik terhadap kinerja Kejaksaan Agung dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Hasil jejak pendapat Indikator Politik Indonesia terbaru menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap Kejaksaan berada di angka 74,7 persen, mengungguli Mahkamah Konstitusi, pengadilan, Polri, juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Selain korupsi timah, kasus korupsi besar lainnya juga turut menjadi perhatian publik hingga menaruh kepercayaan besar terhadap Kejaksaan Agung, antara lain, kasus dugaan korupsi penggunaan dana pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang dilaporkan oleh Menteri Keuangan kepada Jaksa Agung dan kasus importasi gula.
Jauh sebelum itu, Kejaksaan Agung juga memimpin dalam mengungkap kasus-kasus big fish atau korupsi kelas kakap dengan nilai kerugian negara fantastis, seperti Asabri dengan kerugian Rp22,78 triliun dan korupsi Jiwasraya Rp16,807 triliun.
Kemudian korupsi lahan sawit oleh Duta Palma Grup dengan kerugian negara mencapai Rp104,1 triliun, dan korupsi eksportasi crude palm oil atau bahan baku minyak goreng yang melibatkan sejumlah perusahaan pengolah minyak sawit dengan kerugian negara Rp18 triliun.
Survei Indikator dilakukan pada 4 -- 5 April 2024, melibatkan 1.201 responden yang diwawancarai melalui sambungan telepon, dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Hasilnya menempatkan Kejaksaan Agung sebagai panglima penegakan hukum di Indonesia.
“Kasus minyak goreng menjadi turning point kepercayaan publik kepada Kejaksaan meningkat,” ungkap Jaksa Agung St. Burhanuddin.
Kerusakan lingkungan
Kerugian negara yang ditimbulkan dalam penambangan ilegal timah di Provinsi Bangka Belitung juga cukup fantastis. Saking tingginya nilai kerugian tersebut, kerap jadi sasaran konten warganet di sosial media, dengan tanda pagar #271T.
Nilai kerugian negara dalam perkara ini berdasarkan hasil perhitungan kerusakan ekologi oleh pakar forensik kehutanan dari IPB University Prof. Bambang Hero Saharjo, sebesar Rp271,06 triliun.
Nilai Rp271,06 triliun itu merupakan perhitungan kerugian lingkungan hidup akibat tambang timah ilegal yang dilakukan di dalam kawasan hutan dan non kawasan hutan di Provinsi Bangka Belitung.
Tenaga Ahli Jaksa Agung Barita Simanjuntak mengatakan penuntasan kasus megakorupsi timah dapat menjadi pionir dalam upaya perbaikan di sektor tambang.
Kejaksaan Agung saat ini gencar dan intensif untuk menyidik kasus-kasus tindak pidana korupsi berkaitan dengan kejahatan di sektor pertambangan, mineral dan energi. Karena, di sektor tersebut nilai kerugian keuangan dan perekonomian negara sangat besar dan sudah berlangsung lama.
Untuk itu, Kejaksaan sebagai pelaksana kekuasaan negara di bidang penuntutan wajib menjaga komitmen Pemerintah untuk menerapkan hilirisasi di sektor pertambangan dan mineral. Tidak hanya dalam proses projustisia atau penindakan saja, namun juga mengatur dan menjaga tata kelola yang baik, transparan, dan akuntabel.
Sumber-sumber kekayaan negara yang signifikan menghasilkan pendapatan negara wajib dijaga karena berdampak langsung pada sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagai tujuan pembangunan nasional.
Kejaksaan wajib memastikan dan menjaga agenda pembangunan nasional. Proyek strategis nasional pun harus berjalan tanpa gangguan.
"Kejaksaan menyeret siapa pun yang melakukan perbuatan melawan hukum, termasuk korupsi,” ujar Barita.
Editor: Achmad Zaenal M